Djuanda Kartawidjaja

Pengurus Pusat Muhammadiyah menggelar Refleksi 55 Tahun Deklarasi Djuanda bertema “Kedaulatan Nusantara untuk Kejayaan Bangsa” di Gedung PP Muhammadiyah di Jakarta, Rabu (19/12/2012) malam.

Acara itu digelar untuk mengenang jasa besar Djuanda Kartawidjaja selaku tokoh yang mencanangkan Deklarasi Juanda pada 13 Desember 1957 [1], dengan mengintegrasikan seluruh wilayah kepulauan dan laut yang menjadi wilayah teritorial Indonesia.

Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin mengatakan, tidak banyak yang mengenal jasa dan sosok Djuanda Kartawidjaja sebagai salah satu tokoh Muhammadiyah dalam Deklarasi Djuanda.

“Refleksi ini kami lakukan untuk mengenang jasa pak Djuanda dalam mengukuhkan kedaulatan teritorial, dengan memasukkan laut dalam kepulauan Indonesia sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam NKRI,” kata Din di sela-sela kegiatan tersebut.

Menurut Din, jasa besar Djuanda Kartawidjaja wajar diperingati dan dilanjutkan. Muhammadiyah akan melakukan penegakkan kedaulatan harga diri harkat dan martabat bangsa dengan memprakarsai gerakan menegakkan kedaulatan, salah satunya di bidang energi.

“Kami sudah melakukan `judicial review` di bidang energi yang belum berdaulat, di mana sumber daya alam saat ini belum dikuasai sepenuhnya oleh negara dan belum digunakan sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat,” kata dia.

Din mengatakan, pihaknya merasa bersalah dan malu karena telah membiarkan jasa Djuanda Kartawidjaja terlupakan dan terabaikan, bahkan tidak diketahui para generasi penerus bangsa.

Ke depan, Muhammadiyah secara simultan melakukan acara serupa untuk mengenang Djuanda sebagai salah satu tokoh yang berjasa bagi bangsa dan negara.

“Dari pada tidak sama sekali, maka kita mulai dari sekarang,” kata dia, dalam berita Antara.

Dalam acara Refleksi 55 Deklarasi Djuanda, turut hadir sejumlah tokoh antara lain Wakil Ketua MPR Hajriyanto Y Thohari, menantu Djuanda Kartawidjaja, yakni Awaloedin Jamin serta pengamat politik Kusnanto Anggoro.

Mengenal lebih dekat sosok Ir. H.R. Djoeanda Kartawidjaja

 

220px-Djuanda_Cartawidjaja

Ir. H. R. Djoeanda Kartawidjaja (ejaan baru: Juanda Kartawijaya) lahir diTasikmalayaJawa Barat14 Januari 1911 – meninggal di Jakarta7 November 1963 pada umur 52 tahun adalah Perdana Menteri Indonesia ke-10 sekaligus yang terakhir. Ia menjabat dari 9 April 1957 hingga 9 Juli 1959. Setelah itu ia menjabat sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Kerja I.

Sumbangannya yang terbesar dalam masa jabatannya adalah Deklarasi Djuanda tahun 1957 yang menyatakan bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI atau dikenal dengan sebutan sebagai negara kepulauan dalam konvensi hukum laut United Nations Convention on Law of the Sea (UNCLOS) [2].

Namanya diabadikan sebagai nama lapangan terbang di SurabayaJawa Timur yaituBandara Djuanda atas jasanya dalam memperjuangkan pembangunan lapangan terbang tersebut sehingga dapat terlaksana. Selain itu juga diabadikan untuk nama hutan raya diBandung yaitu Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, dalam taman ini terdapat Museum dan Monumen Ir. H. Djuanda.

Djuanda wafat di Jakarta 7 November 1963 karena serang jantung dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No.244/1963 Ir. H. Djuanda Kartawidjaja diangkat sebagai tokoh nasional/pahlawan kemerdekaan nasional.

Latar belakang dan pendidikan

Ir. H. Djuanda dilahirkan di Tasikmalaya, 14 januari 1911, merupakan anak pertama pasangan Raden Kartawidjaja dan Nyi Monat, ayahnya seorang Mantri Guru pada Hollandsch Inlansdsch School (HIS). Pendidikan sekolah dasar diselesaikan di HIS dan kemudian pindah ke sekolah untuk anak orang Eropa Europesche Lagere School (ELS), tamat tahun 1924. Selanjutnya oleh ayahnya dimasukkan ke sekolah menengah khusus orang Eropa yaitu Hogere Burger School (HBS) di Bandung, dan lulus tahun 1929. Pada tahun yang sama dia masuk ke Technische Hoogeschool te Bandoeng (THS) sekarangInstitut Teknologi Bandung (ITB) di Bandung, mengambil jurusan teknik sipil dan lulus tahun 1933. Semasa mudanya Djuanda hanya aktif dalam organisasi non politik yaitu Paguyuban Pasundan dan anggota Muhamadiyah, dan pernah menjadi pimpinan sekolah Muhamadiyah. Karir selanjutnya dijalaninya sebagai pegawai Departemen Pekerjaan Umum propinsi Jawa Barat, Hindia Belanda sejak tahun 1939.

Perjuangan

Ir. H. Djuanda seorang abdi negara dan abdi masyarakat. Dia seorang pegawai negeri yang patut diteladani. Meniti karir dalam berbagai jabatan pengabdian kepada negara dan bangsa. Semenjak lulus dari TH Bandung (1933) dia memilih mengabdi di tengah masyarakat. Dia memilih mengajar di SMA Muhammadiyah di Jakarta dengan gaji seadanya. Padahal, kala itu dia ditawari menjadi asisten dosen di TH Bandung dengan gaji lebih besar.

Setelah empat tahun mengajar di SMA Muhammadiyah Jakarta, pada 1937, Djuanda mengabdi dalam dinas pemerintah di Jawaatan Irigasi Jawa Barat. Selain itu, dia juga aktif sebagai anggota Dewan Daerah Jakarta.

Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, tepatnya pada 28 September 1945, Djuanda memimpin para pemuda mengambil-alih Jawatan Kereta Api dari Jepang. Disusul pengambil-alihan Jawatan Pertambangan, Kotapraja, Keresidenan dan obyek-obyek militer di Gudang Utara Bandung.

Kemudian pemerintah RI mengangkat Djuanda sebagai Kepala Jawatan Kereta Api untuk wilayah Jawa dan Madura. Setelah itu, dia diangkat menjabat Menteri Perhubungan. Dia pun pernah menjabat Menteri Pengairan, Kemakmuran, Keuangan dan Pertahanan. Beberapa kali dia memimpin perundingan dengan Belanda. Di antaranya dalam Perundingan KMB, dia bertindak sebagai Ketua Panitia Ekonomi dan Keuangan Delegasi Indonesia. Dalam Perundingan KMB ini, Belanda mengakui kedaulatan pemerintahan RI.

Djuanda sempat ditangkap tentara Belanda saat Agresi Militer II tanggal 19 Desember 1948. Dia dibujuk agar bersedia ikut dalam pemerintahan Negara Pasundan. Tetapi dia menolak.

Dia seorang abdi negara dan masyarakat yang bekerja melampaui batas panggilan tugasnya. Mampu menghadapi tantangan dan mencari solusi terbaik demi kepentingan bangsa dan negaranya. Karya pengabdiannya yang paling strategis adalah Deklarasi Djuanda13 Desember 1957.

Wilayah Negara Republik Indonesia pada saat Merdeka 17 Agustus 1945 atau sebelum ‘Deklarasi Djuanda’:

peta_indonesia_1939

Wilayah Negara Republik Indonesia sesudah ‘Deklarasi Djuanda’ pada 13 Desember 1957:

peta_indonesia_1957

Ir. Djuanda oleh kalangan pers dijuluki ‘menteri marathon’ karena sejak awal kemerdekaan (1946) sudah menjabat sebagai menteri muda perhubungan sampai menjadi Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan (1957-1959) sampai menjadi Menteri Pertama pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1963). Sehingga dari tahun 1946 sampai meninggalnya tahun 1963, beliau menjabat sekali sebagai menteri muda, 14 kali sebagai menteri, dan sekali menjabat Perdana Menteri.

Dia seorang pemimpin yang luwes. Dalam beberapa hal dia kadangkala berbeda pendapat dengan Presiden Soekarno dan tokoh-tokoh politik lainnya.

Catatan kaki :
[1]^ United Nations Convention on Law of the Sea (Full texts)

[2]^Ingat 13 Desember, Hari DEKLARASI DJOEANDA!

sumber:
http://hidayatullah.com
http://id.wikipedia.org/wiki/Djoeanda_Kartawidjaja