Posts from the ‘SISTEMATIKA WAHYU’ Category

Karakteristik Konsep Allah SWT

allah

Rabbani

Konsep Allah memiliki keistimewaan yang membedakannya dengan undang-undang lain buatan manusia, yaitu bersifat rabbaniyyah. Lebih tepatnya,rabbaniyyatul mashdar dan rabbaniyyatul ghayah (bersumber dari Allah dan tujuan akhir karena Allah).

Konsep Allah bercelupkan keagamaan, terbungkus oleh kesucian yang tiada taranya dan menanamkan kepada penganutnya rasa cinta dan hormat yang bersumber dari mata air keimanan dengan kesempurnaan, keluhuran dan kemuliaannya, bukan bersumber dari rasa takut terhadap kekuasaan legislatif dengan aparatnya.

Konsep itu bukan produk manusia yang kemampuannya terbatas dan terpengaruh oleh kondisi, tempat, dan waktu, terpengaruh oleh hawa nafsu, perasaan dan pertimbangan kemanusiaan.

Sedangkan Allah adalah Dzat Yang Mencipta dan Memiliki semua makhluk, Pengatur semesta alam ini, Menciptakan manusia, Maha Mengetahui apa yang bermanfaat dan apa-apa yang maslahat serta yang bisa memperbaiki.

أَلاَ يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيْفُ الْخَبِيْرُ (الملك : 14)

“Ingatlah, (Allah Yang Mencipta), Maha Mengetahui, dan Dia Maha Halus lagi Maha Awas.” (QS al-Mulk : 14).

Kaum muslimin meyakini bahwa konsep Allah paling sempurna, syamil, paling adil, paling mampu mewujudkan kebajikan dan menolak berbagai macam keburukan. Konsep Allah berhasil menegakkan kebenaran dan menumbangkan dan mencabut mafsadat ke akar-akarnya. Dan seorang muslim dapat merasakan kepuasan dengan keadilan dan kebajikannya.

Seorang muslim juga meyakini dalam lubuk hatinya bahwa Allah selalu mengawasi ketika ia tengah menjalankan konsep ini atau pada saat ia meninggalkannya. Dia meyakini bahwa Allah mencatat perbuatannya itu untuk di-hisab saat seluruh manusia dibangkitkan untuk melihat amal perbuatannya.

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ . وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ (الزلزلة : 7-8)

“Maka barangsiapa yang beramal kebajikan sebobot zarrah pun, ia psti akan melihatnya. Dan barangsiapa yang beramal kejahatan sebesar zarrah pun, pasti ia akan menemuinya.” (QS Az-Zalzalah : 7-8).

Akhlaqiyah (membentuk moral)

Konsep Allah memiliki keunggulan membentuk moral dalam seluruh aspeknya, sebagai buah dari sifat rabbaniyah-nya. Dengan demikian, konsep Allah lebih mengutamakan akhlak dengan seluruh yang tercakup di dalamnya.

إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُتَمِّمَ مَكَارِمَ اْلأَخْلاَقِ (رواه الحاكم)

“Sesungguhnya aku diutus tidak lain untuk menyempurnakan akhlaq.” (HR al-Hakim).

Disini terlihat perbedaan antara konsep Allah dengan qanun dari sisi kandungan maupun tujuannya. Kandungan undang-undang buatan manusia adalah serangkaian hak-hak pribadi dan perorangan, sementara konsep Allah mencakup sekumpulan taklif (tugas). Dan, hukum syara’ adalah kalamullah yang berkaitan dengan pekerjaan mukallaf (yang dikenai beban dan tugas).

Qanun memandang manusia dari segi hak-haknya, sedangkan konsep Allah melihat manusia dari segi kewajibannya. Tugas dan kewajiban ini ialah hak-hak orang lain yang harus dipenuhi, maka ia harus menjaganya sesuai dengan penjagaannya terhadap hak-haknya atas orang lain. Selain itu, manusia dalam pandangan qanun sebagai penuntut, sedang dalam pandangan konsep Allah ia dituntut dan diminta tanggung jawab (mas’uliyah) karena ia makhluk yang diberitaklif, diperintah dan dilarang. Ia tidak diciptakan untuk main-main, sia-sia atau dibiarkan saja. Tetapi, ia memiliki hak dan kewajiban.

Adapun dari segi tujuan, qanun punya tujuan yang bermanfaat dan terbatas, yaitu langgengnya masyarakat dan teraturnya dan berbagai perkara di dalamnya terutama yang bersifat material serta menegakkan disiplin. Inilah yang diciptakan oleh para pembuat qanun, hatta walau pun kandungannya – bisa jadi –menuntut penyimpangan dari akhlak dan agama.

Selanjutnya, jika kita melihat konsep Allah, maka tujuannya di samping memelihara kelanggengan masyarakat dan keteraturan hubungan sesamanya, juga mewujudkan nilai-nilai luhur dalam kehidupan ummat manusia. Mengangkat mereka ke derajat kemanusiaan yang luhur serta memelihara nilai-nilai akhlak dan ruhani yang tinggi.

Realistis (waqi’iy)

Ciri-ciri lain dari konsep Allah ialah bersifat realistis, dimana perhatiannya terhadap nilai-nilai luhur akhlaq tidak menghalanginya untuk menaruh perhatian terhadap realita yang ada. Mendiagnosis berbagai penyakit yang di deritanya sekaligus memberikan resepnya.

Konsep Allah tidak berdayung di lautan khayal. Juga tidak terbang di awang-awang dan di angkasa. Keteladanan yang semu yang membentuk manusia tanpa wujud seperti yang diperbuat Plato dengan Republic-nya. Dan seperti apa yang menjadiutopia ajaran komunisme tentang masyarakat yang kehilangan hak milik dan tidak membutuhkan suatu pemerintah, hukum pertahanan, keamanan dan penjara.

Konsep Allah diturunkan untuk manusia sesuai dengan kejadiannya, yang Allah ciptakan dengan fisik yang berasal dari bumi dan ruh yang berasal dari langit; dengan rasa cinta yang melambung dan naluri yang merendah. Allah mengakui dorongan kedurhakaan dan ketakwaan yang senantiasa bertempur di dalam jiwa mereka.

وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا . فَأَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوَاهَا (الشمس : 7-8)“Dan, demi jiwa dan apa-apa yang meluruskannya. Maka Dia mengilhaminya akan kedurhakaannya dan ketaqwaannya.” (QS Asy-Syams : 7-8).

Insaniyah (manusiawi)

Konsep Allah bersifat insaniyah dan ‘alamiyah. Makna insani-yah ialah ia diturunkan untuk meningkatkan taraf hidup manusia, membimbing dan memelihara sifat-sifat humanistik-nya serta menjaga dari kedurjanaan sifat hewani agar tidak mengalahkan sifat kemanusiaannya. Untuk itu, maka disyariatkanlah semua bentuk ibadah bagi manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan ruhaninya. Dengan demikian manusia bukan semata-mata raga yang terdiri dari unsur tanah yang membutuhkan makan, minum dan nikah, tetapi ia juga ruh yang luhur yang menempati raga itu.Konsep Allah juga memelihara kemuliaan manusia yang dianugerahkan Allah Sang Pencipta, yang Menjadikannya khalifah di muka bumi dan yang Menyuruh malaikat bersujud kepadanya serta yang telah Mengabadikan kemuliaan itu dalam kitab-Nya.وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْ آدَمَ (الإسراء : 70)

“Dan sungguh Kami telah memuliakan bani Adam (manusia).” (QS al-Isra’ : 70).

Konsep Allah menaruh perhatian besar terhadap manusia seutuhnya, baik raga, jiwa  maupun pikirannya. Konsep Allah memperhatikan raga manusia dengan mewajibkan pemelihara-annya dan melarang segala bentuk penyiksaan walaupun dengan ibadah.

Teratur (tanasuq)

Ciri konsep Allah lainnya adalah teratur. Yakni semua bagian-bagiannya masing-masing bekerja teratur, kompak dan seimbang dalam rangka mencapai satu tujuan bersama. Antara yang satu dengan lain tidak berbenturan tapi sejalan dan seirama, teratur dan rapi. Karakteristik ini bisa juga dinamakan dengan takamul(komperhensip).

Keteraturan dan keserasian dalam fenomena alam (khalqiyah) dan konsep Allah(kalimatullah) sebagai suatu keseimbangan (tawazun), kita temui sebagai suatu gejala yang tampak pada setiap apa-apa yang disyariatkan Allah, tampak pada setiap makhluq-Nya.

Universal (syumul)

Konsep Allah mencakup aspek ibadah yang mengatur hubungan dengan Rabb-nya. Masalah ini dijelaskan oleh fiqh ibadah yang terdiri dari bab thaharah, shalat, shaum, hajji, nadzar, udh-hiyyah (berkorban), ayman (sumpah) dan hal-hal lain yang tidak pernah dikenal dalam qanun.

Mencakup pula hukum kerumahtanggaan (nizhamul usrah), seperti nikah, thalaq, mengatur rumah tangga, nafkah, wasiat, waris, dan hal-hal yang termasuk dalam masalah pembentukan rumah tangga Islami dan segala upaya mempertahankannya, masalah ‘iddah, dan lain-lain. Hukum ini dikenal dengan Hukum Pribadi (al-ahwal asy-syakhshiyah).

Juga mencakup segi mu’amalah, transaksi seperti jual beli, gadai, hibah, utang-piutang, join dalam usaha (syirkah), luqathah (barang temuan), dan sejenisnya yang bertujuan mengatur hubungan antarindividu dalam menggunakan harta dan menjaga hak masing-masing yang semua ini sekarang dinamakan Hukum Sipil.

Ia juga mencakup bidang ekonomi seperti berkaitan dengan pengembangan harta atau pemakaiannya sebagaimana pula berkaitan dengan pengatutan Baitul-Maal, tentang pemasukan dan pengeluaran zakat, harta ghanimah, fai’, pajak, serta hal-hal yang diharamkan Allah seperti riba, menimbun harta, memakan harta orang dengan cara batil, dan sebagainya.

Konsep Allah juga mencakup tindak pidana dan balasannya yang telah ditentukan dengan nash dan hadis seperti qishash, dan hukuman-hukuman lain seperti potong tangan bagi pencuri, mencambuk atau merajam pezina, mencambuk peminum minuman keras dan orang yang menuduh orang lain berzina. Atau sanksi-sanksi yang ketentuannya diserahkan kepada ulil amri, para qadhi atau hakim, yang disebut dalam fiqh dengan hukuman ta’zir (dera). Inilah yang dikenal undang-undang kejahatan dan Hukum Pidana (jinayat).

Juga mencakup hal-hal yang berkaitan dengan hukum, putusan, dakwaan, persaksian, iqrar (pengakuan), sumpah dan lainnya yang bertujuan menegakkan keadilan antar-umat manusia dan menyelesaikan suatu kasus atau perkara yang semua termasuk ke dalam apa yang disebut Hukum Acara.

Mencakup aspek undang-undang kepemimpinan, dasar kewajiban mengangkat pemimpin dan syarat-syaratnya yang harus dipenuhi, cara pemilihannya, hak dan kewajibannya, hubungannya dengan dengan rakyat, hukum mentaatinya, serta bagaimana menghadapi pembangkang (oposisi) dan sejenisnya, yang bertujuan mengatur hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin. Ini termasuk ke dalam “Undang-undang Dasar”.

Mencakup masalah hubungan kenegaraan seperti mengatur hubungan negara Islam dengan negara-negara lain yang non-muslim, baik dalam kondisi perang maupun damai. Masalah yang berkaitan dengan penduduk non-muslim di negara Islam. Ini dibahas dalam fiqih Islam, dan sekarang ini semua tercakup ke dalam apa yang dinamakan Hukum Internasional.

http://hidayatullah.or.id

Tujuan Pendidikan Islam: Membentuk Kepribadian Muslim Yang Utuh (Paripurna)

The_Field_of_Rest_Cemetary_of_the_Green_Mosque

Tujuan pendidikan islam (tarbiyah) dengan pendekatan tahapan turunnya wahyu ialah membentuk kepribadian muslim yang utuh (takwin al-muslim al-mutakamil).  Seluruh aspek kemanusiaan diberdayakan secara sinergis dan optimal, sehingga akan melahirkan potensi maksimal, baik segi ruhiyah (spiritual), fikriyah, ‘aqliyah (intelektual), khuluqiyah (moral), jasadiyah (fisik), dan ‘amaliyah (operasional). Sosok muslim mujtahid, mujahadah dan mujahid. Sosok muslim yang rasyid (memadukan kecerdasan otak dan batin), dunia dan akhirat, spiritual dan material, doa dan usaha, pikir dan zikir, memiliki daya cipta material dan daya kendalinya. Manusia yang bertaqwa (inna akramakum ‘indallahi atqaakum), meminjam istilah Muhammad Quthb.

pendidikan-islam-dan-tarbiyah-hasan-al-banna

Menurut Syekh Hasan al-Banna, pendidikan Islam mencakup seluruh aspek, sebagaimana berikut :

1) Salim al-‘aqidah (bersihnya aqidah). Setiap individu muslim dituntut memiliki kelurusan aqidah yang hanya dapat diperoleh melalui pemahaman yang luas dan utuh terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah.

2) Shahih al-Ibadah (lurusnya ibadah). Setiap individu dituntut untuk beribadah sesuai dengan tuntunan syariat. Pada dasarnya ibadah bukanlah hasil ijtihad seseorang karena ibadah tidak dapat diseimbangkan melalui penambahan, pengurangan, atau penyesuaian, dengan kondisi dan kemajuan zaman (ghairu ma’qulil ma’na, atau tauqifi, paten).

3)  Matin al-Khuluq (kokohnya akhlaq). Setiap individu dituntut untuk memiliki ketangguan akhlaq sehingga mampu mengendalikan hawa nafsu, syhawat dan syubhat.

4)  Qadir ‘ala al-Kasb (mampu mencari penghidupan). Setiap individu dituntut untuk mampu menunjukkan potensi dan kreativitasnya dalam kebutuhan hidup. Sehingga tidak menjadi tanggungan orang lain. Muslim sejati ikut memecahkan persoalan, bukan bagian dari persoalan.

5)  Mutsaqaf al-Fikr (luas wawasan berfikirnya). Setiap individu muslim dituntut memiliki keluasan wawasan. Ia mampu memanfaatkan kesempatan dan peluang untuk mengembangkan diri.

6)  Qawy al-Jism (kuat fisiknya). Setiap individu dituntut untuk memiliki kekuatan fisik melalui sarana-sarana yang dipersiapkan Islam.

7)  Mujahid li Nafsihi (pejuang diri sendiri). Setiap individu dituntut untuk memerangi hawa nafsunya dan mengukuhkan diri di atas hukum-hukum Allah melalui ibadah dan amal shalih. Bisa berjihad melawan tipudaya setan yang menjerumuskan manusia ke dalam kejahatan.

8)  Munazham fii Syu’unih (teratur urusannya). Setiap individu dituntut untuk mampu mengatur segala urusannya sesuai dengan aturan Islam. Pada prinsipnya setiap pekerjaan yang tidak teratur hanya akan berakhir dengan kegagalan.

9) Haaris ‘ala Waqtih (memperhatikan waktunya). Setiap individu dituntut untuk mampu memelihara waktunya sehingga akan terhindar dari kelalaian (taqshir). Mampu menghargai waktu orang lain sehingga tidak akan membiarkan orang lain tidak produktif.

10)  Nafi’ li Ghairih (bermanfaat bagi orang lain). Setiap individu muslim mampu menumbuhkembangkan berbagai potensi, bakat dan kapasitasnya, sehingga menjadikan dirinya bermanfaat bagi orang lain.

Dari kesepuluh komponen diatas, tergambarkan sosok muslim yang ideal. Shalih linafsihi dan shalih lighoirihi, atau mushlih. Sholih untuk dirinya sendiri dan bisa mendorong perbaikan untuk orang lain. Sosok mujtahid, sufi (mujahadah), sekaligus mujahid (pejuang). Wallahu a’lam bish-shawab.

Catatan : Silahkan baca lebih lanjut ebook Madrasah-Tarbiyah-Hasan-Al-Banna-Edisi-Indonesia.pdf

Sumber:
http://hidayatullah.or.id
http://blog.uny.ac.id

Arahan Pembaharu (Taujih Al-Mujaddid)

I. Akar krisis ummat Islam (al-asbab ar-ra’isi li azmaat al-muslimin)

krisis

Berbagai krisis yang menimpa kaum muslim sekarang ini merupakan akumulasi dari berbagai krisis sebelumnya, yang dimulai sejak format ketatanegaraan berbentuk khilafah (Islami) berubah menjadi format muluk (kerajaan, jahili). Al-Quran menjelaskan secara global bahwa krisis multidimensi itu terjadi  karena berpaling dari ketentuan Allah.  Makna ayat ini, barangsiapa yang berpaling dari syariat dan hukum-hukum Allah maka akan menemui kehidupan yang serba-sulit (ma’isyatan dhonkaa) di dunia, sangat menderita, sekalipun secara lahiriyah sejahtera.

Berkata Ibnu Katsir, “Barangsiapa berpaling dari ketetapan Allah dan melupakannya, maka baginya kehidupan yang sempit di dunia (ma’isyatan dhonkaa), tiada ketenangan maupun kelapangan dada, bahkan merasakan kesempitan hidup disebabkan kesesatannya sekalipun secara lahiriyah makmur, bisa berpakaian, makan, bertempat tinggal sesuka hatinya. Tetapi jiwanya goncang, bingung dan diliputi keragu-raguan.”  Ada yang berpendapat disempitkan liang lahatnya nanti sehingga tulang rusuknya berselisih.

Dalam hadits riwayat Imam ath-Thabrani dari Ibnu Abbas dijelaskan bahwa penyebab terjadinya berbagai krisis, adalah diawali oleh krisis kepribadian (basic of knowing) dengan mudah mengobral janji, krisis keimanan dengan menolak ber-tahkim dengan hukum Allah, krisis moral ditandai dengan merajalelanya praktek perzinaan, perkosaan, pergaulan bebas, pornografi, praktek aborsi, dan gaya hidup materialistik yang berindikasi dengan mental hedonistik, meghalalkan segala cara ketika memperoleh kekayaan serta keengganan untuk berzakat.   Kemudian Allah menurunkan musibah penguasa yang zhalim, harga-harga kebutuhan pokok membumbung tinggi, musibah kemiskinan struktural, penyakit AIDS mewabah, manusia menjadi individualis,  terjadi bencana alam di mana-mana.
Para pembaharu mengidentifikasi penyebab krisis integritas ummat tersebut, diawali dari kesempitan batin (azmat al-masya’ir), kemudian melahirkan kesempitan dalam berbagai bidang kehidupan; kemudian menawarkan alternatif-alternatif pemecahannya secara fundamental dan menyeluruh.

Pertama, krisis perasaan terhadap keagungan Islam (azmat al-masya’ir ‘an ‘azhamatil Islam)

Ummat Islam sekarang tidak meyakini secara bulat (100%) bahwa Islam adalah solusi mendasar dalam mengantisipasi persoalan individu, keluarga dan masyarakat. Berbagai bentuk penyelesaian yang ditawarkan oleh syariat sekalipun baru pada tataran wacana cenderung disalahpahami. Mereka masih ragu bahwa Islam adalah ketetapan dari Allah Yang Maha ‘Alim yang bisa mengantarkan manusia kepada kehidupan yang lebih baik. Yakni yang memberi gairah dan arti hidup,  yakni seruan kepada iman yang bisa menghidupkan jiwa.  Imam Qatadah mengatakan, yaitu ajakan kepada al-Quran yang mengadung kehidupan, kejujuran, keselamatan, kesucian di dunia dan akhirat  dan menjamin kebahagiaan hidup di akhirat.

Dalam berinteraksi dengan Islam, ummat Islam lebih mendahulukan akal daripada hati. Karena  merasa memiliki keunggulan lebih daripada Allah. Persis sikap Iblis ketika memperoleh perintah dari Allah untuk memberi hormat kepada Adam, ia berargumen bahwa perintah Allah tersebut tidak logis, tekstual (literal) dan normatif. Dia enggan mentaati-Nya, seraya menyombongkan diri dengan cara membanggakan asal-usul.  Pasca suksesi di surga, syetan memohon izin kepada Allah untuk menggoda anak cucu Adam dari arah belakang, muka, kanan dan kiri, sehingga manusia menjadi makhluk yang tidak pandai bersyukur.
Imam ath-Thabari  ketika menafsirkan ayat ini menerangkan bahwa godaan “dari muka” adalah godaan tentang persepsi dunia, agar manusia menjadi serakah, mencari dunia dengan menghalalkan segala cara, akhirnya menjadi hamba materi bukan hamba Allah. Godaan “dari belakang” adalah godaan tentang kehidupan akhirat, agar melupakannya. Godaan “dari sebelah kanan” adalah godaan terhadap kebenaran, agar manusia ragu-ragu kepadanya. Godaan “dari arah kiri” berupa godaan kebatilan agar manusia cenderung kepadanya; kecuali hamba-Nya yang masih ikhlas, hanya berorientasi ke bawah (sujud) dan atas (Allah). Arah “bawah” dan “atas” ini tidak bisa dimasuki oleh syetan.  Kemudian Nabi shalla-llahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan doa untuk menghadapi dua godaan terakhir.

اَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ

“Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami al haq itu yang benar dan karuniakanlah kepada kami (kekuatan) untuk mengikutinya, dan tunjukkanlah kepada kami kebatilan itu kebatilan, dan berilah (kekuatan) kepada kami untuk menjauhinya”
Persepsi ummat Islam terhadap Islam telah terkontaminasi oleh paham feodalisme pada abad pertengahan dengan menampilkan kesombongan; kapitalisme yang melahirkan keserakahan; dan sosialisme yang membuahkan kedengkian.

إِيَّاكُمْ وَالْكِبْرَ فَإِنَّ إِبْلِيْسَ حَمَلَهُ الْكِبْرُ أَلاَّ يَسْجُدَ ِلآدَمَ وَإِيَّاكُمْ وَالْحِرْصَ فَإِنَّ آدَمَ حَمَلَهُ الْحِرْصُ عَلَى أَنْ آكَلَ الشَجَرَةَ وَإِيَّاكُمْ وَالْحَسَدَ فَإِنَّ ابْنَيَ آدَمَ قَتَلَ أَحَدُهُمَا اْلآخَرَ حَسَدًا هُنَّ أَصْلُ كُلِّ خَطِيْئَةٍ (رواه ابن عساكر عن ابن مسعود رضي الله عنه)

“Waspada dan jauhi al-kibr (sombong), karena sesungguhnya Iblis terbawa sifat al-kibr sehingga menolak perintah Allah subhanahu wa ta’ala agar bersujud (menghormati) kepada Adam ‘alaihis salam. Waspada dan jauhi al-hirsh (serakah), karena sesungguhnya Adam ‘alaihis salam terbawa sifat al-hirsh sehingga makan dari pohon yang dilarang oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Waspada serta jauhi al-hasad (dengki), karena sesungguhnya kedua putra Adam ‘alaihis salam salah seorang dari keduanya membunuh saudaranya hanya karena al-hasad. Ketiga sifat tercela itulah asal segala kesalahan (di dunia ini).” (HR Ibnu Asakir dari Ibnu Masud, dalam Mukhtaru al-Ahadits).
Sangat kontradiktif dengan sikap para salafus shalih, ketika berinteraksi dengan firman Allah maka sikap yang menonjol adalah tashdiq (membenarkan) dan taslim(berserah diri), kepatuhan (submission), ketaatan (obedience).
Mereka memahami bahwa Islam adalah manhaj al-hayat, acuan dan kerangka tata kehidupan. Mencakup kehidupan individu, keluarga, masyarakat, bernegara dan hubungan intenasional. Islam tidak sekedar landasan etis, tetapi ajaran yang aplikatif dalam berbagai aspek kehidupan. Islam bukan ajaran yang teoritis yang memadati pikiran, tidak mengajarkan hal-hal yang tak bisa dicapai manusia, tapi menerima manusia sebagaimana adanya dan mendorongnya untuk mencapai sesuatu yang bisa digapai.
Mereka laksana prajurit yang menerima perintah dan tugas harian dari panglimanya. Tidak ada sikap yang didahulukan kecuali sami’na wa atha’na (kami mendengar dan kami siap mematuhinya).
Dalam menyikapi ayat-ayat yang mutasyabihat (belum jelas maknanya) saja mereka menyerahkan penafsirannya kepada Allah, apalagi berinteraksi dengan ayat-ayat yang muhkamat (jelas maknanya).  Hal ini sangat bertolak belakang dengan paradigma berfikir yang dikembangkan oleh kalangan tertentu, dimana ayat yang muhkamat saja perlu ditafsirkan supaya lebih kontekstual, lebih-lebih yang mutasyabihat.

Kedua, krisis kebanggaan dalam ber-Islam (‘azmatu al-i’tizaz bid-diin)

Di tengah keberagaman simbol, aliran pemikiran dan isme di era globalisasi saat ini, ditambah dengan semakin gencarnya peperangan pemikiran (al-ghazwu al-fikri), telah terjadi tasykik (proses peraguan), taghrib (pembaratan), tajhil (pembodohan) pada diri muslim terhadap dien-nya sendiri. Pemakaian kalimat ‘ghazw’ disini menunjukkan salah satu pihak yang aktif, lainnya pasif. Al-ghazw al-fikri, peperangan pemikiran, ditandai dengan gencarnya serangan dari luar tanpa perimbangan perlawanan dari dalam kaum muslimin. Sedang kalimat ‘harb’ bermakna kedua belah pihak yang bertikai sama-sama aktif bergerak.
Jatidiri Islami yang telah mengakar dalam jiwa kaum muslimin mengalami degradasi. Misalnya di Indonesia saja kosa kata sirri (Makassar) dari kata sarirah (jati diri), carok (Madura) dari kata ghirah (cemburu), yang semula inhern dengan simbol ke-Islaman berangsur-angsur hilang, bahkan kemudian cenderung mengalami pembelokan makna.
Dahulu, kaum muslimin Indonesia rela kehilangan nyawa, dan merasa bangga karena membela kehormatan diri (‘iffah) sekali pun beresiko, sekarang dihinggapi penyakit dayatsah, banci – meminjam sabda Rasulullah shalla-llahu ‘alaihi wa sallam – yaitu, seseorang yang mendiamkan kemunkaran yang dilakukan oleh keluarganya dengan orang lain. Kaum muslimin sedang dijangkiti virus wahn (cinta dunia dan takut menghadapi kematian).
Mereka kurang percaya diri, malu menunjukkan bahwa kemuliaan adalah milik Allah, Nabi-Nya dan orang beriman. Mereka tenggelam, terpesona  dengan kebesaran negeri-negeri Eropa dengan paham materialismenya. Mereka lupa bahwa kaum muslimin lebih unggul dalam persepsi, budaya, adat istiadat, nilai-nilai di hadapan Allah dari bangsa lain.
Sejarah mencatat bahwa dunia ini didominasi oleh mereka yang memiliki keyakinan. Paham materialisme begitu cepat berkembang, karena pembawa ideologi itu yakin akan keistimewaannya, dan harapan akan jaminan masa depan. Kini, baru terbukti perkembangan sains dan teknologi yang merupakan produk paham kebendaan gagal dalam membawa manusia modern menuju hidup bahagia.  Tanpa keyakinan dan kebanggaan, muslim modern (al-muslim al-mu’ashir) akan lemah dalam mempengaruhi dirinya apalagi merespon tantangan eksternal.

Ketiga, kehilangan harapan akan datangnya pertolongan Allah (‘adamu al-amal bi-ta’yidillah)

Seringkali kaum muslimin dalam memecahkan persoalan lebih mengedepankan pendekatan pada aspek organisasi, planning, management, efficiency, dan teknologi modern. Semua itu baik, tetapi lupa bahwa di balik rekayasa manusia ada kekuatan transenden yang mendominasi kehidupan ini, yaitu intervensi Tuhan (tadakhul rabbani), manajemen Ilahi.

Ketika terjadi Perang Badar antara muslim dan kafir, kekuatan material dua pasukan yang saling berkonfrontasi itu tidak sepadan. Kaum muslimin dalam posisi lemah, terdiri dari kalangan masyarakat akar rumput, lapar (berpuasa Ramadhan), peralatan perang seadanya. Semula kaum muslimin hanya ingin mengambil kembali hak-haknya yang dirampas oleh orang kafir, setelah pulang dari kafilah dagang. Tetapi Abu Sufyan memilih jalan lain menuju ke Makkah dan memprovokasi kabilah Quraisy untuk berperang melawan kaum muslimin. Dengan kelebihan yang melekat pada dari tokoh kafir Makah itu, yakni orator (pandai berceramah tanpa teks, khuthbah murtajalah), semua elemen masyarakat Quraisy, tersulut amarahnya kepada komunitas Islam yang sedang dirintis oleh Rasulullah shalla-llahu ‘alaihi wa sallam. Dalam waktu singkat bisa terkumpul pasukan 4 kali lipat dari jumlah pasukan Islam.
Rasulullah shalla-llahu ‘alaihi wa sallam sendiri sempat mengkhawatirkan keberlangsungan eksistensi mereka, umat beliau, seperti terlukis dalam doa yang beliau panjatkan:

اَللَّهُمَّ انْجُزْ لِيْ مَا دَعَوْتُهُ اَللَّهُمَّ إِنْ تَهْلِكْ هَذِهِ الْعِصَابَةُ فَلَنْ تُعْبَدْ فيِ اْلأَرْضِ بَعْدَ الْيَوْم

“Ya Allah, kabulkanlah doaku. Ya Allah sekiranya pasukan ini hancur terkalahkan, niscaya Engkau tidak akan disembah lagi di muka bumi setelah hari ini”.
Rasulullah shalla-llahu ‘alaihi wa sallam terus berdoa hingga selendangnya terjatuh dari pundaknya, hingga Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berkata kepada beliau, “Demi Allah, wahai Rasulullah, Allah pasti akan menolong dan mengabulkan doa Anda”. Allah subhanahu wa ta’ala pun berkenan menolong kaum muslimin dengan kemenangan yang sangat gemilang.
Berbeda jauh saat kaum muslimin berperang pada Perang Hunain. Ketika itu mereka membanggakan SDM unggul dan peralatan perang. Karena peperangan dikomando langsung oleh Rasulullah shalla-llahu ‘alaihi wa sallam diikuti oleh para Sahabat senior. Begitu kepercayaan diri tertanam secara berlebihan, hampir saja kaum muslimin mengalami kekalahan telak. Kebanggaan material terbukti tidak  berhasil menolong dari kepungan musuh dan merapatkan barisan kaum muslim.
Thalut dan ummatnya yang hanya minum seteguk air, sekedar untuk melepas dahaga, terbukti memiliki kekuatan mental untuk melanjutkan peperangan, dan dengan izin-Nya, Jalut dan pasukannya berhasil dipukul mundur. Sedangkan prajuritnya yang minum air sungai secara berlebihan hingga kekenyangan, ternyata tidak memiliki kesanggupan untuk berperang.
Demikian pula kekalahan yang sama dialami ummat Islam pada Perang Uhud, ketika pasukan pemanah tidak disiplin karena terpesona dengan kekayaan dunia.

أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُمْ مُصِيْبَةٌ قَدْ أَصَبْتُمْ مِثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هَذَا قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ (آل عمران : 165)

“Dan mengapa ketika kamu ditimpa (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar) kamu berkata, ‘Dari mana datangnya (kekalahan) ini?’ Katakanlah,  ‘Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri’.” (QS Ali Imran : 165).

II. Solusi Atas Berbagai Krisis (Hillul Azamat)

Tauhid

Mengantisipasi krisis psikologis ummat sebagaimana yang telah dipaparkan pada awal maudhu’ (tema) ini, perlu diambil langkah-langkah diagnosis  berikut:

Pertama, memahami syariat Islam secara terperinci (al-ma’rifah ad-daqiq ‘an syari’atil Islam)
Dengan mengilmui syariat Islam, Allah akan memberikan ‘ilmu kasbi (ilmu yang diperoleh melalui usaha yang tekun) dan ‘ilmu ladunni (ilmu baru yang didapatkan atas kemurahan Allah). Dengan ilmu yang luas akan mengantarkan seseorang  mampu mengidentifikasi permasalahan kehidupan ummat dan mencari solusi alternatif. Allah akan mengangkat derajat orang yang beriman dan berilmu.  Posisi manusia lebih tinggi dari makhluk lain, termasuk malaikat, karena interaksinya dengan ilmu.
Allah mencela orang yang menuruti hawa nafsu dan tidak mau menggali potensi-potensi sama’, bashar dan fuad-nya secara maksimal.  Ibnu Taimiyah mengatakan kebodohan adalah musibah kematian sebelum meninggal. Allah akan meminta pertanggungjawaban manusia atas penggunaan sama’, bashar dan fuad-nya.
Doa yang seringkali dipanjatkan oleh Rasulullah pada awal-awal perlangkahan Islam adalah doa agar dianugerahi SDM unggul, “Ya Allah, jayakanlah Islam ini dengan masuk Islamnya salah satu dari dua Umar.” Dengan ilmu syariat akan menambah pemiliknya takut kepada Allah,  dan akan menyimpulkan bahwa semua ciptaan-Nya tidaklah sia-sia.
Bangsa-bangsa yang memiliki komitmen peningkatan SDM, maka akan memiliki keunggulan dalam berbagai aspek kehidupan, sosial, politik, ideologi, ekonomi, keamanan, dll.  Dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa perintah mencari ilmu menggunakan kalimat faridhatun, dimana “ta’ marbuthah” dalam kata ini mempunyai arti superlatif (mubalaghah), alias sangat diwajibkan.

Kedua, membangun iman secara mendalam (al-iman al-‘amiiq)

Iman akan melahirkan kesadaran untuk hidup Islami secara total dan menyeluruh,  menerima Islam sebagai minhajul hayat (sistem hidup), tak terjebak pada parsialisasi Islam (juz’iyyatul Islam), atau ber-Islam karena dorongan intres pribadi.
Iman yang benar akan melahirkan sikap sami’na wa atha’na (kami mendengar dan kami tunduk) pada ketentuan Allah.  Mukmin sejati memiliki kesiapan lahir dan batin untuk diatur oleh Allah dengan suka rela. Dengan iman akan melahirkan loyalitas pada kebenaran mutlak, keadilan, kejujuran, kedamaian, kedisiplinan, keindahan dan sifat-sifat utama yang lain. Kemenangan iman bukan hadiah ummat Islam semata, tetapi kemenangan kemanusiaan atas kezaliman, ketidakadilan hukum dan ekonomi dan sikap represif lainnya. Karena Islam adalah untuk semua manusia (kaffatan lin-naas) dan rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil-‘alamin).
Iman yang tidak melahirkan gerakan penegakan syariat dalam kehidupan sama jeleknya dengan amal yang tidak berlandaskan iman. Setelah mengikrarkan syahadat, konsekuensinya adalah menegakkan syariat shalat.  Syariat shalat merupakan penye-garan ulang tentang kesiapan muslim dalam mengatur segala aspek kehidupan dengan syariat, demikian kata Al-Maududi.

Ketiga, membangun solidaritas dan soliditas sesama ummat (al-ittishal al-watsiiq)

Terapi yang  ketiga adalah terampil dalam menjalin hubungan interpersonal dan intrapersonal (shidqun fil mu’amalah). Ada dua komponen penting sebagai pilar dalam bergaul (rukn al-mukhalathah). Pertama, minimal kita tidak memiliki sikap berburuk sangka, dengki, benci kepada sudara muslim. Kedua, maksimal kita mampu menunjukkan sikap itsar (mengutamakan orang lain melebihi dirinya sendiri).
Berbeda dengan paham barat yang mengatakan, “Kalian bebas berbuat apa saja asal tidak melanggar batas-batas kebebasan kami.” Islam mengajarkan sejauh mana Anda mengorbankan kebebasan Anda  untuk kepentingan orang lain.
Bertolak dari shidqun fil mu’amalah akan melahirkan ukhuwah Islamiyah. Sejarah menunjukkan bahwa dengan jalinan ukhuwah yang solid maka berbagai kesulitan maupun tantangan yang dihadapi ummat akan mudah diselesaikan.
Jika ketiga diagnosa krisis yang dipaparkan pada awal tema ini, diuji secara shahih pada realitas kehidupan ummat, insya-Allah berbagai krisis yang bersifat konsepsional dan teknis akan segera berakhir.
Dengan sumber daya manusia yang beriman, berilmu dan dirakit dalam bangunan organisasi yang kokoh maka akan men-zhahir-kan Islam diatas agama-agama yang lain, semuanya. Ketiga solusi mendasar diatas – menurut kajian Sistematika Nuzulnya Wahyu – dinamakan Prinsip Dasar Aqidah, Syari’ah dan Imamah-Jamaah.

Artikel terkait: Prinsip Pergiliran Zaman : Arahan Allah (Taujih Rabbani), Prinsip Pergiliran Zaman : Arahan Nabi (Taujih Nabawi)

http://hidayatullah.or.id

Prinsip Pergiliran Zaman : Arahan Nabi (Taujih Nabawi)

Muhammad-saw

Prinsip pergantian zaman ini juga selaras dengan prediksi Rasulullah saw dalam salah satu haditsnya yang diriwayatkan oleh Imam besar dalam bidang hadits Ahmad, Abu Dawud dan Turmudzi dari Abu Hudzaifah, intelijennya Nabi shalla-llahu ‘alaihi wa sallam (shahibus sirr) pada 14 abad yang silam.

تَكُوْنُ النُّبُوَّةُ فِيْكُمْ مَا شَآءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَآءَ أَنْ يَرْفَعَهَا
“Adalah (fase kepemimpinan) nubuwah ada pada kalian apa yang Allah kehendaki terjadi. Kemudian Allah mengangkatnya manakala Dia menghendaki mengang-katnya.”
Inilah periode awal perjalanan sejarah ummat Islam. Saat itu ummat Islam dipimpin langsung oleh manusia paripurna (insan kamil), pemimpin orang-orang yang bertaqwa (imamul muttaqin), panglima para mujahid (qa-idul mujahidin), yaitu Muhammad shalla-llahu ‘alaihi wa sallam. Mereka langsung dipandu oleh figur teladan (uswatun hasanah) sejak masa kesulitan, kegoncangan (fatrah al-idhthirab) di Mekah sampai jaya di Madinah. Sejak sebelum berfikir tentang perang sampai berkali-kali terjun di medan laga. Sejak sebelum berfikir tentang format kepemimpinan sampai menjadi pemimpin yang disegani di Jazirah Arab. Manusia penunggang onta yang tertata ulang persepsi (tashawwur) dan mata hati (bashirah) mereka tentang Tuhan, alam sekitar dan diri mereka sendiri, terbukti dalam sejarah memiliki kapasitas dan kapabilitas menjadi penghulu dunia (ustad ziyatul ‘alam). Berlalulah masa keemasan itu (‘ashrudz dzahab) selama 23 tahun. Ketika Allah menghendaki, Ia mencabut masa kejayaan itu.

ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةً عَلَى مَنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُوْنُ مَا شَآءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَآءَ اللهُ

أَنْ يَرْفَعَهَا

“Kemudian akan ada khilafah di atas manhaj nubuwah itu, maka terjadilah apa yang Allah kehendaki terjadi. Kemudian Allah mengangkatnya manakala Dia menghendaki untuk mengangkatnya.”

Inilah fase kedua perjalanan sejarah ummat Islam. Para ulama dan ahli sejarah sepakat bahwa periode ini adalah pada masa khulafaur rasyidin: Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Ada yang berpendapat sampai ke kurun khalifah kelima, Umar bin Abdul Aziz. Masa ini fase khalifah yang lurus, jujur dan adil. Rasulullah shalla-llahu ‘alaihi wa sallam melegitimasi masa kedua ini masih dalam koridor minhajin nubuwah (metode kenabian). Artinya periode pertama dan kedua ini adalah masa teladan dan rujukan (referensi) ummat Islam.

مَنْ كَانَ مُتَأَسِّيًا فَلْيَتَأَسَّ بِأَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهَ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّهُمْ أَبَرُّ هَذِهِ اْلأُمَّةِ قُلُوْبًا وَأَعْمَقُهَا عِلْمًا وَأَقَلُّهَا تَكَلُّفًا أَقْوَمُهُمْ هَدْيًا وَأَحْسَنُهُمْ حَالاً قَوْمٌ اخْتَارَهُمُ اللهُ لِصُحْبَةِ دِيْنِهِ فَأَعْرِفُوْا لَهُمْ فَضْلَهُمْ وَاتَّبِعُوْا آثَارَهُمْ فَإِنَّهُمْ كَانُوْا عَلَى اْلهُدَى اْلمُسْتَقِيْمِ (رواه أحمد عن ابن مسعود)

“Barangsiapa hendak menjadikan teladan, teladanilah para sahabat Rasulullah shalla-llahu ‘alaihi wa sallam. Sebab, mereka itulah yang paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling sedikit takalluf-nya (sedikit mengada-ada), paling lurus petunjuknya, dan paling baik keadaannya. Mereka adalah kaum yang dipilih oleh Allah untuk menemani Nabi-Nya dan menegakkan dien-Nya. Karena itu hendaklah kalian mengenal keutamaan jasa-jasa mereka dan ikutilah jejak mereka, sebab mereka senantiasa berada di atas jalan (Allah) yang lurus.” (HR. Ahmad dari Ibnu Masud).

Ketika belakangan ini usaha penegakan tatanan kehidupan Qur’ani pada level eksekutif dan legislatif disalahartikan, bahkan dikhawatirkan terjadi disintegrasi bangsa, itu adalah sesuatu yang wajar. Karena di belahan dunia manapun belum terwujud prototipe negara yang menegakkan syariat secara formal dan komperhensif.

Jika penerapan tatanan ilahi di kepingan-kepingan bumi yang sempit di era globalisasi saat ini tanpa direstui oleh kekuatan internasional kuffar, maka akan menjadi bulan-bulanan. Sebut saja Iran, Pakistan, Sudan yang berusaha menerapkan syariat Islam, maka akan ditemukan catatan-catatan yang penuh dengan kekurangan dan ketidakberdayaan. Ketika kaum kafir internasional menghadapi kaum muslimin pada skala global, maka penyelesaian masalah kaum muslimin tidak bisa diselesaikan secara lokal.
Tepat sekali sebagaimana yang disinyalir Syekh Hasan al-Banna, bahwa tahapan perjuangan ummat setelah pembebasan negeri dari penjajahan asing (tahrirul wathan) adalah memperbaiki pemerintahan yang ada agar kondusif dalam penegakan tatanan ilahi (ishlahul hukumah). Adapun yang terkait dengan format politik Islam, tatanan resmi yang Islami dalam kehidupan bernegara baru terjadi pada tahapan penegakan Khilafah Islam internasional (iqomatul khilafah al-Islamiyah al-‘alamiyah) nanti.
Mungkin ada yang bertanya dan meragukan statemen diatas. Itu ‘kan terjadi pada 15 abad yang silam, tentu berbeda dengan kondisi kita sekarang ini. Manusia pada masa jahiliyah dahulu dengan zaman jahiliyah sekarang (jahiliyah fil qarnil ‘isyrin) adalah sama. Ketika merasa lapar membutuhkan makan, ketika haus perlu minum dan ketika ingin memenuhi kebutuhan biologis perlu nikah, dll. Zaman bisa berubah, tetapi manusianya pada prinsipnya tidak berubah. Yang berbeda hanya produk materialnya saja.
Manusia sekarang berada di jurang kehancuran. Membutuhkan kehadiran sistem kehidupan yang tidak sekedar menonjolkan daya cipta material, tetapi memiliki daya kendali capaian teknologi. Karena inovasi teknologi sekarang hanyalah pengembangan dari komponen teknologi yang ada. Kepemimpinan yang dirindukan manusia modern adalah yang bisa menawarkan ‘aqidah (iman) dan manhaj (pola kehidupan Islami), meminjam istilah Sayid Quthub dalam muqaddimah karyanya, Ma’alim fith Thariq (Rambu-rambu di Sepanjang Jalan Perjuangan).
Kekayaan mahal ummat inilah yang sekarang tidak diyakini oleh pemiliknya. Maka kita dituntut meyakinkan diri kita dan orang lain akan kebenaran dan orisinalitas ‘aqidah dan manhajul hayah ini. Kita memerlukan sebuah pola kepemimpinan yang menghargai capaian teknologi dan mendayagunakan secara maksimal untuk mewujudkan kehendak-kehendak Allah.

ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُوْنَ مَا شَآءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَآءَ أَنْ يَرْفَعَهَا

Kemudian akan ada raja yang menggigit, maka terjadilah apa yang Allah kehendaki terjadi. Kemudian Allah mengangkatnya manakala Dia menghendaki untuk mengangkatnya.”
Fase kehidupan ummat Islam yang ketiga ini dikuasai oleh raja yang menggigit. Ia datang silih berganti dengan sebutan yang berbeda-beda. Yang paling awal adalah Dinasti Umaiyah, kedua Dinasti Abasiyah dan ketiga Dinasti Utsmaniyah yang berakhir pada tahun 1924. Sekitar 13 abad ummat Islam di bawah kekuasaan raja-raja yang menggigit ini (mulkan ‘adhdhan).
Pada masa ini para khalifah disebut raja, karena secara formal menjabat khalifah tetapi pada dataran operasional pola pemerintahannya menerapkan sistem kerajaan.  Kepemimpinan bukan dilahirkan oleh syura tetapi diwariskan kepada keluarga dekat kerajaan, anak keturunannya.
Disebut “raja yang menggigit” karena masih menggigit Kitabullah dan Sunnah Rasul, tetapi hampir-hampir lepas. Dan pada akhirnya lepas juga pada tahun 1924 dengan munculnya Dewan Nasional Turki oleh Mustafa Kamal Attaturk (Bapak Bangsa Turki). Namun, para ulama’ yang istiqamah menggelarinya dengan Mustafa Kamal A’da’ut Turk (Musuh Bangsa Turki). Inilah masa keruntuhan dan keterpurukan ummat Islam. Dunia Islam laksana kebun yang penuh tanaman subur dan bunga-bunga yang indah, tetapi tanpa pagar pelindung dan penjaga kebun yang bertanggung jawab.
Kondisi ini sebagaimana yang diisyaratkan Rasulullah shalla-llahu ‘alaihi wa sallam, “Kamu sekalian akan dijarah beramai-ramai oleh ummat-ummat manusia seperti halnya santapan yang dikerumuni orang-orang lapar. Karena kamu semuanya ibarat buih, jumlahnya banyak tetapi tidak berkualitas”.
Sebelum tahun 1924, sekalipun kendali kekuasaan dipegang oleh “raja yang menggigit”, tetapi ummat Islam masih memiliki payung dan pusat komando (al-imamah al-‘uzhma) di Turki. Dalam dokumen sejarah dicatat, para penguasa negeri-negeri muslim di seluruh dunia selalu mengadakan korespondensi dengan pusat kekuasaan di Turki. Pada akhir abad ke-20, panglima Fatahilah sepulangnya dari menunaikan ibadah haji, beliau singgah untuk belajar di Akademi Militer di Turki. Sekembalinya ke Nusantara beliau bisa memukul mundur pasukan penjajah Portugis.

Lalu, Rasulullah shalla-llahu ‘alaihi wa sallam meneruskan sabdanya :

ُمَّ تَكُوْنُ مُلْكًا جَبَرِيًّا فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا

“Kemudian akan ada (pemegang) kekuasaan yang diktator, maka terjadilah apa yang Allah kehendaki terjadi. Kemudian Allah mengangkatnya manakala Allah menghendaki untuk mengangkatnya.”
Masa keempat perjalanan sejarah ummat Islam ini mengalami krisis kepemimpinan. Ummat Islam dari segi kuantitas tergolong besar, tetapi mereka laksana sampah, makna lain dari gutsaa’ (buih), menurut pakar hadits Dr. Daud Rasyid. Mereka bukan berkumpul tetapi berkerumun. Mereka mayoritas, tetapi hati-hati individu mereka tercabik-cabik oleh paham kedaerahan (nasionalisme) yang sempit, madzhab, aliran keagamaan dan kepentingan. Kehadirannya tidak menggenapkan dan kepergian-nya tidak mengganjilkan. Mereka diperebutkan untuk dijadikan mangsa binatang buas.
Pada periode ini, jangankan sepakat untuk mengangkat isu-isu besar penegakan Daulah Islamiyah, penentuan awal Ramadhan dan Idul Fithri saja tidak menemukan kata sepakat. Di tengah-tengah mereka tidak ada wasit (penengah) yang dipercaya untuk mengambil keputusan yang disepakati oleh semua komponen umat ini. Tubuh ummat Islam tercabik-cabik oleh perpecahan internal. Energi mereka habis untuk ghibah, namimah, hasud, dendam, terhadap kawannya sendiri. Sehingga terlambat dalam merespon perubahan-perubahan yang terjadi di sekelilingnya (dhu’ful istijabah lil mutaghayyirat).
Setelah tahun 1924, dunia memasuki perang dunia I, II dan Perang Dingin antara Blok Timur versus Blok Barat (syarqiyyah wa gharbiyyah). Tetapi, rentetan peristiwa diatas hanyalah muqaddimah tampilnya mulkan jabariyyan (raja diktator) berskala global. Setelah tahun 1990, tidak ada lagi dua kubu di pentas kehidupan global. Yaitu pasca runtuhnya Tembok Berlin di Jerman. Hegemoni raja diktator internasional mulai menampakkan eksistensinya, bermarkas di Gedung Putih (al-bait al-abyadh), dan didukung oleh kroni-kroninya yang tergabung dalam negara G7 : Inggris, Perancis, Jerman, Jepang, Italia, Kanada dan Rusia.
Tidak ada pemimpin yang mangkat (baca: naik ke tampuk kekuasaan) di belahan dunia ini selain dalam hegemoni raja diktator dunia, kecuali yang dirahmati oleh Allah. Mereka yang bersebarangan dengan kemauan penguasa diktator dunia akan berjalan tertatih-tatih. Mereka memiliki tangan-tangan dan kaki-kaki di semua kepingan bumi ini. Bahkan belakangan ini ada upaya sistematis untuk memecah keutuhan bangsa, dengan fenomena Papua dan Aceh. Pihak-pihak yang masih getol mempertahankan keutuhan NKRI disingkirkan oleh orang nomer satu di negeri ini dari panggung kekuasaan.
Prinsip pergantian zaman ini penting diketahui agar kita menyadari di kurun mana kita ini sedang berada. Ternyata kita berada pada titik nadir kelemahan ummat ini. Kita tidak terlalu berharap kemana pun dan kepada siapa pun. Siapa pun yang tampil memegang tampuk kepemimpinan di dunia pasti mendapat SIM (Surat Izin Mangkat) dari hegemoni malikun jabbar. Marilah kita bangun, bangkit, memperbaharui komitmen kita karena kita mengalami masa yang tidak sederhana. Kita bergerak pada kurun yang tidak mudah.
Saatnya kita bangun untuk menyongsong masa terakhir dari perjalanan sejarah ummat Islam yaitu masa khilafah ‘ala manhajin nubuwwah. Karena kita yakin bahwa kepemimpinan raja diktator ada masa akhirnya. Kebatilan, sekalipun dipagari oleh kekuasaan yang kokoh akan segera hilang. Lebih-lebih saat ini mereka mengadakan konspirasi global untuk menghancur-kan pusat syiar-syiar Islam. Sesungguhnya mercusuar Islam (baca: Tanah Suci Makkah) itu adalah milik-Nya. Dia sendiri yang akan menjaganya dari tangan-tangan jahil.

ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ (رواه احمد ابوداود و الترمذي)

“Kemudian akan ada khilafah di atas manhaj nubuwah (metode kenabian).” (HR Ahmad, Abu Dawud dan at-Tirmudzi).
Persoalan yang esensial bagi kita bukan terletak pada kapan terjadinya khilafah atas metode kenabian itu. Sebab, masa itu akan terjadi pada masa kita atau kemungkinan pada zaman keturunan kita. Hadits ini adalah prediksi nubuwwah, bukan ramalan ahli nujum dan para normal. Kita tidak bangkit pun prediksi Nabi itu pun akan terjadi. Kita sekarang perlu mempersiapkan diri sebagai elemen perubah dan pencabut sang diktator dunia. Dengan cara konsisten; istiqamah, mudawamah wal istimrar (berkesinambungan) melaksanakan tahapan amal Islami (maratibul ‘amal Islami) merujuk tahapan turunnya wahyu Al Quran.
Yaitu, memperbaiki akidah (ishlahul ‘aqidah), melaksanaan syariat (tathbiqusy syari’ah), memperbaiki akhlak (ishlahul akhlaq), melaksanakan dakwah dan harakah (‘amalu ad-da’wah wal harakah) serta memperbaiki kualitas jama’ah (binaul jama’ah).
Pada akhirnya kita perlu bangkit untuk mewujudkan agenda-agenda penting dakwah diatas. Agar kita aman dan lulus dari Mahkamah Ilahi kelak. Kita berupaya menyadarkan sebanyak mungkin manusia agar menjadi batu bata dakwah (asy-sya’bu qawaa-idud da’wah). Sekalipun kita tidak sadar, tidak bangun, tidak bergerak, fenomena kebangkitan ummat Islam itu pasti terwujud, dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala.
Berita gembira kemenangan Islam
1)    Janji Allah kepada orang beriman

وَعَدَ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوْا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فيِ اْلأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لِهُمْ دِيْنَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُوْنَنِيْ لاَ يُشْرِكُوْنَ بِيْ شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَسِقُوْنَ (النور : 55)

“Dan Allah telah berjanji kepada orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal shalih, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasiq.” (QS an-Nuur : 55).
Menurut Ibnu Katsir, ini adalah janji Allah pada Rasul-Nya shalla-llahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Allah akan menjadikan ummatnya para pemimpin bumi, atau pemimpin dan penguasa mereka. Dengan mereka negara akan menjadi aman, dan manusia tunduk kepada mereka. Dan Allah akan menggantikan ketakutan mereka menjadi perasaan damai. Terbukti ketika Rasulullah shalla-llahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, Allah telah membebaskan Makkah, Khaibar, Bahrain, seluruh Jazirah Arab, seluruh Yaman, memungut upeti dari Majusi Hajara, dan dari beberapa daerah Syam, Heraclius raja Romawi memberikan hadiah, demikian juga Muqauqis penguasa Mesir dan Iskandariah, raja-raja Oman, dan Najasyi (Negus) raja Abbyssinia (yang nantinya dikuasai oleh sahabat-sahabat Rasulullah shalla-llahu ‘alaihi wa sallam).
Kemudian usaha mulia itu diteruskan oleh Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Ia menjadikan jazirah Arab sebagai pusat kekuatan Islam. Kemudian mengirim tentaranya ke Parsi di bawah kepemimpinan Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu, dan mampu membebaskan daerah itu. Kemudian mengirim tentara kedua, di bawah komando Abu Ubaidah bin al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu menuju Syam, dan ketiga dibawah komando ‘Amru bin ‘Ash radhiyallhu ‘anhu menuju Mesir. Pada masa itu, Syam, Bashrah, dan lain-lain dibebaskan.
Kemudian disempurnakan oleh khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Tiada dalam sejarah setelah Nabi-nabi, orang yang sepadan dalam kekuatan sirahnya dan keadilannya dengan al-Faruq ini. Pada zaman ini seluruh Syam, Mesir, sebagian Parsi dibebaskan. Kishra dihinakan, kekuasaan Caesar di negeri Syam direbut. Kemudian ia menginfakkan harta Kishra dan Caesar untuk sabilillah. Hal ini sesuai dengan janji Allah kepada Nabi shalla-llahu ‘alaihi wa sallam.
Pada zaman Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu kekuasaan Islam telah sampai ke penjuru timur dan barat dunia. Negeri-negeri Maghrib dapat dibebaskan hingga Cina. Kishra terbunuh dan kerajaannya habis riwayatnya. Kota-kota Irak, Khurasan dan Ahwaz dapat ditundukkan, sehingga kharaj (pajak tanah) dari penjuru timur dan barat dikumpulkan ke hadapan khalifah Utsman. Berkat bacaannya, kajian dan menyatukan ummat untuk memelihara al-Quran. Dalam hadits shahih, Rasulullah shalla-llahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ اللهَ زَوَى لِيْ اْلأَرْضَ فَرَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارَبَهَا وَسَيَبْلُغُ مُلْكَ أُمَّتِيْ مَا زَوَى لِيْ مِنْهَا

“Allah telah memperlihatkan kepadaku bagian timur dan barat bumi, dan kekuasaan umatku akan mencakup seluruh wilayah yang aku lihat ini.”


2)    Allah akan mendatangkan kaum yang Dia cintai

Berita gembira disebutkan dalam surat al-Maidah, mengancam orang-orang murtad yang keluar dari agama. Mereka tidak akan mengganggu agama Allah, dan agama Allah tidak akan runtuh dengan kemurtadan mereka. Allah akan mendatangkan generasi mukmin yang kuat, yang membasmi kekafiran. Mereka menegakkan agama dalam jiwa mereka sebagai ikatan yang kuat – bahkan ikatan cinta – antara mereka dengan Tuhan mereka, ikatan kasih sayang sesama saudara seiman, ikatan kemuliaan dan kekuatan terhadap orang-orang kafir, dan ikatan perjuangan dan jihad terhadap orang yang berbuat munkar. Semua ini adalah sifat-sifat pokok yang dijelaskan dalam al-Quran untuk memberikan kabar gembira kepada orang-orang beriman, dan mengancam orang-orang murtad.

يَآيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِيْنِهِ فَسَوْفَ يَأْتيِ اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّوْنَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى اْلمُؤْمِنِيْنَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِيْنَ يُجَاهِدُوْنَ فيِ سَبِيْلِ اللهِ وَلاَ يَخَافُوْنَ لَوْمَةَ لاَئِمٍ (المائدة : 54)

“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa diantara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah-lembut terhadap orang yang beriman, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela” (QS Al Maidah : 54).
Ibnu Katsir berkata, “Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan akan tibanya kekuasaan yang besar. Barangsiapa yang tidak mau menolong agama Allah dan menjalankan syariat-Nya, maka Dia akan menggantikan mereka dengan orang-orang yang lebih baik dari mereka, lebih kuat, lebih lurus, teguh pendirian”.

وَإِنْ تَتَوَلَّوْا يَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ ثُمَّ لاَ يَكُوْنُوْا أَمْثَالُكُمْ (محمد : 38)

“Dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu (ini).” (QS Muhammad : 38).

إِنْ يَشَأْ يُذْهِبْكُمْ أَيُّهَا النَّاسُ وَيَأْتِ بِأَخَرِيْنَ (النساء : 133)

Jika Allah menghendaki, niscaya Dia memusnahkan kamu wahai manusia, dan Dia datangkan umat yang lain (sebagai penggantimu).” (QS an-Nisa’ : 133).

أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللهَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ بِالْحَقِّ إِنْ يَشَأْ يُذْهِبْكُمْ وَيَأْتِ بِخَلْقٍ جَدِيْدٍ (إبراهيم : 19-20)

Jika Allah menghendaki, niscaya Dia membinasakan kamu dan menggantikanmu dengan makhluq yang baru, dan yang demikian itu sekali-kali tidak sukar bagi Allah.” (QS Ibrahim : 19-20).
Ketika menafsirkan ayat,

يُجَاهِدُوْنَ فيِ سَبِيْلِ اللهِ وَلاَ يَخَافُوْنَ لَوْمَةَ لاَئِمٍ

Mereka berjihad di jalan Allah dan mereka tidak takut celaan orang yang suka mencela.”
Ibnu Katsir berkata, “Maksudnya ketaatan kepada Allah, pelaksanaan hudud, memerangi musuh Allah, dan amar ma’ruf nahi munkar, tidak terpengaruh dan terhalangi oleh siapapun. Mereka tidak gulana atas kecaman yang mereka dapatkan dari orang-orang yang bodoh.”
Ibnu Katsir menyebutkan hadits dari Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, yang diriwayatkan Imam Ahmad, “Kekasihku – Rasulullah – menyuruhku untuk menjalankan tujuh hal.” Kemudian beliau menyebutkan antara lain, “Rasulullah menyuruhku mengatakan kebenaran meskipun itu pahit, dan menyuruhku agar tidak takut terhadap cercaan orang yang mencerca.”

3)    Kabar gembira dari Sunnah Nabi

لَيَبْلُغَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ مَا بَلَغَ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ لاَ يَتْرُكُ اللهُ بَيْتَ مَدْرٍ وَلاَ وَبَرٍ إِلاَّ أَدْخَلَهُ هَذَا الدِّيْنَ بِعِزِّ عَزِيْزٍ أَوْ بِذُلِّ ذَلِيْلٍ عِزًّا يُعِزُّ اللهُ بِهِ اْلإِسْلاَمَ وَذُلاًّ يُذِلُّ اللهُ بِهِ الْكُفْرَ (رواه أحمد فى مسنده)

Islam akan mencapai wilayah yang dicapai siang dan malam. Allah tidak akan membiarkan rumah yang mewah maupun yang sederhana kecuali akan memasukkan agama ini ke dalamnya. Dengan memuliakan oarng yang mulia atau menghinakan orang yang hina. Mulia karena dimuliakan Allah disebabkan keIslamannya dan hina karena dihinakan Allah disebabkan kekafirannya.” (HR. Ahmad dalam Musnad).
Maksud sampainya Islam ke daerah yang disentuh siang dan malam, yaitu tersebarnya Islam ke seluruh permukaan bumi, sebagaimana siang dan malam menutupinya, dan masuknya agama ini ke daerah perkotaan maupun pedesaan.

هُوَ الَّذِيْ أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ وَلَوْكَرِهَ الْمُشْرِكُوْنَ (التوبة : 33)

“Dia lah (Allah) yang mengutus Rasul-Nya dengan (membawa) petunjuk (al-Quran) dan agama yang benar agar dimenangkan-Nya diatas segala agama.” (QS at-Taubah : 33).
Pengertian lafazh “liyuzh-hirahu ‘alad-diini kullihi” ialah dominasinya atas semua agama. Pada abad-abad pertama, Islam mengungguli Yahudi, Nasrani, paganisme Arab, Majusi Persia, dan sebagian agama-agama Asia-Afrika. Akan tetapi, Islam belum menang atas semua agama. Kita masih menunggu berita gembira ini, dan Allah tidak pernah mengingkari janji-Nya.
Dan masih banyak lagi berita gembira meluasnya kemakmuran, kembalinya khilafah atas manhaj nubuwwah, bertahannya kelompok kebenaran, datangnya pembaharu setiap abad, turunnya al-Masih, datangnya al-Mahdi, kemudian fenomena kebangkitan kesadaran beragama di kawasan-kawasan yang selama ini menjadi pusat kekufuran, dan populasi ummat Islam yang semakin bertambah. Hal ini dapat dilihat pada jumlah jamaah haji dari tahun ke tahun yang terus bertambah, berasal dari daerah yang selama ini tidak mengenal Islam, dsb.


Sumber daya manusia (al-wasa’il ghairul maddiyah ‘indal muslimin)

Saat ini jumlah ummat Islam di dunia berkisar 1,4 milyar penduduk. Tersebar di lima benua. Benar, pandangan orang yang mengatakan, yang lebih penting adalah kualitas. Tetapi kuantitas memiliki kepentingannya sendiri, sampai mencapai jumlah dimana musuh kesulitan menghancurkannya.
Sesungguhnya jumlah yang besar adalah nikmat. Ia adalah syarat mutlak terhadap semua prestasi ekonomi atau peradaban. Apabila jumlah jamaah shalat fardhu sepadan dengan jumlah shalat Jum’ah adalah diantara tanda-tanda kebangkitan ummat. Meskipun gelombang politik Islam bersifat fluktuatif, tetapi jumlah penduduknya – secara global – tidak pernah berkurang. Islam ibarat air, senantiasa mencari tempat yang rendah untuk mengalir.
Bangsa-bangsa di dunia berusaha keras mengurangi populasi kaum muslimin. Mereka membuat blok-blok (persekutuan) di antara mereka, walaupun terdapat perbedaan yang tajam dalam ras, bahasa, agama dan sejarah. Jumlah yang besar adalah anugerah yang patut disyukuri.

وَاذْكُرُوْا إِذْ كُنْتُمْ قَلِيْلاً فَكَثَّرَكُمْ (الأعراف : 86)

Dan ingatlah ketika kalian sedikit lalu Allah membanyakkan (jumlah) kalian.” (QS al-A’raf : 86).

Sumber daya alam (al-wasa’il al-maddiyah ‘indal muslimin)

Kita memiliki barang tambang dan kekayaan sumber daya alam yang terpendam di perut bumi dan di dasar lautan. Ini adalah kekuatan ekonomi. Sesuatu yang tidak dimiliki ummat lain. Tanah kita subur dengan daratan rendah dan oase-oase. Kita memiliki bukit-bukit, gunung-gunung, lautan, teluk, sungai-sungai besar, sumber-sumber mata air, sumur-sumur, cadangan penyimpanan air tanah dan tambang-tambang yang penting yang dibutuhkan oleh dunia. Kita memiliki cadangan minyak terbesar di dunia. Sumber-sumber kekayaan alam itu berada di kawasan Teluk, Aljazair, Brunei Darussalam, Indonesia, bahkan di wilayah-wilayah muslim bekas Uni Soviet dan yang masuk ke dalam RRC, ditemukan sumber-sumber minyak.
Letak geografis kita memiliki nilai penting. Tempat pertemuan benua-benua, sumber-sumber peradaban dan tempat lahirnya risalah-risalah langit; Yahudi, Nasrani dan Islam. Memang Allah subhanahu wa ta’ala telah menyediakan energi material dan immaterial untuk membantu kaum muslimin, membangun dan memanfaatkan untuk menegakkan agama-Nya, sekaligus memadamkan berbagai pemberontakan terhadap Islam di berbagai penjuru dunia.

Warisan sejarah (khubratun min at-tarikh)

Islam pada masa lampau telah berjaya memegang kendali peradaban lebih dari tujuh abad. Belum pernah ada satu agama maupun ideologi yang mampu mengembangkan peradabannya melebihi Islam. Peradaban Barat pun hari ini baru berumur kurang lebih 450 tahun. Itupun telah terjadi krisis akhlak dan material. Jika kaum muslimin pada masa lampau mampu menguasai peradaban, tentu bisa juga untuk mengendalikan masa depan, bi-idznillah.

Artikel terkait: Prinsip Pergiliran Zaman : Arahan Allah (Taujih Rabbani)

http://hidayatullah.or.id

Prinsip Pergiliran Zaman : Arahan Allah (Taujih Rabbani)

Allah

وَلاَ تَهِنُوْا وَلاَ تَحْزَنُوْا وَأَنْتُمُ اْلأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ . إِنْ يَمْسَسْكُمْ قَرْحٌ فَقَدْ مَسَّ الْقَوْمَ قَرْحٌ مِثْلُهُ (آل عمران : 139-140)

“Janganlah kamu merasa hina, dan jangan (pula) bersedih hati, karena kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang yang beriman. Jika kamu ditimpa penderitaan maka kaum (kafir) juga merasakan penderitaan yang sama.” (QS Ali Imran : 139-140. Lihat juga ayat 104).
Jika mencermati kondisi ummat Islam belakangan ini sungguh menjadikan hati kita tersayat. Betapa penderitaan berkepanjangan yang menderanya tak kunjung berakhir, musibah demi musibah datang silih berganti, cobaan demi cobaan yang menyelimutinya tak kunjung lepas. Namun, yang perlu kita sadari bersama bahwa kaum selain kita juga merasakan kesulitan yang sama. Hanya saja obyek perasaan derita kita berbeda dengan yang mereka rasakan. Kesulitan kita adalah betapa beratnya mempertahankan komitmen (iltizam), keteguhan (tsabat), kesabaran, serta konsistensi (istiqamah) dalam menjalankan syariat Islam di tengah-tengah gegap-gempitanya manusia yang berkonspirasi memarjinalkan peran Allah dalam kehidupan ini.
Sedangkan kesulitan kaum kafir adalah mempertahankan status quo kebatilan di tengah maraknya kebangkitan ummat Islam (nahdhatul ummah). Fenomena kesadaran beragama para mahasiswa, intelektual, kaum perkotaan semakin menggeliat. Mereka berusaha secara maksimal untuk membendung gejala kesadaran  kembali ke Islam. Nampaknya kebangkitan Islam itu tidak bisa diredam dan diredupkan.
Usaha mereka hanya sia-sia belaka.

لِيَغِيْظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ (الفتح : 29)

Karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang beriman).” (QS al-Fath : 29).

يُرِيْدُوْنَ أَنْ يُطْفُِؤا نُوْرَ اللهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبىَ اللهُ إِلاَّ أَنْ يُتِمَّ نُوْرَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ  هُوَالَّذِيْ أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِاْلهُدَى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُوْنَ (التوبة : 32-33)

“Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupn orang-orang kafir tidak menyukai. Dialah yang mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.” (QS At-Taubat : 32-33. Lihat juga : ash-Shaff : 8-9; al-Fath : 28).

قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَآءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِيْ صُدُوْرُهُمْ أَكْبَرُ

Telah nampak kebencian pada mulut-mulut mereka, dan apa yang disimpan di dada mereka lebih besar.” (QS Ali Imran : 118).
Jadi tidak kita saja yang menderita kesulitan, mereka juga merasakan kesulitan dalam menghadapi banyaknya kaum terpelajar, bangsa-bangsa di negara maju yang ingin kembali kepada ajaran yang sesuai dengan fithrah mereka. Setelah mereka lari dari agama (kristen) karena dianggap menghambat kemajuan berfikir. Dan terjadilah kebebasan yang tak terkendali. Sains dan teknologi yang menjanjikan sarana kehidupan (wasilatul hayat) pada kehidupan globalisasi sebagai produk paham kebendaan (materialisme), terbukti gagal dalam memandu manusia modern menemukan kebahagiaan hidup.  Mereka kembali kepada aliran eksistensialisme (hati nurani). Tetapi hati nurani seseorang dipengaruhi oleh lingkungan pendidikan, pergaulan, persepsi, kebiasaan yang berbeda-beda.
Kita juga merasakan kesulitan dalam mendesain kehidupan ini hanya mencari ridha Allah, saat dimana kebanyakan manusia ingin mencari keridhaan, restu kepada selain Allah. Oleh karena itu pada bagian ayat berikutnya Allah memberikan hiburan (tasliyah) kepada kita.

وَتِلْكَ اْلأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَيَتَّخِذَ مِنْكُمْ شُهَدَآءَ وَاللهُ لاَ يُحِبُّ الظَّالِمِيْنَ (آل عمران : 140)

“Demikianlah hari-hari itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar memperoleh pelajaran), dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zhalim.” (QS Ali Imran : 140).
Terkadang kaum beriman itu sedang naik di atas pada masa keemasannya. Menempati posisi penting dan strategis. Adakalanya jatuh terpuruk, dan kaum kafir berjaya di dunia ini. Tentu kejayaan yang diraih selain kita adalah kejayaan yang palsu. Sementara kejayaan yang kita peroleh adalah kemenangan sejati. Kemenangan yang mencerahkan, menampakkan cahaya kebenaran. Sebab kejayaan orang kafir itu tidak mendapat arahan, bimbingan dan petunjuk dari Allah, sedangkan kejayaan ummat Islam memperoleh restu dari Allah. Kejayaan kaum muslimin terjadi ketika kita menyaksikan kembalinya kekuasaan Allah di dunia ini, secara de jure dan de facto (secara syar’i dan kauni).

Fiqh pergiliran dan pergantian zaman adalah sebuah kenyataan sejarah kehidupan manusia yang patut kita jadikan renungan secara mendalam. Timbul tenggelamnya bangsa di muka bumi ini memiliki maksud spesifik di mata Allah subhanahu wa ta’ala. Agar Dia mengetahui siapa diantara kita yang benar-benar beriman dan Dia mengambil sebagian komunitas itu sebagai syuhada’.
Barangsiapa memperhatikan keadaan ummat-ummat sepanjang sejarah maka ia akan mendapatkan pelajaran bahwa obor peradaban berpindah dari bangsa satu ke bangsa lain, dari satu tangan ke tangan lain. Sesungguhnya perputaran (saat) ini adalah milik kita, bukan melawan kita, kata Hasan al-Banna.

Dahulu kepemimpinan dunia di tangan negara-negara Timur, melalui peradaban Fir’aun, Asyuriah, Babylonia, Chaldea, Phoenisia, Persia, India dan China; kemudian ke Barat melalui peradaban Yunani dengan filsafatnya yang terkenal, berpindah lagi ke Timur lewat peradaban Arab-Islam, peradaban yang menyatukan iman dan ilmu, materi dan spiritual, lahir dan batin, lalu tenggelam dan melupakan risalahnya.

Barat memegang kendali kepemimpinan dunia. Akan tetapi ia tidak amanah. Bahkan mengalami kebangkrutan norma, melampaui keadilan, memetingkan kekuatan dari kebenaran, materi atas ruhani, benda atas manusia. Merupakan kewajaran bila obor peradaban harus berpindah ke tangan lain.
Kesadaran kita terhadap prinsip mendasar (mabda’ asasi) ini harus melekat dalam totalitas kepribadian kita sebagai sosok muslim, sosok yang memposisikan diri sebagai bagian dari elemen perubah (min ‘anashirit taghyir). Supaya sedikit pun kita tidak melangkah ke jalan lain selain jalan Allah. Tidak sedetik pun kita berfikir untuk memilih alternatif lain selain solusi dari Allah. Kalaupun orang lain tidak tahan, tidak sabar, kurang teguh menapaki tabiat perjalanan dakwah ini, tidak mengurangi stamina fisik dan ma’nawiyah (spirit) kita.

Artikel terkait: Prinsip Pergiliran Zaman : Arahan Nabi (Taujih Nabawi)

http://hidayatullah.or.id