Posts from the ‘SEJARAH’ Category

Syiah, Dokumen Prancis dan Penghianatan di Balik Runtuhnya Kekhilafahan Islam

gal145302267

Kaum Alawi rayakan festival di Banyas, Suriah, selama Perang Dunia II (foto: Wikipedia)

Oleh: Artawijaya

BAGHDAD baru saja ditaklukkan oleh pasukan Tartar. Pusat pemerintahan Dinasti Abbasiyah dan situs-situs peradaban Islam diluluhlantakkan. Pasukan yang dipimpin oleh Hulagu Khan dari ras Mongolia itu berhasil menaklukkan salah satu kota yang menjadi simbol gemilangnya peradaban Islam pada 656 Hijriyah. Sejarah menceritakan, sungai di Baghdad yang jernih berubah pekat menghitam akibat ribuan, bahkan jutaan buku yang ditenggelamkan. Sebagian lagi terbakar oleh keganasan invasi pasukan kafir tersebut. Takluknya Baghdad menandai runtuhnya imperium Khilafah Abbasiyah yang dikenal sebagai salah satu pusat peradan Islam.

Mengenai keruntuhan Baghdad dan penyerangan pasukan Tartar, sejarawan Dr. Raghib As-Sirjani menceritakan kisah ini dalam bukunya “Qishah At-Tatar min Al-Bidayah ila ‘Ain Jalut” (hlm. 129-170). Sedangkan sejarawan lainnya, Dr. Muhammad Ali Ash-Shalabi menceritakan dengan apik dalam bukunya “Al-Moghul Baina Al-Intisyar wa Al-Inkisyar” (hlm.310-312). Kedua sejarawan tersebut sangat mumpuni dalam bidangnya, karena disamping sebagai sejarawan (mu’arrikh), mereka juga ahli hadits (muhaddits), yang bisa memilah mana kisah-kisah palsu dan mana yang mu’tabar.

Kejatuhan Daulah Abbasiyah ke tangan pasukan Tartar tak lepas dari pengkhianatan tokoh Syiah Rafidhah bernama Alauddin Ibnu Alqami. Dalam keterangan lain, kejatuhan Baghdad karena adanya konspirasi antara pasukan Tartar dan kelompok Syiah Qaramithah yang mempunyai hasrat menjatuhkan pemerintahan Daulah Abbasiyah, kemudian menggantikannya dengan Daulah Fathimiyah.

Ia diangkat sebagai perdana menteri oleh Khalifah Al-Mu’tashim Billah. Namun Ibnu Alqani memendam hasrat untuk merampas kekhilafahan Abbasiyah agar jatuh ke tangan Dinasti Fathimiyah. Ibnu Alqani berkorespondensi dengan pimpinan bangsa Tartar dan mendukung pasukan kafir tersebut masuk dan menyerang kota Baghdad. Ibnu Katsir menceritakan, “Ibnu Alqani menulis surat kepada pasukan Tartar yang intinya mendukung mereka menguasai Baghdad dan siap melicinkan jalan bagi mereka (Tartar). Ia membeberkan kepada mereka kondisi terakhir Khilafah Abbasiyah, termasuk kelemahan pasukan Al-Mu’tashim. Itu semua tiada lain karena pada tahun tersebut ia ingin melihat Khalifah Abbasiyah, Al-Mu’tashim, tumbang, dan bid’ah aliran sesat Syiah Rafidhah berkembang pesat. Khalifah diambil oleh Dinasti Fathimiyah, para ulama  dan mufti sunnah musnah.” (Lihat: Al-Bidayah wa An-Nihayah, XIII/202)

Baghdad berhasil takluk. Khalifah Al-Mu’tashim Billah wafat terbunuh pada 14 Shafar 656 H/1258 M. Pembunuhan Al-Mu’tashim tak lepas dari pengkhianatan Ibnu Alqani dan Nashiruddin Ath-Thusi, yang menjalin hubungan dengan Hulagu Khan. Pengkhianatan itu mengakibatkan banyaknya ulama yang terbunuh, sekolah-sekolah dan masjid yang hancur, perpustakaan sebagai gudang ilmu luluhlantak, dan kekejaman lainnya yang luar biasa. Baghdad yang indah dan megah bersimbah darah. Kaum muslimin ketika itu berduka. Pusat peradaban Islam yang gemilang, tinggal kenangan.

Setelah berhasil menaklukkan Baghdad, pada 22 Shafar 657 Hijriyah pasukan Tartar yang dipimpin oleh Hulagu Khan kemudian bergerak menuju Syam, wilayah yang menjadi pusat kekuasaan Islam pada masa itu. Mereka melakukan invasi dengan menyeberangi sungai Furat dan mengepung pintu masuk Syam selama tujuh hari. Pengepungan berhasil, bangsa Tartar kemudian masuk menyerbu kota. Sejarawan Ali Muhammad Ash-Shalabi mengatakan, Aleppo (halb) adalah kota pertama yang menjadi tujuan penaklukan Hulagu dan pasukannya, yang ketika itu dipimpin oleh Al-Malik Al-Mu’zham Tauran Syah, wakil dari Malik An-Nashir. Sebelum memasuki Aleppo, sebagaimana kebiasaan Hulagu, ia memberi peringatan penguasa agar tunduk dan menyerah. Namun, peringatan Hulagu Khan ditanggapi oleh Al-Malik Al-Mu’zham Tauran Syah dengan mengatakan, “Tidak ada yang pantas bagi kalian dari kami, kecuali pedang…!”

Hulagu Khan kemudian mengirim panglimanya yang bernama Katabgha untuk menaklukkan kota Damaskus pada akhir bulan Rajab, tahun 658 Hijriyah. Penaklukan berlangsung tanpa perlawanan, hingga akhirnya Damaskus yang merupakan kota terbesar di Suriah selain Aleppo, berhasil  tunduk pada kekuasaan Tartar.

Negeri Syam yang dikenal sebagai tanah yang berkah, saat itu terkotori dengan ulah pasukan Tartar. Kemenangan pasukan Tartar kemudian dimanfaatkan oleh orang-orang Nashrani untuk mendekati Hulagu Khan. Mereka membujuknya agar Hulagu membiarkan umat Nashrani menyiarkan agamanya. Setelah mendapat persetujuan, umat Nashrani berkeliling kota mengangkat salib-salib mereka di atas kepala, sambil berteriak mengatakan, “Agama yang benar adalah agama Al-Masih..”.  Mereka mengarak salib-salib besar mereka keliling kota, kemudian memaksa para penduduk untuk berdiri menghormati salib tersebut. Tartar ketika itu mengangkat seorang pemimpin di Damaskus yang bernama Ibil Siyan, pemimpin yang dikenal sangat melindungi kaum Nashrani.

Kota Damaskus dan Aleppo berhasil ditaklukkan. Kota yang bersejarah dan menyimpan peradaban Islam itu harus menyerah pada kekuatan pasukan Tartar. Jika Baghdad berhasil ditaklukkan oleh bangsa Tartar karena pengkhianatan Syiah Rafidhah, maka diantara faktor yang melemahkan semangat jihad umat Islam di negeri Syam saat itu adalah pengkhianatan kelompok Syiah Nushairiyah. Melalui para pemimpinnya, mereka berusaha merapat pada Hulagu Khan, dengan iming-iming yang ditawarkan pada pimpinan pasukan Tartar itu berupa harta milik kaum Muslimin yang berhasil dilumpuhkan. Diantara pemimpin Syiah yang berkhianat terhadap umat Islam adalah Syaikh Al-Fahr Muhammad bin Yusuf bin Muhammad Al-Kanji. Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menceritakan hal ini dalam buku monumentalnya, Al-Bidayah wa An-Nihayah, dengan menulis, “Ia adalah tokoh Syiah yang telah membujuk bangsa Tartar dengan harta kaum Muslimin. Ia sosok berhati busuk, orientalistik, dan meminta bantuan mereka (Tartar) dengan harta kaum muslimin…”

Dr. Imad Ali Abdus Sami Husain dalam bukunya “Khianaat Asy-Syiah wa Atsaruha fi Hazaimi Al-Ummah Al-Islamiyah” menceritakan bahwa ketika pasukan Tartar masuk ke kota Aleppo pada 658 Hijriyah, merampas dan mencuri harta dan tanah kaum muslimin di kota itu, pimpinan Syiah yang bernama Zainuddin Al-Hafizhi justru mengagung-agungkan Hulagu Khan dan meminta kepada umat Islam untuk tunduk menyerah dan tidak mengobarkan api perlawanan terhadap pasukan penjajah tersebut.

Padahal  Ketika itu, Raja An-Nashir yang berasal dari kalangan sunni sudah berkirim surat kepada Raja Al-Mughits di Kurk dan Al-Muzhaffar Qutuz di Mesir untuk mengirimkan bala bantuan kepada kaum muslimin di Aleppo. Namun sayang, kondisi mereka yang ketika itu juga dalam keadaan lemah, tidak mampu memenuhi permintaan Raja An-Nashir.

Sikap pemimpin Syiah Nushairiyah, Zainuddin Al-Hafizhi, memantik kemarahan Malik Az-Zhahir Ruknuddin Baybars Al-Bunduqdari. Ia begitu marah kepada pemimpin Syiah itu, kemudian memukulnya sambil mengatakan, “Kalianlah penyebab kehancuran kaum Muslimin!” Baybars adalah tokoh pejuang Muslim asal Kazakhstan yang kemudian berjihad melawan bangsa Tartar dan kaum Kristen, dan wafat di Damaskus. Namanya begitu dikenal sebagai pahlawan Islam yang cukup ditakuti dan disegani musuh. (Mausu’ah At-Tarikh Al-Islamiy: Al-Ashr Al-Muluki, Amman: Dar Usamah li An-Nasyr, 2003, hlm. 24-36)

Seorang ulama bernama Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim bin Abdul Salam bin Taimiyah Al-Harrani atau biasa disebut Syaikh Ibnu Taimiyah, yang berjuluk hujjatul Islam, termasuk orang yang berjuang melawan pasukan Tartar. Ia juga mengetahui bagaimana kelompok Syiah Nushairiyah berkhianat terhadap kaum muslimin. Karenanya, Ibnu Taimiyah yang tahu persis bagaimana sepak terjang kelompok Syiah ekstrem ini, menyatakan bahwa mereka adalah kaum kafir dan non muslim yang harus diperangi. Ketika orang-orang Tartar mengepung kota Damaskus, Ibnu  Taimiyah dengan lantang mengatakan,”Jangan kalian serahkan benteng ini, meskipun tinggal satu batu bata saja, karena benteng ini adalah untuk kepentingan kaum muslimin. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah menjaga benteng ini untuk kaum muslimin, sebagai perisai bagi penduduk Syam yang menjadi pusat iman dan sunnah, sampai  Isa Ibnu Maryam Alaihissalam turun di sana.”

Dalam buku Tarikh Al-Alawiyyin yang ditulis penganut Syiah Nushairiyah, Muhammad Amin Ghalib Ath-Thawil dijelaskan bahwa sikap kooperatif mereka dengan bangsa Tartar adalah bagian dari siasat untuk mengembalikan kekuasaan mereka, yang menurutnya telah dirampas oleh kaum Sunni.

Tarikh Al-Alawiyyin juga menjelaskan bagaimana kerjasama tokoh Syiah di Aleppo, Thamur Thusi, yang bekerjasama dengan Timur Lenk untuk menguasai kota tersebut. Timur Lenk membunuh kaum muslimin sunni dan membiarkan mereka yang menjadi pengikut Alawiyah. Timur Lenk adalah penganut Syiah Rafidhah yang wafat pada 808 Hijriyah. Anak keturunannya pun mengikuti jejak keyakinan Timur Lenk sebagai penganut ajaran Syiah. Karenanya, di setiap wilayah kekuasannya, Syiah banyak terlibat dalam pemerintahan, termasuk di negeri Persia (Iran). (Lihat:Tarikh Alawiyyin, hlm. 407)

Negeri Syam, termasuk wilayah Damaskus, berhasil kembali ke tangan kaum muslimin, setelah pasukan Syaifuddin Quthuz dan panglima Malik Azh-Zhahir Ruknuddin Baibars Al-Bunduqdari berhasil mengalahkan pasukan Tartar dalam Perang Ain Jalut, sebuah wilayah di Palestina.

Perang yang berlangsung pada 25 Ramadhan 659 H/September 1260 M itu berhasil memukul mundul pasukan Tartar dan membuat mereka lari tunggang langgang menyebar ke beberapa wilayah. Pasukan yang dipimpin oleh Syaifuddin Quthuz dan panglima Baibars, berhasil membunuh seorang pemimpin dari sekte Syiah Rafidhah di Damaskus, karena keberpihakan tokoh tersebut kepada pasukan Tartar dalam merampas dan menjarah harta kaum muslimin.

Dengan kemenangan di Perang Ain Jalut ini, Syaifuddin Quthuz yang berasal dari Kerajaan Mamalik Bahriyah (kerajaan wilayah maritim yang dibangun oleh para budak)  kemudian menggabungkan negeri Syam dengan Mesir, sehingga kekuasaannya semakin luas.

Ada yang menarik dalam buku “Al-Maushu’ah Al-Muyassarah fi At-Tarikh Al-Islamiy”. Tim Riset dan Studi Islam sebagai penyusun buku itu, membuat sub bab berjudul “Baybars dan Sekte Bathiniyah”. Buku yang diberi kata pengantar oleh ahli sejarah dari Mesir, Dr. Raghib As-Sirjani ini menulis, “Baibars berhasil menundukkan Sekte Bathiniyah, cabang dari Sekte Ismailiyah di Syam. Orang-orang Eropa menyebut sekte ini Al-Hasyasyin. Sebelumnya mereka adalah ancaman bagi raja-raja Mesir, sejak masa pemerintahan Shalahuddin Al-Ayyubi.” (Tim Riset dan Studi Islam Mesir, Ensiklopedi Sejarah Islam Jilid I (terj), Jakarta:Pustaka Al-Kautsar, 2013, hlm.478)

Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa pada masa lalu, Syiah Rafidhah, baik itu Sekte Ismailiyah, Nushairiyah, Qaramithah, dan Syiah ekstrem lainnya telah melakukan pengkhianatan terhadap umat Islam di Syam. Sejarah juga mencatat, mereka kemudian diperangi oleh para pemimpin Islam. Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi yang dikenal sebagai penakluk Baitul Maqdis, semasa berkuasa terus berusaha mengikis habis pengaruh Syiah Rafidhah, baik pengaruh dari buku-buku, maupun pengaruh dari para pemimpin mereka. Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi berusaha memerangi kelompok Syiah Rafidhah yang bercokol di Mesir, Yaman, dan Syam. (Lihat: Dr. Ali Muhamamd Ash-Shallabi, Shalahuddin Al-Ayyubi wa juhduhu fi Al-Qadha Ad-Daulah Al-Fathimiyah wa Tahrir Bait Al-Muqaddas, Mesir: Daar Ibnu Al-Jauzi, 2007, hlm. 257-258

French_Mandate_for_Syria_and_the_Lebanon_map_en.svg

peta wilayah mandat perancis dan lebanon (1922)

Pengkhianatan Selanjutnya

Ketika Daulah Utsmaniyah berusaha menguasai Syam dan merebutnya dari penjajahan bangsa Eropa; Perancis dan Inggris, pengkhianatan kelompok Syiah Nushairiyah juga terus berlangsung. Jumlah mereka yang minoritas, selalu menyimpan ketakutan akan sikap diskriminasi kelompok Sunni yang menjadi warga mayoritas di Syam. Karenanya, Tokoh Syiah Nushairiyah Shaleh Al-Alawi bahkan menjalin hubungan dan menandatangani nota kesepahaman dengan tokoh sekular Yahudi Dunamah Turki, Mustafa Kamal Attaturk pada tahun 1920. Nota kesepahamaman ini tentu saja bertujuan membendung pengaruh imperium Utsmani di Syam, khususnya di wilayah Suriah yang juga menjadi musuh kaum sekularis seperti Attaturk. Karenanya, Attaturk dengan organisasinya Ittihad wa At-Taraqi (Partai Persatuan dan Kemajuan) berhasil menumbangkan  Khilafah Utsmaniyah pada 1924.

Kelompok Syiah Nushairiyah tentu mempunyai kepentingan untuk menyelamatkan entitasnya jika Daulah Utsmaniyah tetap bercokol di Syam. Mereka khawatir, Daulah Utsmaniyah yang Sunni akan memposisikan mereka secara diskriminatif. Kekhawaturan inilah yang kemudian terus terpelihara sehingga mereka merasa perlu melakukan berbagai pengkhianatan terhadap umat Islam dengan berkolaborasi pada musuh-musuhnya. Padahal sesungguhnya sikap khianat mereka adalah ambisi untuk merebut kekuasaan sehingga terbentuk rezim Syiah. Belakangan terbukti, rezim Syiah Nushairiyah yang minoritas, justru melakukan berbagai aksi diskriminasi dan kekejaman terhadap kaum muslimin di Suriah.

Sebuah dokumen luar negeri Prancis, Nomor 3547 tertanggal 15 Juni 1936 melansir adanya surat dari tokoh-tokoh Alawiyah/Nushairiyah kepada pemerintah Perancis, yang di antaranya ditandatangani oleh Sulaiman Al-Asad, kakek dari Hafizh Asad.

Surat tersebut berisi permohonan agar Prancis tetap bersedia berada di wilayah Suriah, karena mereka khawatir, jika Prancis hengkang, keberadaan mereka terancam. Surat tersebut berbunyi:
“Presiden Prancis yang terhormat,

Sesungguhnya bangsa Alawiyah yang mempertahankan kemerdekaannya dari tahun ke tahun dengan penuh semangat dan pengorbanan banyak nyawa. Mereka adalah masyarakat yang berbeda dengan masyarakat Muslim (Sunni), dalam hal keyakinan beragama, adat istiadat, dan sejarahnya. Mereka tidak pernah tunduk pada penguasa dalam negeri.

Sekarang kami lihat bagaimana penduduk Damaskus memaksa warga Yahudi yang tinggal bersama mereka untuk tidak mengirim bahan pangan kepada saudara-saudara mereka kaum Yahudi yang tertimpa bencana di Palestina! Kaum Yahudi yang baik, yang datang ke negeri Arab yang Muslim dengan membawa peradaban dan perdamaian, serta menebarkan emas dan kesejahteraan di negeri Palestina, tanpa menyakiti seorang pun, tak pernah mengambil sesuatupun dengan paksa. Namun demikian, kaum muslimin menyerukan “Perang Suci” untuk melawan mereka, meskipun ada Inggris di Palestina dan Perancis di Suriah.

Kita menghargai kemuliaan bangsa yang membawa kalian membela rakyat Suriah dan keinginannya untuk merealisasikan kemerdekaannya. Akan tetapi Suriah masih jauh dari tujuan yang mulia. Ia masih tunduk pada ruh feodalisme agama terhadap kaum muslimin.

Kami sebagai rakyat Alawiyah yang diwakili oleh orang-orang yang bertandatangan di surat ini berharap, pemerintah Perancis bisa menjamin kebebasan dan kemerdekaannya, dan menyerahkan nasib dan masa depannya kepadanya (Alawiyah, pen). Kami yakin bahwa harapan kami pasti mendapaykan dukungan yang kuat dari mereka untuk rakyat Alawiyah, teman yang telah memberikan pelayanan besar untuk Prancis.”

Demikian surat yang ditulis oleh tokoh-tokoh Syiah Nushairiyah, yang membujuk Prancis untuk tetap menjamin dan mendukung keberadaan mereka. Surat tersebut ditandatangani oleh Sulaiman Asad (kakek Hafizh Asad), Muhammad Sulaiman Ahmad, Mahmud Agha Hadid, Aziz Agha Hawwasy, Sulaiman Mursyid, dan Muhammad Beik Junaid. (Lihat:Syaikh Abu Mus’ab As-Suri, Rezim Nushairiyah: Sejarah, Aqidah dan Kekejaman Terhadap Ahlu Sunnah di Syiria (terj), Solo: Jazeera, 2013, hlm. 65-66)

Pada saat ini, keberadaan rezim Syiah Nushairiyah di Suriah mendapat dukungan yang kuat dari kelompok Syiah Itsna Asyariyah atau Syiah Imamiyah di Libanon dan Iran. Mereka mempunyai kesamaan ajaran, ideologi, bahkan cita-cita, untuk mewujudkan dendam mereka merebut kekuasaan dari kelompok Sunni. Mereka yang hidup minoritas di Suriah, kemudian berkolaborasi dengan bantuan Syiah di Libanon, melalui kelompok militer Hizbullah yang dipimpin oleh Hasan Nashrullah, untuk bertahan dan survive, serta mengamankan kekuasaan mereka yang direpresentasikan dalam kekuasaan Rezim Bashar Al-Asad. Dimanapun, kelompok minoritas akan selalu waspada, struggle,  dan berjuang habis-habisan untuk mengamankan eksistensinya. Bahkan, dalam kasus Suriah saat ini, mereka berusaha mengamankan kekuasaan yang sudah sejak tahun 70-an mereka pegang. Mereka khawatir, jika umat Islam berkuasa, maka keberadaan mereka akan terusik. Padahal, mereka sesungguhnya adalah pengkhianat yang tak bisa hidup berdampingan dengan kaum muslimin, selama akidah mereka melecehkan para sahabat, dan mengganggap Ali  bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu sebagai tuhan atau menyatu dengan Tuhan.

Untuk mempertahankan keberadaanya, Syiah Nushairiyah sampai hari ini tak segan-segan untuk berkhianat, bahkan berkolaborasi dengan musuh-musuh Islam sekalipun. Sebagai kelompok minoritas di Suriah, mereka menerapkan prinsip, “Sebaik-baik pertahanan adalah menyerang!”

Penulis adalah editor Pustaka Al-Kautsar dan Dosen STID Mohammad Natsir Jakarta

http://hidayatullah.com

Manipulasi Makna : Sejak ‘Perang Dunia’ hingga ‘Tatanan Dunia Baru’

KETIKA berlangsung seminar Masalah-masalah Global dalam Perspektif Perkembangan Islam yang diselenggarakan ICMI-Orsat Berlin, puluhan tahun yang lalu, terdapat seorang pembicaranya yang bernama: Hamadi El- Aouni, dosen ilmu politik dan ekonomi di Universitas Berlin: Freie Universiteit dan Fachhochschule fur Wirtschaft.

Di antaranya ia membicarakan manipulasi makna yang sering dilakukan barat hanya untuk memperkokoh dirinya sebagai penguasa dunia. Karena ia merasa sebagai supremasi global, segala bentuk kelebihan Timur, seperti dikecilkan sampai dihilangkan.

Sayangnya, kata ilmuwan asal Tunisia itu, Timur sering terjebak oleh produk manipulasi itu, sehingga menjadi korban apresiasinya. Sekaligus menciptakan sikap mider dalam menghadapi masa depan.

Ia mengharapkan kita untuk waspada dalam menggunakan istilah Barat. Soalnya sebuah istilah bisa berarti sangat luas: politis, ideologis, etis, dan moralis. Istilah ini tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi direkayasa oleh sejumlah badan tertentu yang memang untuk menciptakan istilah.

Perang Dingin, 1945-1989, sering dipandang Timur sebagai masa damai. Ini keliru. Karena selama itu sudah ratusan kali perang telah terjadi di selatan. Karenanya, ia menganggap istilah itu hanya berlaku untuk utara.

Tetapi Hamadi heran, mengapa banyak tokoh negara di selatan yang mengakuinya. Malah para ilmuwan di selatan pun bersikap serupa, meskipun mereka mengetahui, korban perang 1945-1989 melebihi korban Perang Dunia.

Tentang Perang Dunia pun dikritik Hamadi. Apakah benar seluruh dunia ketika itu terlibat perang? Tidak! Hanya terjadi antar negara kolonial di Eropa, plus Amerika Serikat dan Rusia. Sedangkan Asia, Amerika Latin, dan Afrika umumnya terseret karena setiap negara kolonial menyebarkan perang di teritorial negara yang dikuasainya.

Karenanya, istilah yang sudah melegenda secara global itu bisa berarti implisit: Eropa dan Amerika Serikat menobatkan dirinya, “Kami ialah dunia!” Di luar itu hanya pelengkap.

Hamadi pun heran, mengapa harus Utara-Selatan, bukan sebaliknya. Ia mencurigai, apakah itu merupakan indikasi adanya persepsi bahwa utara menguasai dunia dibandingkan selatan? Atau masing-masing sebagai pihak aktif dan pasif dalam mengelola sumber daya alam.

Misalkan pada sektor teknologi. Di utara melaju dengan pesat. Untuk merangsang kreativitas, disediakan anggaran milyaran US dollar. Sementara di selatan, imitatif dengan mengimpor tehnokrat bersama laboratorium. Selain itu untuk sektor ekonomi. Di utara integrasi semakin nyata dalam konsep ekonomi, sementara di selatan kondisi seperti itu belum dijalankan secara optimal.

Masyarakat industri berkaitan dengan peradaban. Ia merupakan homogenitas perilaku manusia dalam masyarakat untuk bidang proses nilai tambah dalam mengelola bahan baku. Tetapi negeri berkembang bisa menyangkut wilayah mana saja tanpa kecuali, karena prosesnya pasti demikian, termasuk Eropa dan Amerika Serikat.

Padahal setiap komunitas cenderung untuk membentuk masyarakat industri. Tetapi mengapa penerapannya tidak untuk setiap komunitas? Taruhlah untuk memudahkan komunikasi, tetapi mengapa tidak sebaliknya? Di sini terdapat pengkultusan terselubung atas kelebihan Barat dibandingkan Timur.

Masalah ini pun termasuk pembahasan Hamadi dalam seminar tersebut.

Dulu banyak yang mengartikan Dunia Ketiga dari aspek power fisik. Dua kelas di atasnya dipegang oleh Uni Soviet dan Amerika Serikat. Namun menurut Hamadi, dunia kelas tiga. Dua kelas diatasnya masing-masing mencakup negara yang tergabung dalam NATO dan Pakta Warsawa.

Tampak sekali, bagaimana Barat merendahkan Timur, dalam mencirikan dunia ketiga. Hanya Barat belum berani mengatakan dengan intepretasi yang gamblang itu.

Untuk Tatanan Dunia Baru, Hamadi mengintepretasikannya sebagai bentuk metode Barat untuk menundukkan, mengontrol, dan mengatur Dunia Ketiga, agar ketergantungan bisa tetap dijaga.

Dengan demikian, dari aspek politis, misalnya, hanya Barat yang berhak mengatur segala masalah yang terjadi di dunia, baik maupun jahat. Sayangnya sering tidak universal. Pemakaiannya ditentukan oleh situasi, waktu, dan kondisi, agar tidak menjadi bumerang terhadap kepentingannya.

Demikianlah hebatnya manipulasi makna buatan Barat untuk menutupi persepsi yang kira-kira menyudutkannya. Sebagai professor linguistik di MIT, Cambridge, Massachusetts, Noam Chomsky menyadari, media massa mempunyai kemampuan untuk membentuk opini, sekaligus mengarahkan publik dunia, hanya melalui manipulasi makna.*/Nasrullah Idris. Penulis tinggal di Bandung

hidayatullah.com

PENJAJAHAN BARAT TERHADAP DUNIA ISLAM DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM

A. Pendahuluan

Pada awalnya dunia Timur dan Barat saling pengaruh mempengaruhi. Kaum muslimin dari Timurpun telah memberikan sumbangan yang besar dengan mengembangkan dan memelihara filsafat Yunani yang telah diharamkan oleh Gereja Barat. Ilmu-ilmu eksakta yang tak pernah dikenal atau dikembangkan sebelumnya telah disumbangkan pula oleh kaum muslimin. Terjadilah hubungan timbal balik antara Timur dan Barat di Laut Tengah.

Namun hubungan yang makin lama makin baik itu tiba-tiba diputuskan oleh Paus Urbanus II yang membangkitkan fanatisme agama terhadap Islam. Pidato yang diucapkan pada tanggal 26 November 1095 di Cler Mont (Perancis Selatan), orang Kristen mendapat suntikan untuk mengunjungi “Kuburan suci dan merebutnya dari orang-orang Islam”. Suatu serangan yang kemudian dikenal dengan sebutan Perang Salib, yang mempunyai tujuan untuk merebut kota suci Palestina, “Tempat Tuhan Berpijak”.

Dari sinilah awal mula penjajahan Barat terhadap dunia Islam, disaat dunia Islam mengalami kemerosotan internal yang hebat akibat pertarungan-pertarungan antara kaum Syi’ah, kaum Sunni dan kaum Khawarij, antara madzhab Safii, Hanafi dan Hambali, antara ras-ras Persia, Arab dan Turki, memberikan peluang kepada dunia Barat untuk menghancurkan kaum muslimin dan menguasai negeri mereka.

Pengaruh Barat adalah gerakan dahsyat dalam transformasi modern dunia Timur. Pengaruh Barat bukan saja mengubah dunia Islam tetapi juga seluruh Asia dan Afrika . Pengaruh Barat ini berkembang sedemikian pesat, apalagi setelah negara Barat mencapai kemajuan besar di bidang tehnologi peralatan perang. Barat telah memperbaiki diri melalui renaisance dan reformasi.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, maka muncul permasalahan :
1. Apakah latar belakang penjajahan Barat terhadap dunia Islam?
2. Bagaimanakah bentuk-bentuk penjajahan Barat terhadap dunia Islam termasuk di Indonesia?
3. Bagaimanakah implikasi penjajahan Barat terhadap perkembangan peradaban Islam?

C. Kajian Pustaka

Penjajahan barat atas dunia Islam sudah banyak dikaji oleh para ahli sejarah, baik ahli sejarah muslim maupun non muslim. Namun dalam makalah ini akan mencermati buku Sejarah Peradaban Islam, yang ditulis oleh Dr. Badri Yatim, MA., serta buku Dunia Baru Islam karya Lotrop Stoddard, tetapi kedua buku tersebut tidak menguraikan secara lengkap. Pada buku Sejarah Peradaban Islam hanya dibahas pengaruh penjajahan Barat terhadap dunia Islam. Sedangkan pada buku Dunia Baru Islam banyak disebutkan latar belakang terjadinya penjajahan Barat terhadap dunia Islam. Penulis dalam hal ini hanya berusaha melengkapi apa yang terdapat pada kedua buku tersebut.

D. Metodologi

Makalah ini berdasarkan pada penelitian kepustakaan yang bersifat diskriptif dan analisis kritis. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan historis, yaitu usaha menyingkap, menggali dan menelaah serta menganalisis persoalan yang menjadi objek kajian dari kacamata sejarah. Disamping itu juga dipakai pedekatan sosiologis, terutama untuk menganalisa peradaban Islam yang dipengaruhi oleh penjajahan Barat.

E. Sistematika Penulisan

Pembagian pembahasan dalam penulisan ini baik bahan, alat dan objek kajian akan mudah ditemukan setelah diurutkan dan ditata sebagai dengan kaidah penulisan ilmiah. Adapun sistematika penulisan dibagi menjadi 4 bagian yaitu; bab pertama pendahuluan, bab kedua latar belakang penjajahan Barat terhadap dunia Islam, bab ketiga implikasi penjajahan Barat terhadap perkembangan peradaban Islam dan bab terakhir adalah kesimpulan dan penutup.

BAB. II LATAR BELAKANG PENJAJAHAN BARAT TERHADAP DUNIA ISLAM

Perang Salib adalah peperangan yang dilakukan oleh umat Kristen Eropa barat ke tanah Timur, sejak dari abad kesebelas sampai abad ke tiga belas masehi. Untuk melepaskan Palestina dari tangan daulah Islam dan mendirikan daulah Kristen Latin di tanah Timur. Dinamakan Perang Salib karena umat Kristen yang turut dalam peperangan itu memakai tanda salib sebagai simbul.

Perang Salib I dimenangkan oleh orang Kristen, karena pada waktu itu kaum muslimin tidak dalam keadaan bersatu, perpecahan terjadi di seluruh wilayah, juga karena para pemimpin Islam saling bermusuhan, dalam kondisi yang tidak seimbang inilah kaum muslimin mengalami kekalahan.

Perang Salib menjadi awal mula penjajahan Barat terhadap dunia Islam. Sejak itu lahirlah imperialisme dengan bentuk penindasan, penghisapan, perbudakan yang merupakan lembaran hitam umat manusia yang hina, keji dan jahat. Bangsa Barat mempunyai semboyan yang terkenal dengan M3 (Mercenary, Missionary, Military), yaitu keuntungan, penyiaran agama dan perluasan daerah militer.

Perang Salib membawa keuntungan bagi negara-negara Barat, hal itu dapat dilihat saat Paus membagi dunia menjadi 2 bagian pada tahun 1493, yang satu dihadiahkan untuk Spanyol dan yang lain untuk Portugis. Daerah Demarkasi inilah yang memberikan daerah mulai dari Brazil ke timur, termasuk Indonesia menjadi milik Portugis. Selain itu juga diberikan istimewa kepada Portugis dan Spanyol terhadap laut, pulau dan benua yang telah ditemukan untuk tetap menjadi milik mereka dan anak cucunya. Paus Alexander VI juga menunjuk ditemukannya emas, rempah-rempah dan banyak barang berharga yang berjenis-jenis dan bermutu (inter caetero diciae).

Selain itu penetris Perancis telah berkembang dengan cepat pedagang-pedagang Perancis mempergunakan kesempatan untuk melaksanakan keinginannya mendirikan pos-pos perdagangan dan misi-misi perwakilan di Syria dan Mesir. Kapitulasi-kapitulasi lain yang mengikutinya kemudian diberikan kepada Inggris dan Belanda serta negara-negara barat lainnya. Pada abad ke delapan belas perdagangan Eropa tumbuh dengan cepatnya dan sejumlah koloni dagang sendiri di kota-kota pelabuhan di Syria dan Mesir.

Tujuan Misionaris Kristen penjajahan Barat terhadap dunia Islam jelas sekali terlihat dengan ucapan Livingstone, bahwa tujuan dan akhir dari penaklukan geografis adalah permulaan usaha missi Kristen (the end of the geographical feet is the beginning of the missionary entreprise).

Raymundus Lullus, seorang pastor, yaitu seorang pendeta Kristen yang sangat membenci Islam, selalu bersemboyan dimanapun berada, bahwa Islam is false and must die (Islam adalah palsu dan harus mati). Oleh karena itu dimana Islam haruslah direbut melalui dominasi politik dan dipertahankan untuk kemudian diserbu missi, memisahkan kaum muslimin dari agamanya dan kemudian diganti dengan Kristen.

Antara gereja dengan imperialisme terdapat manfaat dan saling terpisahkan, keduanya saling memperoleh manfaat dan saling membantu. Malah pada abad ke 19 dan permulaan abad ke 20 rencana salib modern ini dilakukan dengan teliti melalui kerjasama yang erat antara keduanya.

Tujuan penjajahan barat terhadap dunia Islam selanjutnya adalah military atau perluasan daerah militer. Penetrasi barat ke pusat dunia Islam di Timur Tengah pertama-tama dilakukan oleh dua bangsa Eropa yang terkenal yaitu Inggris dan Perancis. Inggris terlebih dahulu menanamkan pengaruhnya di India, sedangkan Mesir dapat ditaklukkan Perancis tahun 1789 M.

Semua negara Kristen bersatu tekad hendak menghancurkan kerajaan-kerajaan Islam. Semangat sabilisme memang tetap tersimpan dalam dada kaum Nasrani bagaikan api dalam sekam dan semangat fanatisme tidak pernah lepas, ia tetap hidup dan bergejolak di dalam hati hingga sekarang. Agama Nasrani selamanya melihat Islam dengan kacamata permusuhan, kedengkian dan fanatisme keagamaan yang penuh kebencian.
Apalagi ketika kemudian terjadi Perang Dunia I (1915) Turki Usmani berada dipihak yang kalah. Sampai akhirnya tahun 1919 M, Turki diserbu tentara sekutu. Sejak itu kebesaran Turki Usmani benar-benar tenggelam, bahkan tidak lama kemudian kekhalifahan dihapuskan (1924 M). Semua daerah kekuasaannya yang luas, baik Asia maupun Afrika diambil alih oleh negara-negara Eropa yang menang perang.

BAB. III BENTUK-BENTUK PENJAJAHAN BARAT TERHADAP DUNIA ISLAM TERMASUK DI INDONESIA

Negara-negara Barat seperti Inggris, Perancis, Spanyol, Italia, Rusia dan lain-lain memang mempunyai tehnologi militer dan industri perang yang lebih canggih dibandingkan dengan negara Islam, sehingga mereka tidak segan-segan untuk menyerang dan mengalahkan wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaan Islam.

Dari awal penjajahan Barat yaitu perang salib umat Islam telah kehilangan berbagai daerah yang semula telah dikuasai Islam, yang kemudian jatuh ke tangan orang Kristen, yang sukar untuk dikembalikan kembali. Jadi pada perang salib ini telah terjadi penaklukan dan penyerangan yang dilakukan oleh negara Barat untuk merebut wilayah-wilayah kekuasaan Islam. Tidak terhingga kerugian yang diakibatkan oleh penjajahan tersebut, baik kerugian hasil budaya dan peradaban manusia maupun kerugian material maupun korban jiwa, bahkan Richand yang digelari berhati surga menyembelih 27.000 orang tawanan Islam. Suatu perbuatan sangat hina, keji dan jahat.

Penaklukan yang dilakukan oleh negara-negara Barat antara lain adalah:
1820 Oman dan Qatar berada di bawah protektorat Inggris
1830-1857 Penaklukan Aljazair oleh Perancis
1839 Aden dikuasai Inggris
1881-1883 Tunisia diserbu Perancis
1882 Mesir diduduki Inggris
1898 Sudan ditaklukkan Inggris
1900 Chad diserbu Perancis
Pada abad ke20 M Italia dan Spanyol ikut bersama Inggris dan Perancis memperebutkan wilayah-wilayah di Afrika.
1960 Kesultanan muslim di Nigeria utara menjadi protektorat Inggris
1912-1913 Kesultanan Tripoli dan Cyrenaica diserbu Italia
1912 Marokko diserbu Perancis dan Spanyol
1914 Kuwait di bawah protektorat Inggris
1919-1921 Sisilia wilayah Turki diduduki Perancis
1920 Irak menjadi protektorat Inggris
1920 Syria dan Libanon di bawah mandat Perancis
1926-1927 Perebutan seluruh Somalia oleh Italia
Sementara itu, Rusia menggerogoti wilayah-wilayah muslim di Asia Tengah, terutama setelah ia berhasil mengalahkan Turki Usmani yang berakhir dengan Perjanjian San Stefano dan Perjanjian Berlin. Satu per satu pula negeri-negeri muslim jatuh ke tangan Rusia, seperti tergambar dalam daftar berikut:
1834-1859 Pencaplokan Kaukasia oleh Rusia
1853-1865 Serbuan pertama Rusia di Khoakand dan jatuhnya Tashkent
1866-1872 Daerah-daerah sekitar Samarkand dan Bukhara ditaklukkan Rusia
1873-1887 Uzbekistan ditaklukkan Rusia
1941-1946 Pendudukan Anglo Rusia di Iran.

Selain berupa penaklukan dan penyerangan negara-negara Barat juga banyak melakukan penindasan, penghisapan dan perbudakan, yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Penindasan dilakukan kepada wilayah-wilayah yang telah dikuasainya untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih besar. Penghisapan terutama pada hasil bumi dan kekayaan alam negara yang dijajahnya serta perbudakan banyak dialami oleh orang-orang Islam yang wilayahnya telah jatuh ke tangan negara-negara Barat.

Asia Tenggara, negeri tempat Islam baru mulai berkembang, yang merupakan daerah rempah-rempah terkenal pada masa itu, justru menjadi ajang perebutan negara-negara Eropa. Kekuatan Eropa malah lebih awal memancapkan kekuasaannya karena kerajaan Islam di Asia Tenggara lebih lemah sehingga mudah dapat ditaklukkan.

Pada tahun 1521 M, Spanyol datang ke Maluku dengan tujuan dagang, yang kemudian disusul oleh Belanda, Inggris, Demark dan Perancis. Belanda datang tahun 1595 M dan dengan segera memonopoli perdagangan di Indonesia. Tentu kehadirannya ditantang oleh penduduk setempat. Oleh karena itu seringkali terjadi peperangan antara Belanda dengan penduduk, walaupun akhirnya peperangan dimenangkan oleh Belanda, yang terbesar diantaranya adalah perang Aceh, perang Paderi di Minangkabau dan perang Diponegoro di Jawa.

Penjajahan Barat di Indonesia banyak dilatarbelakangi oleh faktor-faktor ekonomi, karena Indonesia adalah negara yang kaya akan hasil bumi berupa rempah-rempah yang mempunyai nilai jual tinggi di pasaran Eropa. Selain itu juga dilatarbelakangi oleh faktor misionaris, atau penyebaran agama, hal ini dapat dilihat sampai sekarang daerah-daerah tempat pertama kali negara-negara Barat datang ke Indonesia berpenduduk mayoritas Kristen.

BAB. IV IMPLIKASI PENJAJAHAN BARAT TERHADAP PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM

Serbuan kaum salib ke negeri-negeri Islam tidak hanya menggunakan pedang, besi dan api, tetapi juga melalui peradaban mereka yang dicekokkan ke semua negeri yang dapat dikuasainya. Bukan hanya peradaban material yang menyerbu negara-negara Islam, bahkan mental dan nilai-nilai moralpun tidak ketinggalan, seperti sistem pendidikan dan pengajaran, dan pemikiran-pemikiran orang Eropa mengenai ilmu jiwa, ilmu sosial, modal dan lain-lain.

Perang Salib menghasilkan puing-puing kehancuran bagi kaum muslimin akibat kemauan penjajah yang dikendalikan oleh keserakahan untuk menguasai dan memperkuat wilayahnya mereka memikul salib di pundak mereka, tetapi setan berada di hati mereka.

Dahulu kaum muslimin menghayati peradaban ditambah dengan peradaban Persia, Turki dan lain-lain disamping pemikiran filsafat yang diserap dari Yunani dan Romawi. Dengan datangnya peradaban Barat, maka peradaban lama yang telah mereka hayati selama berabad-abad mengalami keguncangan hebat dalam pikiran mereka. Inti peradaban Barat bercorak Nasrani, karena itu orang-orang Qibth di Mesir lebih mudah meniru dan menyerapnya. Namun mereka lebih banyak menyerap segi material daripada segi moralnya, sehingga setiap rumah dari keluarga kaum muslimin telah menggunakan penerangan listrik, menggunakan sajadah buatan Eropa, mendengarkan siara radio Eropa dan lain sebagainya.
Pada saat barat mendominasi dunia di bidang politik dan peradaban, persentuhan dengan Barat menyadarkan tokoh-tokoh Islam akan ketinggalan mereka. Karena itu mereka berusaha bangkit dengan mencontoh Barat dalam masalah-masalah politik dan peradaban untuk menciptakan balance of power. Yang pertama merasakan hal itu diantaranya Turki Usmani, karena kerajaan ini yang pertama dan utama menghadapi kekuatan Eropa. Kesadaran itu memaksa penguasa dan pejuang-pejuang Turki untuk banyak belajar dari Eropa.

Penjajahan Barat juga memicu gerakan pembaharuan dalam Islam, yang didorong oleh 2 faktor yaitu pemurnian ajaran Islam dari unsur-unsur asing yang dipandang sebagai penyebab kemunduran Islam dan menimba gagasan-gagasan pembaharuan dan ilmu pengetahuan dari Barat, sedangkan yang kedua, tercermin dari pengiriman para pelajar muslim oleh penguasa Turki Usmani dan Mesir ke negara-negara Eropa untuk menimba ilmu pengetahuan dan dilanjutkan dengan gerakan penerjemahan karya-karya Barat ke dalam bahasa Islam. Pelajar-pelajar muslim asal India juga banyak menuntut ilmu ke Inggris.

Pengaruh Barat terutama terlihat pada lapisan atas dan menengah, terutama pada intelegensia orang yang memperoleh pendidikan Barat, yang dijumpai pada tiap negeri Timur. Dalam reaksinya terhadap pengaruh Barat mereka mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Pandangan pertama berpegang pada sendi-sendi filsafat hidup nenek moyangnya, berusaha melakukan asimilasi dengan ide-ide Barat dan memikirkan sintesa yang lebih tinggi dari semangat Barat. Kedua, memutuskan hubungan dengan warisan lama, menerjunkan dirinya dalam pembaratan. Yang ketiga bersembunyi di belakang kekecewaan dan kengerian Barat.

Memang benar bahwa peradaban Barat memainkan peranan besar dalam memajukan dunia Islam. Tanpa peradaban Barat dunia Islam tentu masih seperti keadaan semula, tetapi itu tidak berarti bahwa peradaban Barat tidak mengandung cacat dan kekurangan. Peradaban Barat telah menjauhkan dunia Islam dari peradaban Islam yang lama. Akhirnya peradaban Islam bukan lagi suatu produk dari kaum muslimin mandiri sebagaimana peradaban Barat adalah produk dari orang-orang Barat sendiri.

BAB. V SIMPULAN

A. Simpulan
Perang Salib merupakan awal penetrasi Barat terhadap dunia Islam yang selanjutnya membawa kaum muslimin berada dalam jajahan negara-negara Barat. Karena mulai dari Perang Salib I inilah kaum muslimin banyak mengalami kerugian, baik kerugian yang bersifat material seperti banyaknya wilayah Islam yang direbut Barat, diduduki dan dikuasai, juga kerugian non material yang berupa mulai hilangnya peradaban Islam dan mulai masuknya peradaban-peradaban Barat.

Penjajahan Barat terhadap dunia Islam yang diawali dengan Perang Salib berlatar belakang hal-hal berikut :
1. Mercenary yaitu untuk mencari keuntungan negara Barat di negara-negara Islam.
2. Missionary yaitu untuk menyebarkan agama Kristen pada negara-negara jajahannya.
3. Military yaitu perluasan daerah militer.

Selain hal diatas yang melatarbelakangi penjajahan Barat adalah faktor ekonomi dan politik.

Bentuk-bentuk penjajahan barat terhadap dunia Islam berupa penyerangan, penaklukan, sehingga banyak wilayah-wilayah Islam yang jatuh ke negara-negara Barat. Juga berupa penindasan, penghisapan dan perbudakan.

Penjajahan Barat ternyata membawa implikasi yang sangat luas terhadap perkembangan peradaban Islam baik peradaban material yang berupa tehnologi baru, maupun peradaban mental. Penjajahan Barat juga memicu gerakan pembaharuan dalam Islam, yang mana bertujuan untuk memurnikan agama Islam dari pengaruh asing dan menimba gagasan-gagasan pembaharuan dan ilmu pengetahuan Barat.

B. Saran dan Penutup
Demikian makalah tentang penjajahan Barat terhadap dunia Islam ini, tentu saja masih banyak sekali kekurangannya. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Amin, Islam dari Masa ke Masa, Bandung, Remaja Rosdakarya, 1991.

A. Latif Osam, Ringkasan Sejarah Islam, Jakarta, Widjaya, 1976.

Agussalim Sitompul, Perang Salib, Beberapa Aspek Negatif dan Positif (Makalah), Yogyakarta, 2006.

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1998.

Bernads Lewis, Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah, Jakarta, Pedoman Ilmu Jaya, 1988.

Donald Eugene Smith, Agama di Tengah Sekularisasi Politik, Jakarta, Pustaka Panjimas, 1985.

Imam Munawwir, Kebangkitan Islam dan Tantangan-tantangan yang Dihadapi dari Masa ke Masa, Surabaya, PT. Bina Ilmu, 1984.

Hamka, Sejarah Umat Islam II, Jakarta, Bulan Bintang, 1981.

Lothrop Stoddard, Dunia Baru Islam (The New World of Islam), 1996.

G.H. Jansen, Islam Militan, Bandung, Pustaka, 1980.

Kajian Sejarah : Senja Kala Majapahit dan Fitnah Terhadap Islam

 

majapahit-1

PENDAHULUAN

Menengok kembali ke dalam beberapa materi ajar sejarah yang diberikan kepada generasi muda Indonesia, dari pendidikan Dasar hingga bangku perkuliahan, barangkali akan membuat kita terhenyak dan terheran-heran. Sejumlah fakta atau bahkan opini terkadang hanya ditampilkan sekilas, sehingga tidak jarang membentuk persepsi yang salah terhadap substansinya. Pemaparan fakta yang bersifat demikian sudah tentu akan membuka ruang bagi kesalahan penafsiran. Sejarah, bisa jadi, memang berasal dari fakta tunggal yang kemudian ditafsirkan dengan menggunakan berbagai sudut pandang sehingga menghasilkan berbagai penafsiran berbeda. Namun memaparkan fakta secara sekilas dan memberi ruang bagi kesalahan penafsiran juga merupakan hal yang musti dihindari.

Sebut saja, misalnya, informasi bahwa keruntuhan Majapahit disebabkan oleh serangan dari kadipaten Demak di bawah pimpinan Adipati Jimbun Patah pada tahun 1478 M atau 1400 saka. Dari mulai pelajaran Pendidikan Dasar hingga lanjutan Atas bahkan di bangku perkuliahan, selalu dikemukakan dalam sejumlah buku teks pelajaran sejarah bahwa faktor penyebab keruntuhan Majapahit salah satunya adalah akibat serangan Demak. Biasanya pernyataan ini tidak diikuti dengan pembahasan dan keterangan lain secara jelas, terkait misalnya, mengapa Demak harus menyerang dan lain sebagainya. Pernyataan ini seolah-olah memang memperlihatkan superioritas dan keunggulan Demak di atas Majapahit. Namun jika ditilik lebih mendalam, sebenarnya merupakan upaya untuk mengaburkan pandangan bahwa Islam di Tanah Jawa telah disebarkan melalui praktik kekerasan bersenjata dan pertumpahan darah. Tidak jarang juga dimanfaatkan untuk menyerang pribadi Raden Patah, sebagai raja Islam pertama di Tanah Jawa, sebagai ‘anak durhaka’ yang telah menyerang ayahnya sendiri, Prabu Brawijaya V. Seringkali juga digunakan untuk menyerang pribadi para ulama tanah Jawa, dalam majlis dakwah Walisanga, yang menjadi pendukung bagi Kesultanan Demak. Oleh karena itu pemaparan sejarah yangt bersifat demikian hendaknya segera dibenahi sebab dimuati sejumlah kepentingan dan motif tersembunyi, terutama dalam mendiskreditkan dan memarginalkan peran Islam di Tanah Jawa.

MAJAPAHIT, DEMAK, DAN KERUKUNAN AGAMA

Berdasarkan kesimpulan Seminar Masuknya Islam ke Indonesia pada tanggal 17 sampai 20 Maret 1963 di Medan, Islam telah masuk ke wilayah nusantara sejak Abad pertama hijriyah.[1] Bahkan upaya ekspedisi ke Nusantara telah dilakukan pada masa Abu Bakar Ash Shidiq dan dilanjutkan oleh khalifah-khalifah setelahnya.[2] Berdasarkan literature China menjelang seperempat Abad VII telah berdiri perkampungan Arab muslim dipesisir Sumatra. Sedangkan di Jawa Penguasa Kalingga yang bernama Ratu Shima telah mengadakan korespondensi dengan Muawiyah Bin Abu Sufyan,[3] salah seorang shahabat Nabi dan pendiri dinasti Umayyah.[4] Akan tetapi karena terpaut jarak yang jauh, maka dakwah di pulau Jawa berjalan secara lamban. Namun demikian secara jelas Islam telah disebarkan di Pulau Jawa jauh sebelum berdirinya kerajaan Majapahit. Dengan demikian anggapan penulis Darmagandul, bahwa Islam berkembang di tanah Jawa adalah semata-mata karena ‘kebaikan’ Prabu Brawijaya,[5] adalah tidak benar.

Dalam era kerajaan Majapahit beberapa pelabuhan telah ramai dikunjungi oleh saudagar-saudagar asing. Guna kepentingan komunikasi dengan saudagar asing maka pemerintah kerajaan Majapahit mengangkat sejumlah pegawai muslim sebagai sebagai pegawai pelabuhan atau syahbandar.[6] Alasannya, pegawai beragama Islam pada masa itu kebanyakan telah menguasai Bahasa asing terutama Bahasa Arab sehingga mampu berkomunikasi dan memberikan pelayanan kepada saudagar-saudagar asing yang kebanyakan beragama Islam.[7]

Bahkan, jika menilik salah satu kompleks pemakaman Majapahit dapat digambarkan bahwa telah banyak bangsawan Majapahit yang sudah memeluk agama Islam dan tetap mengabdi kepada pemerintahan. Ditengarai kerukunan agama juga nampak di sana. Denys Lombard mengungkapkan bahwa di Jawa Timur terdapat salah satu prasasti Arab tertua, yaitu parasasti Leran dari abad ke-11, ditambah pula adanya prasasti pada makam Malik Ibrahim, yang mungkin sekali adalah pedagang dari Gujarat. Prasasti itu berangka tahun 1419 dan terletak di Gresik, dekat Surabaya. Tetapi justru di situs ibu kota lama Majapahit sendiri-lah, di dekat kota Mojokerto sekarang, di pekuburan-pekuburan lama Trowulan dan terutama di Tralaya, L.-Ch. Damais telah menemukan makam-makam Islam yang paling menarik. Ada beberapa yang memuat teks suci pendek dalam Bahasa Arab, akan tetapi nama orang yang dikubur tidak pernah disebut (kecuali satu kali). Kalau disebut,perhitungannya menurut tarikh saka, kecuali satu kali menrut tarikh hijriah. Ada 3 makam dri abad ke-14 (1368, 1376, dan 1380 M) dan delapan dari Abad ke-15 (antara 1407 dan 1475), tetapi mungkin saja ada prasasti bertahun lain yang lolos dari penelitian di salah satu pekuburan di Jawa Timur. Di Trowulan terdapat makam yang pantas disebut secara khusus, karena menurut tradisi dianggap sebagai makam seorang Puteri Cempa, dan berangka tahun 1370 Saka, atau 1448/9 M.[8]Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dakwah Islam bukan hanya berkembang dikalangan rakyat jelata namun telah merambah kepada kalangan bangsawan Istana Majapahit. Sementara itu kerukunan antar agama terjadi pada masa itu.

Sementara itu dakwah Islam telah menjangkau masuk ke dalam lingkungan istana Majapahit dan berpengaruh terhadap para bangsawan. Para bangsawan yang telah menganut agama Islam, sebagaiannya pindah keluar istana menuju daerah pantai yang dikuasai oleh para bupati yang telah beragama Islam.[9] Alasannya adalah demi toleransi dan mendapatkan kemerdekaan beragama. Dengan semakin berkurangnya sejumlah bangsawan dilingkungan kerajaan dan didiringi dengan semakin banyaknya rakyat Majapahit yang memilih Islam maka bisa dipastikan kerajaan tersebut menjadi semakin lemah.

SENJA KALA TAHTA MAJAPAHIT

Jaman keemasan Majapahit digambarkan oleh banyak sejarawan terjadi pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk yang didampingi Patih Gajah Mada. Namun sepeninggal Patih Gajah Mada, Majapahit mengalami krisis kepemimpinan. Kaderisasi yang mengarah kepada penyiapan kepemimpinan generasi selanjutnya tidak berjalan dengan baik. Salah satu penyebabnya adalah kepemimpinan yang didasarkan kepada keturunan, bukan kepada keahlian. Kewibawan politik yang dihasilkan dari kekuatan pasukan perang merupakan faktor penentu masa kejayaan dan keemasan Majapahit. Pasca Gajah Mada, kekuatan wibawa kerajaan tersebut mulai melemah akibat berbagai perebutan kekuasaan dan intrik-intrik politik di dalamnya, sehingga menyebabkan melemahnya negara, dimana basis militer merupakan salah satu penopangnya.

Pada masa Patih Gajah Mada hidup, kerajaan Hindhu Jawa ini diklaim hampir berhasil menguasai seluruh wilayah kepulauan Nusantara. Kerajaan Sriwijaya pada masa sebelumnya pun dianggap belum dapat melakukan proses penguasaan wilayah seluas itu.[10] Kejayaan Majapahit tersebut dibangun melalui peperangan dan penakhlukan atas wilayah yang melampaui pulau Jawa. Proses pencapaian kejayaan yang bersifat demikian sudah tentu memiliki sejumlah konsekuensi turunan. Kerajaan-kerajaan yang berada di wilayah Nusantara pada masa itu kebanyakan merupakan pemerintahan yang bersifat mandiri. Hal ini berarti kerajaan-kerajaan tersebut tidak pernah memposisikan dirinya sebagai negara jajahan, sebab hakikatnya masing-masing kerajaan adalah sebuah wujud dari negara yang merdeka. Pasca penaklukan yang dilakukan oleh Majapahit atas wilayahnya, maka posisi ‘merdeka’ ini telah berubah. Kerajaan-kerajaan lain tersebut pada akhirnya harus ‘rela’ menjadi negara takhlukan dari imperium Majapahit. Dengan kata lain, negara-negara taklukan tersebut yang menganggap Majapahit sebagai penjajah.

Babad Soengenep, misalnya, buku yang menceritakan tentang asal mula wilayah Sumenep di Madura ini, dengan jelas memaparkan kebencian masyarakat Soengenep terhadap kerajaan Majapahit. Buku ini menceritakan bagaimana proses penaklukan Majapahit atas Soengenep yang berdarah-darah dan bangkitnya pahlawan setempat yang bernama Kudapanole dalam melawan agresi militer Majapahit yang dipimpin oleh Gajah Mada.[11] Walaupun buku tersebut kemungkinan disusun pada era belakangan, namun semangat dari buku tersebut bukannya tidak memiliki akar yang kuat. Spirit yang digambarkan oleh babad tersebut adalah jiwa perlawanan yang kuat terhadap penjajahan dari negara lain. Sifat khas dari bangsa yang ingin memiliki kemerdekaannya sendiri.

Demikian juga cerita-cerita tentang penyerangan Gajah Mada ke beberapa wilayah di Sumatra yang menimbulkan kekejaman-kekejaman, berupa pembunuhan, penjarahan, dan pembakaran umumya hanya ditanggapi sebagai dongeng belaka.[12] Termasuk kisah tentang pemusnahan Kerajaan Silo di Simalungun oleh Tentara Majapahit.[13] Juga cerita yang mendasari Perang Bubat umumnya hanya dikomentari secara “biasa saja” oleh sejarawan. Perang Bubat ini merupakan sebuah kesalahan besar dalam diplomasi Majapahit. Dimana terjadi kesepakatan antara Maharaja Pajajaran untuk menikahkan putrinya dengan sang Prabu Hayamwuruk. Sang Maharaja Pajajaran kemudian mengantarkan putrinya hingga ke sebuah gelanggang yang bernama Bubat. Sesuai kebiasaan kuno, raja Sunda tersebut hendak menantikan kedatangan sang menantu untuk menjemput mempelainya.[14] Namun yang terjadi selanjutnya merupakan hal menyedihkan. Sejak awal Gajah Mada menganggap bahwa Pajajaran akan menjadi negeri taklukan Majapahit, sehingga proses pernikahan tidak terjadi namun justru berakhir dengan peperangan dengan kematian sang Maharaja Pajajaran. Sikap Gajah Mada yang berlaku demikian umumnya hanya disikapi secara ‘dingin’ oleh para sejarawan.

H. J. Van Den Berg, Dr. H. Kroeskamp, dan I. P. Simandjoentak mencatat penyebab lain dari keruntuhan Majapahit adalah tidak loyalnya para pelaku ekonomi terhadap pemerintahan Majapahit. Dikatakan bahwa mata pencaharian utama rakyat Majapahit adalah bertani. Kaum petani ini umumnya memiliki loyaliyas yang tinggi terhadap Majapahit. Namun demikian golongan ini tidak memiliki akses untuk mempengaruhi kebijakan bahkan tidak mengetahui seluk beluk pemerintahan Majapahit. Golongan lain di luar kaum petani adalah orang-orang kaya dan kaum saudagar. Golongan tersebut umumnya memiliki pengaruh terhadap kehidupan perekonomian, namun justru merasa bahwa dirinya merdeka dari Majapahit. Sejak awal mereka telah merasa tidak tunduk terhadap pemerintahan Majapahit. Perceraian kedua golongan inilah, yaitu petani dan kaum saudagar atau orang kaya, yang dinilai sebagai salah satu penyebab kerutuhan Majapahit pada masa selanjutnya.[15]

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dukungan terhadap pemerintahan Kerajaan hanya ditopang oleh kesetiaan kaum petani. Loyalitas masyarakat petani inipun umumnya bukan didasarkan atas pengetahuan yang mendalam tentang hakikat pemerintahan kerajaan. Sedangkan kaum pedagang dan orang-orang kaya yang banyak mempengaruhi perekonomian justru berada pada pihak yang tidak loyal. Apalagi pasca rakyat kecil yang terdiri dari para petani ini, pada masa selanjutnya justru banyak diantara mereka yang menganut agama Islam, maka kekuatan pendukung Majapahit tersebut semakin berkurang dan wibawa kerajaan semakin menurun drastis.

Dr. W. B. Sidjabat memiliki analisa lain terkait penyebab keruntuhan Majapahit. Faktor penyebab tersebut antara lain adalah sering terjadinya banjir besar di sungai Berantas, salah satu sungai yang memiliki posisi strategis bagi pelayaran dan ekonomi Majapahit. Hal ini mengakibatkan perniagaan-perniagaan di Sungai Berantas terus berkurang. Lebih-lebih pasca meletusnya Gunung Kelud, Sungai Berantas menjadi dangkal akibat aliran lahar dan muaranya maju ke laut sehingga mengakibatkan pelayaran di Canggu berhenti sama sekali. Belum lagi perebutan mahkota Kerajaan turut memperlemah semua potensi Majapahit.[16]

Pada dasarnya Majapahit saat itu memang telah lemah secara politis akibatPerang Paregreg yang cukup lama dan menghabiskan banyak sumber daya. Perang tersebut merupakan perebutan tahta antara Suhita (putri dari Wikramawardana) dan Wirabumi (putra Hayam Wuruk). Pada tahun 1478 ini Dyah Kusuma Wardhani dan suaminya, Wikramawardhana, mengundurkan diri dari tahta Majapahit. Kemudian mereka digantikan oleh Suhita. Pada tahun 1479, Wirabumi, anak dari Hayam Wuruk, berusaha untuk menggulingkan kekuasaan sehingga pecah Perang Paregreg (1479-1484). Pemberontakan Wirabumi dapat dipadamkan namun karena hal itulah Majapahit menjadi lemah dan daerah-daerah kekuasaannya berusaha untuk memisahkan diri. Dengan demikian penyebab utama kemunduran Majapahit tersebut ditengarai disebabkan berbagai pemberontakan pasca pemerintahan Hayam Wuruk, melemahnya perekonomian, dan pengganti yang kurang cakap serta wibawa politik yang memudar.[17]

Pada saat kerajaan Majapahit mengalami masa surut, secara praktis wilayah-wilayah kekuasaannya mulai memisahkan diri. Wilayah-wilayah yang terbagi menjadi kadipaten-kadipaten tersebut saling menyerang satu sama lain dan berebut mengklaim sebagai pewaris tahta Majapahit. Sehingga dengan demikian keruntuhan Majapahit pada masa itu dapat dikatakan tinggal menunggu waktu sebab sistem dan pondasi kerajaan telah mengalami pengeroposan dari dalam.

Dengan demikian faktor penyebab melemahnya Majapahit juga disebabkan makin pudarnya popularitas kerajaan Hindhu tersebut di mata rakyat. Keberadaan Majapahit telah tertutupi dengan munculnya kerajaan Demak yang dianggap membawa angin dan perubahan baru. Selain itu Demak juga semakin menguat setelah bersekutu dengan Surapringga (Surabaya), Tuban, dan Madura,[18] dimana wilayah-wilayah tersebut sebelumnya merupakan daerah kekuasaan Majapahit. Dengan demikian tuduhan bahwa keruntuhan Majapahit akibat ‘digerogoti’ oleh ulama muslim dari dalam[19] dan semata-mata karena penyerangan kerajaan Demak terbukti tidak benar.

Lantas mengapa sejarah negeri ini belum berpihak kepada umat Islam ? Terkait dengan keruntuhan Majapahit buku-buku pelajaran sejarah seringkali mengulang-ulang bahwa salah satu faktor penyebabnya adalah serangan dari Kesultanan Islam Demak. Informasi tersebut biasanya hanya dikemukakan begitu saja tanpa memberikan informasi secara jelas mengapa Demak harus menyerang Majapahit. Sehingga pada akhirnya berdirinya Demak dianggap sebagai sebuah produk ekspansi dalam penebaran ajaran Islam di Tanah Jawa.

SERANGAN GIRINDRAWARDHANA, FAKTOR UTAMA

Prof. Dr. N. J. Krom dalam buku “Javaansche Geschiedenis” menolak anggapan bahwa pihak yang telah menyerang Majapahit pada masa Prabu Brawijaya V (Kertabhumi) adalah Demak. Tetapi, menurut Prof. Krom serangan yang dianggap menewaskan Prabu Brawijaya V tersebut dilakukan oleh Prabu Girindrawardhana. Demikian juga Prof. Moh. Yamin dalam buku “Gajah Mada” menjelaskan bahwa raja Kertabhumi atau Brawijaya V tewas dalam keraton yang diserang oleh Prabu Rana Wijaya dari Keling atau Kediri.[20] Prabu Rana Wijaya yang dimaksud adalah nama lain dari Prabu Girindrawardhana.

Teori penyerangan Prabu Girindrawardhana terhadap Majapahit ini ditolak oleh Prof. Dr. Slamet Muljana. Menurut Muljana, nama Girindrawardhana ditemukan pada prasasti Jiyu 1408 tahun Saka atau 1486 M, delapan tahun setelah tahun yang dianggap sebagai masa keruntuhan Majapahit akibat serangan Demak. Muljana lantas menghubungkannya dengan kronik Cina yang berasal dari kuil Sam Po Kong di Semarang. Muljana menyatakan bahwa seorang menantu Kertabhumi menjadi bawahan Demak dan harus membayar upeti. Tarikh tahun yang digunakan adalah 1488. Tokoh yang dimaksud dalam kronik Tionghoa disebutkan dengan nama Pa Bu Ta La. Slamet Muljana berspekulasi bahwa Pa Bu Ta La yang dimaksud adalah Girindrawardhana, sebab menurutnya kata “Ta La” adalah transkripsi dari drasebagai unsur nama Girindrawardhana.[21] Dari analisa ini maka ditarik kesimpulan bahwa Girindrawardhana tidak mungkin menyerang kepada Majapahit sebab justru Girindrawardhana justru tunduk kepada Demak. Menurut Muljana, Demaklah yang menyerang Majapahit pada masa Prabu Brawijaya V.

Bagaimana pun analisa Prof. Dr. Slamet Muljana tersebut membingungkan dan terlalu spekulatif. Seolah hal tersebut tidak membuka kemungkinan lain terhadap pemaknaan sejarah. Pertama, Muljana, menggunakan angka tahun 1486 sebagai tahun yang dianggap sebagai keberadaan Girindrawardhana pasca runtuhnya Majapahit. Padahal tahun 1468 M tersebut lebih merupakan tahun dari prasasti Jiyu, bukannya manifestasi keberadaan Girindrawardhana. Sudah tentu penulisan tentang Girindrawardhana bisa saja ditulis pada masa-masa selanjutnya. Kedua, menghubungkan antara kata “Ta La” dengan dra sebagai unsur nama Girindrawardhana adalah bentuk spekulasi yang berlebihan. Metode otak-atik gathukseperti ini rasanya terlalu riskan digunakan sebagai cara pemaknaan terhadap sejarah. Justru dengan membuka diri terhadap kemungkinan lain maka akan ditemukan jawaban yang lebih rasional. Misalnya dengan menghubungkan nama “ Pa Bu Ta La ” dengan Prabu Udara (Brawijaya VII) maka justru menghasilkan analisa yang lebih baik. Coba perhatikan bahwa kata “Ta La” lebih sesuai dengan kata “dara” sebagai unsur nama “Prabu Udara”. Demikian juga kata “Pa Bu” adalah unsur yang mewakili kata Prabu. Cara kedua ini diakui juga bersifat spekulatif, namun jelas lebih rasional dibandingkan cara yang sebelumnya.

Lantas siapakah Prabu Udara yang dimaksud ? Pasca serangan Girindrawardhana atas Majapahit pada tahun 1478 M, Girindrawardhana kemudian mengangkat dirinya menjadi raja Majapahit bergelar Prabu Girindrawardhana atau Brawijaya VI. Raden Patah mencoba menuntut haknya atas tahta Majapahit. Namun upaya tersebut nampaknya kurang berhasil. Justru kemudian Girindrawardhana terbunuh oleh patihnya sendiri yang bernama Patih Udara. Patih Udara sendiri kemudian menggantikan Girindrawardhana menjadi raja Majapahit dengan nama Prabu Udara atau Brawijaya VII.[22] Dengan demikian serangan Demak atas Majapahit bukan terjadi pada masa Prabu Kertabhumi atau Brawijaya V, ayah Raden Patah. Namun terjadi pada masa Prabu Brawijaya VI atau Girindrawardhana dan Brawijaya VII atau Prabu Udara.

Pasca perebutan kekuasaan di Majapahit antara Patih Udara dan Girindrawardhana dengan hasil akhir kemenangan atas Patih Udara tersebut. Patih Udara yang kemudian menggunakan gelar Prabu Udara atau Brawijaya VII tersebut justru merasa was-was terancam kekuasaannya disebabkan Kesultanan Demak yang semakin menguat. Beberapa catatan menyebutkan bahwa Raden Patah sendiri membiarkan saja Majapahit berdiri di bawah pimpinan Prabu Udara. Catatan lain menyebutkan bahwa Prabu Udara telah tunduk kepada Kesultanan Demak. Namun yang terjadi kemudian, kekhawatiran Prabu Udara akan kehilangan kekuasaan telah memuncak dan kemudian meminta bantuan kepada Portugis di Malaka. Sejarah mencatat bahwa Prabu Udara atau Brawijaya VII mengirim utusan kepada Alfonso d’Albuquerque dengan membawa hadiah berupa 20 buah genta, sepotong kain panjang tenunan Kambayat, 13 buah lembing, dan sebagainya. Melihat gelagat yang kurang baik inilah maka kemudian tentara Kesultanan Demak yang dipimpin oleh Adipati Yunus (Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor) menyerang Portugis di Malaka dan sekaligus Majapahit di bawah kepemimpinan Prabu Udara untuk membubarkan persepakatan gelap yang terjadi.[23] Seandainya saja Majapahit tidak diserang pada masa Prabu Udara tersebut maka dapat dipastikan bahwa Portugis akan menjajah tanah Jawa lebih cepat dari masa agresi Belanda.

Terlebih lagi, Prof. Dr. Slamet Muljana menyebutkan bahwa penyerangan Demak atas Prabu Girindrawardhana di Majapahit terjadi pada tahun 1517 M.[24]Hal ini semakin menunjukkan bahwa analisa yang digunakan oleh Muljana adalah lemah. Sebab masa pemerintahan Prabu Girindrawardhana hanya berlangsung antara tahun 1478 sampai 1489 M.[25] Tahun 1489 M tersebut merupakan tahun terbunuhnya Girindrawarhana oleh Patih Udara yang kemudian menggantikannya sebagai raja Majapahit dengan gelar Prabu Udara. Dengan demikian serangan Demak atas Girindrawardhana di Majapahit, sebagaimana dikemukakan oleh Slamet Muljana, dapat dipastikan hanya merupakan kesalahan analisa semata. Sebab pada tahun 1517 tersebut Girindrawardhana telah mati jauh-jauh hari sebelumnya.

Ada pun yang lebih masuk akal adalah serangan Demak itu terjadi pada masa Pemerintahan Prabu Udara yang berkuasa antara tahun 1489 sampai 1518.[26] Motifnya, jelas upaya untuk mempertahankan kehormatan Islam dan mengambil kembali tahta Majapahit yang merupakan hak sepenuhnya dari sultan Demak. Hal ini juga menguatkan bahwa Pa Bu Ta La dalam kronik Tionghoa di kuil Sam Po Kong bukanlah transkripsi dari nama Girindrawardhana melainkan lebih sesuai sebagai nama dari Prabu Udara atau Brawijaya VII. Oleh karena itu analisa Samet Muljana sebagai penyebab keruntuhan Majapahit pada masa Prabu Kertabhumi (Brawijaya V) adalah tidak terbukti. Dengan demikian, jika sejarah menulis bahwa penyebab keruntuhan Majapahit adalah karena serangan dari Demak dan tanpa dierangkan lebih lanjut tentang faktor-faktor penyebabnya yang melatarbelakanginya maka hal ini jelas merupakan paparan yang tidak netral dan berusaha menyembunyikan fakta yang urgen. Dengan kata lain jelas memiliki sejumlah motif dan kepentingan tertentu.

Awalnya, informasi bahwa keruntuhan Majapahit disebabkan oleh serangan Demak, dapat ditelusur, hanya merupakan akibat kesalahpahaman semata. De Graf, mencatat bahwa nama Girindrawardhana yang menyerang Majapahit dan merebut kekuasaan Prabu Brawijaya V, seringkali disalah pahami merupakan sosok yang sama dengan tokoh Sunan Giri, seorang ulama muslim anggota Walisanga.[27]Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Muhammad Yamin, seorang tokoh Indonesia yang dikenal sebagai Majapahit-sentris. Muhammad Yamin menyatakan bahwa nama “Giri” dalam beberapa babad yang menceritakan tentang keruntuhan Majapahit merupakan nama seorang penganut Hindhu, yang tidak lain adalah Girindrawardhana. Pengarang babad, dalam pernyataan Mohammad Yamin, umumnya telah mencampuradukkan antara nama Girindrawardhana dan Sunan Giri.[28] Padahal kedua nama tersebut adalah tokoh yang berbeda. Dari sinilah maka kesalahpahaman tersebut berlanjut, bahwa Majapahit runtuh akibat serangan Demak. Bahkan terkesan bahwa ada upaya untuk memelihara kesalahpahaman tersebut tanpa memberikan koreksi terhadap pelajaran Sejarah di Indonesia terutama di tingkat Sekolah Menengah ke bawah. Hal ini jelas merupakan indikasi kuat bahwa sebuah kepentingan sedang bermain untuk pencitraan negatif terhadap Islam.

PENUTUP

Dengan demikian dapat diketahui bahwa awalnya, cerita tentang penyerangan yang dilakukan oleh Demak terhadap Majapahit, awalnya terjadi karena kesalahan pandangan dari para penulis cerita babad. Kesalahan ini terjadi akibat menganggap sama dua tokoh yang sebetulnya berbeda, yaitu Girindrawardhana dan Sunan Giri. Tidak jarang, sejarawan memanfaatkan cerita babad ini sebagai bahan pendukung analisa sejarah. Terkait bahwa cerita dari babad tidak memiliki akurasi yang tinggi dalam penggambaran sejarah, telah banyak diketahui. Oleh karena itu usaha memelihara “sejarah” dari hasil pandangan yang kurang benar, jelas merupakan upaya yang sarat kepentingan untuk mendiskreditkan Islam.

* Penulis adalah  Peneliti Pusat Studi dan Peradaban Islam, Solo


[1] Panitia Seminar. Risalah Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia. (Panitia Seminar, Medan, 1963). Hal. 265

[2] Herry Nurdi. Risalah Islam Nusantara. (Sabili Edisi Khusus : Sejarah Emas Muslim Indonesia, No. 9 Th. X, 2003). Hal. 9

[3] Prof. DR. Hamka. Sejarah Umat Islam. Cetakan V. (Pustaka Nasional Pte Ltd, Singapore, 2005).Hal. 671-672

[4] A. Latif Osman. Ringkasan Sejarah Islam. Cetakan XXIX. (Penerbit Widjaya, Jakarta, 1992). Hal. 77

[5] Noname. Darmagandul. Penerbit Sadoe Budi … Opcit. Hal. 48

[6] Prof. Dr. Abubakar Aceh. Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawwuf. Cetakan IV. (Ramadhani, Surakarta, 1989). Hal. 370

[7] Prof. Dr. Abubakar Aceh. Sejarah Al Quran. Cetakan VI. (Ramadhani, Surakarta, 1989). Hal. 325

[8] Denys Lombard. Nusa Jawa : Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu. Bagian II :Jaringan Asia. Cetakan III. (PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005). Hal. 34

[9] Drs. Sentot D. Tj. Sejarah Nasional dan Dunia. (Prima Offset, Wonogiri, tth). Hal. 57

[10] Alwi Shihab. Membendung Arus : Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia. (Penerbit Mizan, Jakarta, 1998). Hal. 22

[11] Es Danar Pangeran. Menggali Sejarah Madura Lewat Babad Soengenep (8) : Kudapanole Menaklukkan Blambangan. Tabloid POSMO Edisi 44 Tahun I/ 2000. Hal. 15

[12] Lihat misalnya tulisan Prof. Dr. Slamet Muljana. Runtuhnya Kerajaan Hindu – Jawa dan Timbulnya Negara – negara Islam di Nusantara. Cetakan VI. PT LKiS Pelangi Aksara, Yogyakarta, 2008). Hal. 139 -140

[13] Prof. Dr. Slamet Muljana. Ibid. Hal. 14 dan 19

[14] Terkait dengan perang Bubat lihat H. J. Van Den Berg, Dr. H. Kroeskamp, I. P. Simandjoentak. Dari Panggung Peristiwa Sedjarah Dunia. Jilid I : India, Tiongkok, dan Djepang, Indonesia. Cetakan II. (J. B. Wolters, Jakarta – Groningen, 1952). Hal. 367-368

[15] H. J. Van Den Berg, et. all. Dari Panggung….Ibid. Hal. 365-366

[16] Lihat artikel Dr. W. B. Sidjabat. Latar Belakang Sosial dan Kultural dari Geredja-geredja Kristen di Indonesia. Dalam Dr. W. B. Sidjabat (ed.). et. all. Panggilan Kita di Indonesia Dewasa ini. (Badan Penerbit Kristen, Jakarta, 1964). Hal. 20 – 21

[17] H. Soekama Karya., et all. Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam. (Logos, Jakarta, 1996). Hal. 364

[18] Prof. Abu Bakar Aceh. Sejarah Al Quran. (Ramadhani, Surakarta, 1989). Hal. 234-235.

[19] Buku Darmagandul menggambarkan bahwa para ulama adalah seperti tikus yang merusak dari dalam. Mereka meminta jabatan kepada raja Majapahit dan pasca itu kemudian merusak kerajaan dari dalam. Lihat Noname. Darmagandul. Penerbit Sadoe Budi … Opcit. Hal. 46-47

[20] Umar Hasyim. Sunan Giri dan Pemerintahan Ulama di Giri Kedaton. (Penerbit Menara, Kudus, 1979). Hal. 88 – 89

[21] Prof. Dr. Slamet Muljana. Runtuhnya … Opcit. Hal. 107

[22] Sholichin Salam. Sekitar Walisanga. (Menara Kudus, Kudus, 1960). Hal. 13

[23] MB. Rahimsyah. Legenda dan Sejarah Lengkap Walisongo. (Amanah, Surabaya, tth). Hal. 50. Tulisan lain mencatat bahwa alasan penyerangan Demak (dipimpin Adipati Yunus) ke Majapahit (masa Girindrawardhana) adalah sebagai serangan balasan terhadap Girindrawardhana yang telah mengalahkan kakek Adipati Yunus, yaitu Bhre Kertabumi (Prabu Brawijaya V). Lihat Marwati Djoenoed Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia. Jilid II. Cetakan V. (PN. Balai Pustaka, Jakarta, 1984). Hal. 451

[24] Prof. Dr. Slamet Muljana. Runtuhnya … Opcit. Hal. 108

[25] Sholichin Salam. Sekitar … Opcit. Hal. 13

[26] Sholichin Salam. Sekitar … Ibid. Hal. 13. Berita dari Duarte Barbarosa yang berasal dari tahun 1518, menyebutkan bahwa Jawa masih dikuasai kerajaan kafir yang dipimpin Patih Udra. Lihat Marwati Djoenoed Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia. Jilid II. … Hal. 449

[27] De Graf dalam kutipan Prof. Dr. Rasjidi. Faham Tentang Islam …Opcit. Hal. 15

[28] Lihat Muhammad Yamin. Gajah Mada : Pahlawan Persatuan Nusantara. Cetakan IX. (PN. Balai Pustaka, Jakarta, 1977). Hal. 89

http://insistnet.com
http://susiyanto.wordpress.com

Syafruddin Prawiranegara, Presiden 207 Hari yang Terlupakan

Syafruddin Prawiranegara, Presiden 207 Hari yang Terlupakan
Syafrudin Prawiranegara saat bersama dengan Ir Soekarno. (IST)
Masyarakat Indonesia umumnya hanya mengenal Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono dan yang baru saja dilantik Joko Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia. Padahal, masih ada Presiden asal Banten yakni Syafruddin Prawiranegara walaupun hanya menjabat 207 hari.

Pria kelahiran Serang, 28 Februari 1911 ini mendapat sebutan Presiden karena Kuding (panggilan masa kecilnya) pernah menjabat pimpinan tertinggi PDRI atau Pemerintahan Darurat Republik Indonesia yang terbentuk karena Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948.

Serangan Belanda ke Yogyakarta yang pada saat itu sebagai Ibu Kota Negara Indonesia membuat tokoh-tokoh penting seperti Soekarno dan Mohammad Hatta tertangkap dan diasingkan ke Pulau Bangka.

Sehingga membuat pemerintahan tidak berjalan dengan normal. Karena itulah, disaat genting dibentuklah PDRI yang dipimpin oleh bapak delapan orang anak ini untuk menjalankan roda pemerintahan di Sumatera Barat.

Syafruddin Prawiranegara adalah orang kepercayaan Soekarno-Hatta, karena itu pria berdarah campuran Minang dengan Banten ini pernah memegang beberapa jabatan penting, seperti Gubernur Bank Indonesia, Menteri Keuangan, Menteri Kemakmuran, Wakil Perdana Menteri dan diberi mandat untuk membentuk PDRI.

Walaupun enggan disebut sebagai presiden, Kuding tetap ingin disebut Ketua PDRI saja, seperti percakapan antara Kamil Koto dengan Presiden yang hanya menjabat selama tujuh bulan lebih ini dalam buku yang ditulis Akmal Nasery Basral dengan judul “Presiden Prawiranegara”.

“Jadi, Pak Syaf adalah presiden yang menggantikan Bung Karno,? ” tanya Kamil Koto.
“Tidak persis begitu. Secara tugas memang iya, tapi saya lebih suka menyebutnya sebagai Ketua PDRI, bukan Presiden PDRI,” kata Syafruddin Prawiranegara, menjawab pertanyaan Kamil Koto.

Syafruddin mendirikan PDRI bersama pejuang lainnya, seperti Teuku Hasan yang kemudian menjabat Wakil Ketua PDRI, Lukman Hakim, Sulaiman Effendi, Mananti Sitompul, Indracahya, Kolonel Hidayat dan Muhamad Nasrun.

Prawiranegara bersama para tokoh lainnya, menjalankan PDRI selama 207 hari, demi mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta pada 17
Agustus 1945.

Selama menjabat dan bertugas di Sumatera Barat, istrinya Tengku Halimah Syehabuddin bekerja keras untuk menghidupi anak anaknya dengan berjualan sukun goreng.

Di saat berjualan sukun, anaknya ada protes dengan pekerjaan ibunya Lily panggilan akrabnya “Kenapa kita tidak minta bantuan saja pada Presiden Om Karno dan Wakil Presiden Om Hatta serta Om Hengky (Sri Sultan Hamangku Buwono IX),” tanya Icah anak pertama Syafruddin.

Kemudian dengan jawaban yang bijaksana Lily memberikan penjelasan dari protes ‘kecil’ Icah “Ayahmu sering mengatakan kepada ibu agar kita jangan bergantung pada orang lain, Icah. Kalau tidak penting sekali jangan pernah jangan pernah meminjam uang, jangan pernah berutang, “.

Icah menimpal jawaban ibunya dengan mempertanyakan pekerjaan yang dijalani Lily sebagai penjual gorengan. “Tapi apa ibu tidak malu?, Ayah orang hebat, keluarga ayah dan ibu juga orang-orang hebat, “.

Lalu dengan jiwa keibuannya Lily menjelaskan dengan kalimat yang membuat Icah mengerti “Iya, sayang. Ibu mengerti, tapi dengarkan ya. Yang membuat kita boleh malu adalah kalau kita melakukan hal-hal yang salah seperti mengambil milik orang lain yang bukan hak kita, atau mengambil uang negara. Itu pencuri namanya. Orang-orang mungkin tidak tahu, tapi Allah tahu,” timpal Lily.

Disaat keluarga Kidung mencari nafkah untuk membiayai kehidupan keluarganya, Syafruddin tetap fokus menjalankan roda pemerintahan Republik Indonesia yang masih tetap eksis meskipun para pemimpin Indonesia seperti Soekarno-Hatta telah ditangkap.

Atas usaha Pemerintah Darurat, Belanda terpaksa berunding dengan Indonesia. Perjanjian Roem-Royen mengakhiri upaya Belanda, dan akhirnya Soekarno dan kawan-kawan dibebaskan dan kembali ke Yogyakarta.

Pada 13 Juli 1949, diadakan sidang antara PDRI dengan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Hatta serta sejumlah menteri kedua kabinet. Serah terima pengembalian mandat dari PDRI secara resmi terjadi pada tanggal 14 Juli 1949 di Jakarta.

Dengan demikian, berakhirlah riwayat PDRI yang selama kurang lebih delapan bulan melanjutkan eksistensi Republik Indonesia sebagai negara bangsa yang sedang mempertahankan kemerdekaan dari Belanda yang ingin kembali berkuasa.

Setelah menyerahkan mandatnya kembali kepada Presiden Soekarno, Syafruddin Prawiranegara tetap terlibat dalam pemerintahan dengan menjadi menteri keuangan.

Pada Maret 1950, selaku Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta, dia melaksanakan pengguntingan uang dari nilai Rp5 ke atas, sehingga nilainya tinggal separuh. Kebijaksanaan moneter yang banyak dikritik itu dikenal dengan julukan Gunting Syafruddin.

Tanpa disangka setelah bertahun-tahun berkarir di dunia politik, Syafruddin Prawiranegara akhirnya memilih menjadi pendakwah sebagai kesibukan masa tuanya.

Dan, ternyata, tidak mudah. Berkali-kali bekas tokoh Partai Masyumi ini dilarang naik mimbar.

Walapun selama berdakwah Kidung tetap mempunyai kendala dan rintangan seperti pada Juni 1985, dia diperiksa sehubungan dengan isi khutbahnya pada hari raya Idul Fitri 1404 H di Masjid Al-A’raf, Tanjung Priok, Jakarta.

Dalam aktivitas keagamaannya, Kidung pernah menjabat sebagai Ketua Korp Mubalig Indonesia (KMI).

Kegiatan-kegiatannya yang berkaitan dengan pendidikan, keislaman, dan dakwah, seperti Anggota Dewan Pengawas Yayasan Pendidikan & Pembinaan Manajemen (PPM), kini dikenal dengan nama PPM Manajemen (1958), Anggota Pengurus Yayasan Al Azhar/Yayasan Pesantren Islam (1978) dan Ketua Korps Mubalig Indonesia (1984)

Di tengah kesibukannya sebagai mubalig, bekas gubernur Bank Sentral 1951 ini masih sempat menyusun buku Sejarah Moneter, dengan bantuan Oei Beng To, Direktur Utama Lembaga Keuangan Indonesia.

Kuding, yang gemar membaca kisah petualangan sejenis Robinson Crusoe, memiliki cita-cita tinggi “Ingin menjadi orang besar,” katanya. Itulah sebabnya dia masuk Sekolah Tinggi Hukum (sekarang Fakultas Hukum Universitas Indonesia) di Jakarta (Batavia) yang sebelumnya menempuh pendidikan ELS (1925) MULO, Madiun (1928) AMS, Bandung (1931).

Pada akhirnya kini yang dikenang tinggal jasa jasanya mempertahankan Republik Indonesia dari penjajah karena Syafruddin Prawiranegara sudah meninggal pada 15 Februari 1989 dan dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan.

Sikap Syafruddin, yang begitu memiliki dedikasi tinggi dalam menjalankan tugas dan sangat mementingkan bangsa, negara dan rakyat sehingga mengabaikan dirinya, keluarganya bahkan kehidupannya. Beberapa kalangan menilai sikap dan tauladannya patut menjadi contoh bagi para pejabat dan generasi muda di negara ini terutama Presiden yang baru saja dilantik Joko Widodo

“Berani berkorban dan sebagai pemimpin dia mendahulukan yang dipimpinnya. Mempunyai visi dan misi mau dibawa ke mana yang dipimpinnya,” kata Muchtar Mandala, tokoh masyarakat Banten.

Sikap Syafruddin yang tidak mau mengambil uang negara yang bukan haknya, merupakan contoh bagi seluruh anak bangsa ini.

Saat ini, lanjut salah satu pendiri Provinsi Banten, Indonesia saat ini sedang mengalami krisis kepemimpinan. Sulit menemukan tokoh panutan.

Dia berharap, kepemimpinan yang ditunjukkan Syafruddin dan para pejuang lainnya, bisa terus diteladani para pemimpin dan generasi muda pada saat ini.

source: https://daerah.sindonews.com/

NU, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Piagam Jakarta

Sikap para aktivis NU terhadap Piagam Jakarta, kata Andree Feillard, juga terlihat dalam pawai-pawai di Jakarta ketika memperingati 40 tahun hari lahirnya Nahdlatul Ulama

gal593648887

Soekarno menjelang proklamasi kemerdekaan

Oleh: Artawijaya

SUATU hari di awal bulan Juli 1959. Waktu menunjukkan pukul 01.30 dinihari. Telepon di rumah KH. Saifuddin Zuhri berdering. Dari ujung telepon, suara KH. Idham Chalid, menyampaikan kabar penting. Ia meminta kepada KH. Saifuddin Zuhri untuk datang ke rumahnya di Jalan Jogja 51, Jakarta Pusat, dini hari itu juga. “Ada hal penting terkait rencana kedatangan dua orang pejabat,”ujar KH Idham Chalid, dari ujung telepon.

Tak menunggu lama, Kiai Zuhri kemudian bergegas menuju rumah K. Pukul 02.00 lebih sedikit, ia sampai di kediaman tokoh senior Nahdhatul Ulama tersebut. Tak berapa lama, dua orang pejabat penting, yang tak lain adalah Jenderal Abdul Haris Nasution, Kepala Staf Angkata Darat/Menteri Keamanan dan Pertahanan ditemani dengan komandan Corp Polisi Militer (CPM) Letkol R. Rusli datang.

Kedua petinggi militer itu meminta saran kepada dua orang tokoh Nahdhatul Ulama tersebut terkait dengan rencana keberangkatan mereka menemui Presiden Soekarno yang sedang berobat di Jepang. Dari kalangan militer saat itu mengusulkan kepada Presiden Soekarno agar UUD 1945 diberlakukan kembali lewat Dekrit Presiden. Terkait hal itu, Jenderal Nasution dan Letkol R. Rusli meminta masukan kepada dua tokoh tNU tersebut untuk memberikan apa saja yang akan dimasukkan dalam dekrit.

“Isinya terserah pemerintah, tetapi hendaklah memperhatikan suara-suara golongan Islam dalam Konstituante,” ujar KH. Idham Chalid memberi masukan.

“Apa kongkretnya tuntutan golongan Islam itu?” Tanya Jenderal Nasution.

“Agar Piagam Jakarta diakui kedudukannya sebagai menjiwai UUD 1945,” jawab KH Saifuddin Zuhri menimpali.

“Bagaimana sikap NU apabila presiden menempuh jalan dekrit?” Tanya Jenderal Nasution lagi.

“Kami tidak katakan, itu hak presiden untuk menempuh jalan menyelamatkan negara,” jawab KH Idham Chalid.

Kisah mengenai sikap NU, Jenderal Nasution, dan tentang rencana Dekrit Presiden ini ditulis oleh M. Ali Haidar dalam buku “Nahdhatul Ulama dan Islam Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik.”

Soal keterlibatan Jenderal Nasution dalam menggagas upaya kembali ke UUD 1945 dengan syarat Piagam Jakarta diakui sebagai bagian dan rangkaian kesatuan dari UUD, dan sikap NU yang menerima usulan tersebut dengan syarat Piagam Jakarta diposisikan seperti itu, juga ditulis oleh pengamat NU, Andree Feillard dalam buku ”NU vis-a-vis Negara.”
Andree Feillard menggambarkan sikap NU terhadap Piagam Jakarta ketika itu seperti berikut:

”Pada tahun 1959, NU bersedia kembali ke Undang-undang Dasar 1945 dengan syarat Piagam Jakarta diakui ”menjiwai” dan ”satu rangkaian” dengan Undang-Undang Dasar tersebut. Meskipun Pengurus Besar NU merasa puas dengan kompromi ini, namun tidaklah demikian halnya dengan beberapa cabang daerah. PBNU terpaksa menyebarkan edaran yang menjelaskan usaha-usaha mendukung Piagam Jakarta. Dan usaha itu tidak berhenti di situ. Pada tahun 1962, Nahdlatul Ulama meminta pemerintah supaya mengupayakan ”seluruh perundang-undangan organik dari UUD secara otomatis dijiwai oleh Piagam Jakarta. Muktamar itu juga mengusulkan pembentukan Mahkamah Agung Islam. Dalam pandangannya, Piagam Jakarta dasar kehidupan hukum positif negara RI.”

Sikap para aktivis NU terhadap Piagam Jakarta, kata Andree Feillard, juga terlihat dalam pawai-pawai di Jakarta ketika memperingati 40 tahun hari lahirnya Nahdlatul Ulama. Dalam pawai-pawai tersebut, tuntutan untuk mengembalikan Piagam Jakarta sebagai bagian dari UUD 1945 bertebaran dalam spanduk yang dibawa di jalan-jalan.

Pada 22 April 1959, Soekarno yang menganggap sidang konstituante terlalu bertele-tele dan alot. Ia kemudian menyampaikan pidato berjudul “Res Publica, Sekali Lagi Res Publica” di Majelis Konstituante yang meminta para anggota majelis untuk segera kembali kepada UUD 1945, seperti yang dirumuskan pada 18 Agustus 1945.

Kemudian pada 2 Juni 1959 majelis mengadakan pemungutuan suara dalam rangka kembali ke UUD 45, dengan dua pilihan yang diajukan:

Pertama, kembali kepada UUD 1945 seperti dirumuskan pada 18 Agustus 1945. Kedua, kembali pada UUD 1945 dengan memasukkan anak kalimat Piagam Jakarta ke dalamnya.

Voting itu menghasilkan 263 suara setuju kembali ke UUD 1945 seperti dirumuskan tanggal 18 Agustus 1945 dan 203 mendukung UUD 1945 yang di dalamnya berisi tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang mewajibkan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.

Karena pemungutan suara tidak menghasilkan pemenang mutlak, maka Soekarno melakukan langkah drastis dengan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang berisi pembubaran konstituante dan menetapkan berlakunya UUD 1945 yang dijiwai oleh Piagam Jakarta 22 Juni 1945, yang ia sebut sebagai rangkaian kesatuan dengan konstitusi.

Dekrit ini dikeluarkan karena perdebatan di Sidang Majelis Konstiuante yang cukup alot dan memakan waktu cukup lama, dari tahun 1956 sampai 1959. Masing-masing kelompok tanpa tedeng aling-aling mengemukakan gagasan-gagasannya. Mohammad Natsir menyebut suasana saat itu dengan istilah masa-masa konfrontasi dalam suasana toleransi. Masing-masing menyampaikan aspirasi untuk mengajukan ideologi yang akan dijadikan dasar dalam bernegara.

Kelompok Islam dimotori oleh M Natsir, Hamka, Kasman Singodimejo, dan lain-lain, serta para tokoh NU, sepakat mengajukan Islam sebagai dasar negara.Kelompok Islam mempersilakan kelompok lain untuk menyampaikan gagasannya secara terbuka, jika memang mereka mempunyai konsep yang jelas soal kenegaraan.

Perdebatan itu akhirnya berujung pada Dekrit Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959. Dekrit dirumuskan di Istana Bogor, pada 4 Juli 1959, dan dibacakan di Istana Merdeka, Jakarta, pada Ahad 5 Juli 1959, pukul 17.00 WIB dengan isi sebagai berikut:

DEKRIT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI
ANGKATAN PERANG
TENTANG
KEMBALI KEPADA UNDANG-UNDANG DASAR 1945
Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI
ANGKATAN PERANG

Dengan ini menyatakan dengan khidmat;

Bahwa anjuran Presiden dan Pemerintah untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945, yang disampaikan kepada segenap rakyat Indonesia dengan Amanat Presiden pada tanggal 22 April 1959, tidak memperoleh keputusan dari Konstituante sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Sementara;

Bahwa berhubung dengan pernyataan sebagian besar anggota Sidang Pembuat Undang-Undang Dasar untuk tidak menghadiri lagi sidang, Konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas yang dipercayakan oleh rakyat kepadanya.

Bahwa hal yang demikian menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan keselamatan negara, nusa dan bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat adil dan makmur.

Bahwa dengan dukungan bagian terbesar rakyat Indonesia dan didorong oleh keyakinan kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya jalan untuk menyelamatkan negara proklamasi.

Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.
Maka atas dasar-dasar tersebut di atas

KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/
PANGLIMATERTINGGI ANGKATAN PERANG

Menetapkan pembubaran Konstituante;

Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan dekrit ini, dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara.

Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat dengan utusan-utusan daerah dan golongan-golongan serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung sementara, akan diselenggaerakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 Juli 1959
Atas nama rakyat Indonesia
Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang
Soekarno.

Profesor A Sanusi, seperti dikutip Endang Saifudin Anshari, mengatakan bahwa Piagam Jakarta yang disebut dalam dekrit 5 Juli 1959 adalah kembalinya gentlement agreement dalam rangka persatuan dan perjuangan nasional. Karena itu posisi Piagam Jakarta senapas dengan konstitusi 1945. Sanusi mengatakan kata “menjiwai” dalam dekrit tersebut berarti memberi jiwa. Sedang memberi jiwa berarti memberi kekuatan. Kata “menjiwai” yang kemudian dirangkaikan dengan kata-kata “Suatu rangkaian kesatuan” menunjukan bahwa Piagam Jakarta merupakan satu rangkaian yang tak terpisah dengan UUD 1945.

Profesor Notonagoro, seorang ahli yang banyak melakukan penelitian tentang Pancasila mengatakan, pengakuan tentang Piagam Jakarta dalam dekrit itu berarti pengakuan akan pengaruhnya dalam UUD 1945, tidak hanya pengaruh terhadap pasal 29, pasal yang harus menjadi dasar bagi kehidupan hukum di bidang keagamaan.

Dengan demikian, perkataan “Ketuhanan” dalam pembukaan UUD 1945 bisa berarti “Ketuhanan dengan kewajiban bagi umat Islam untuk menjalankan syariatnya”, sehingga atas dasar itu dapat diciptakan perundang-undangan atau peraturan pemerintah lain. Dengan syariat Islam, ketetapan pasal 29 ayat 1 tetap berlaku bagi agama lain untuk mendasarkan aktivitas keagamaanya KH. Saifuddin Zuhri, dalam sebuah peringatan 18 tahun Piagam Jakarta, mengatakan;

“Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 maka hapuslah segala selisih dan sengketa mengenai kedudukan yang legal daripada Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Piagam yang pernah menjadi pengobar dan bebuka Revolusi Nasional kita itu tegas-tegas mempunyai kedudukan dan peranan ketatanegaraan kita sebagai yang menjiwai UUD dan merupakan rangkaian kesatuan dengannya dengan sendirinya mempunyai pengaruh yang nyata terhadap setiap perundang-undangan negara dan kehidupan ideologi seluruh bangsa”

Prof Hazairin mengatakan bahwa Piagam Jakarta yang dikatakan dalam Dekrit 5 Juli 1959 sebagai “menjiwai” dan menjadi “rangkaian kesatuan” bagi UUD 1945 adalah maha penting bagi penafsiran pasal 29 1 UUD 1945, yang tanpa perangkaian tersebut maknanya menjadi kabur dan dapat menimbulkan penafsiran yang beragam dan absurd, karena penjelasan yang resmi mengenai pasal tersebut tidak mencukupi, karena desakan waktu.

Penghapusn tujuh kata dalam Piagam Jakarta pada 18 Agutus 1945 merupakan toleransi dari umat Islam yang menuntut diberlakukannya syariat Islam bagi pemeluknya. Dekrit Soekarno jelas menegaskan soal keberadaan Piagam Jakarta, yang “menjiwai” dan menjadi “rangkaian kesatuan” konstitusi bangsa ini.

Siapa yang menggagas ide untuk kembali ke konstitusi 1945 dan menyebut soal Piagam Jakarta dalam dekrit presiden tersebut? Ide tersebut ternyata datang dari kalangan militer, yaitu Jenderal Abdul Haris Nasution, tokoh yang dikenal dekat dengan kalangan Islam. Keterangan soal ini bisa dilihat dalam wawancara Jenderal AH Nasution dalam buku Islam di Mata Para Jenderal. Jenderal Nasution pula, yang pernah mengucapkan secara tegas bahwa, “Dengan hikmah Piagam Jakarta itu pulalah selamat sentosa menghantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.”

Penulis editor Pustaka Al-Kautar dan Dosen STID Mohammad Natsir Jakarta

http://www.hidayatullah.com

186 Kerajaan Eks-Nusantara Yang Masih Eksis Perlu Payung Hukum

39DSC_0275

Jakarta – Dalam sisi sejarah dan kepemimpinan melayu yang berkarakter, Suhardi Somomeljono, SH membahasnya dengan tajuk: “Merajut Peradaban Melayu Masa Depan dalam Perspektif Budaya Nusantara” . Menurutnya, Kerajaan di Indonesia yang berakhir pada tahun 1525 pada masa Kerajaan Majapahit itu pada episode selanjutnya ketika bangsa Melayu mampu mengalahkan Mongolia.

Dalam perspektif sejarah, kata Suhardi, kejayaan nusantara menembus batas-batas wilayah hingga kawasan ASEAN.  “Bahkan kita katakan pada waktu itu Malaysia sebenarnya  masuk sebagai propinsi-nya kerajaan Majapahit yang dinamai “Semenanjung Melayu”.

“Kini saya berpendapat Malaysia itu juga bangsa melayu sama dengan bangsa Indonesia. Maka dengan pendekatan seni budaya dan pariwisata, sesungguhnya bangsa melayu itu dapat kita rajut, yang rajutan itu sebenarnya berlangsung sejak lama karena bangsa ini sudah disentuh dengan seni budaya melalui lagu-lagu atau nyanyian yang bernuansa melayu,”tegas pengacara ini.

Dikatakan oleh Suhardi, persaudaraan kita bisa menyatu dan saya yakin Malaysia dan Indonesia suatu saat akan menjadi satu “Negara Melayu”. “Hal ini  berangkat dari hati nurani yang paling dalam, sejatinya saya ingin mengatakan bahwa saya tidak pernah merasa Malaysia itu terasing dengan Indonesia, dan selalu saya katakan,  Malaysia itu saudara kita sesama satu bangsa Melayu,” tandas Suhardi dengan mantap.

Kalau akhir-akhir ini kerap terjadi hal-hal yang diberitakan oleh media, tambahnya, itu hanya efek-efek kecil dari semangat besar bangsa melayu. Tema seminar “Merajut Peradaban Melayu”, sangat penting yang nantinya dapat merekomendasikan hal-hal yang menjadi aspirasi mamsyarakat kita. “Kami menemukan kurang lebih ada 186 kerajaan yang masih eksis. Ini harus menjadi pekerjaan rumah Pusat Kajian Peradaban Melayu (PKPM) untuk melakukan penelitian atau pengkajian selanjutnya,” tandas suhardi.

“Dengan UU Kerajaan eks-Nusantara sebagai asset Negara, maka pengelolaannya diatur pula oleh APBN (Anggaran Perencanaan Belanja Negara) kemudian dihidupkan (dijumenengkan) kembali dalam kerangka pendekatan seni budaya dan pariwisata,”harap Suhardi kepada Senat dan DPR.

Terkait Pusat Kajian Melayu, Suhardi berpendapat lain,  jika nanti ada perubahan besar dalam tubuh bangsa ini tidak mustahil pada suatu saat Malaysia dan Indonesia bisa bersatu seperti menyatunya Jerman Barat dan Jerman Timur. Apalagi kalau ada pemimipin  sehebat Bung Karno yang bisa menyatukan bangsa melayu, saya kira tidak perlu ragu-ragu lagi bahwa kajian melayu ini harus mengarah kesana, tidak sebatas mengkaji soal peradaban, peradaban sudah jelas sebagai heritage.

“Sekarang sudah muncul masyarakat kita yang ingin membangkitkan kembali Majapahit di Jawa Timur dan Sriwijaya di Sumatera, mereka ingin membesarkan bangsa melayu, sebab kalau tidak, maka akan tertindas. Modal kita sudah ada satu bahasa Indonesia berasal dari bahasa melayu maka Indonesia akan maju dan jaya di masa yang akan datang. .

Perihal kepemimpinan saat ini dan masa depan, Suhardi juga merasa prihatin,  menurutnya, regenerasi Presiden di Indonesia saat ini mengalami krisis tokoh, sehingga tokoh-tokoh yang akan berlaga di Capres 2014 rata-rata berumur diatas 60-an tahun. Partai politik tidak mampu menjadikan kader partainya menjadi pemimpin. Krisis kepemimpinan di Indonesia sudah diambang berbahaya.

“Melalui kajian –kajian seperti ini kami berharap muncul kader-kader pemimpin di tanah air. Kita harus cepat antisipasi jangan terlambat sebab orang melayu harus berkembang dan maju dan lebih baik di masa depan”, pungkas pengacara asal Jawa Timur ini. /Sumber: Panitia.

Foto: Dr. Ir. Yetti Rusli, Staf Ahli Menteri Kehutanan dan Suhardi Somomoeljono, SH (Pengacara) saat Menjadi Pembicara pada Seminar Nasional “Merajut Peradaban Melayu Masa Depan dalam Perspektif Baru”, 26 Desember 2012 di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta./redaksi

Asosiasi Kerajaan se-Nusantara

Kini ke-186 kerajaan eks-Nusantara yang masih eksis tersebut tergabung ke dalam suatu Asosiasi Kerajaan sebagai berikut :

1. FSKN : Forum Silaturahmi Keraton Nusantara

2. FKIKN : Forum Komunikasi dan Informasi Keraton Nusantara

3. AKKI : Asosiasi Kerajaan dan Kesultanan Indonesia

Forum Silaturahmi Keraton Nusantara (FSKN)

FKSN-11

Forum Silaturahmi Keraton Nusantara, disingkat dengan FSKN merupakan sebuah Organisasi Kemasyarakatan (Orkemas) yang didirikan melalui Akte Notaris Inne Kusumawati, S.H Nomor 5 Tanggal 24 April 2006, dan terdaftar di Depdagri Nomor 92/D.III.3/VIII/2008. FSKN berasaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Sifat Organisasi ; FSKN merupakan lembaga non profit yang bersifat kekeluargaan yang memiliki perhatian pada bidang adat, tradisi, seni dan budaya masyarakat.

Bentuk Organisasi ; FSKN berbentuk perserikatan dari para Raja, Sultan, Penglingsir dan Pemangku Adat, senusantara yang memiliki cita-cita dan tujuan yang sama sesuai dengan anggaran dasar FSKN. Semua anggota FSKN memiliki kedudukan yang sama dan setara.  FSKN-ACEH merupakan wadah pemersatu keturunan Bangsawan Aceh yang melekat panggilan atau sebutan : Tuanku, Raja, Reje, Teuku, Ampon, Pocut/Cut, atau sebutan lainnya, dan para Ulama/Said/Tokoh/Pakar, untuk berjuang bersama mewujudkan Aceh menjadi Negeri yang Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur. Sebagaimana Visi FSKN Aceh yaitu : “Aceh Menuju Negeri yang Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur”.  Dan Misinya : “Terwujudnya Pelestarian Adat, Tradisi, Seni dan Budaya sebagai jati diri bangsa dalam bingkai syariat islam dan bhineka tunggal ika”.

cropped-header-1

Susunan Kepengurusan Forum Silaturahmi Keraton se-Nusantara (FSKN) Periode 2013-2018

Dewan Pembina : Sri Sultan Hamengku Buwono X

Ir.H. Azwar Anas

H. Taufik Thayeb

Dra. G.R.Ay. Koes Moertiyah

H. Andi Oddang

KGPH Abdul Natadiningrat,SE.

Drs. Adji Pangeran Adipati Prabu Anum Surya Adiningrat, M.Si.

Ratu Boki Nita Susanti

Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat, SE.

Ketua Umun    : Ida Tjokorda Ngurah Jambe Pemecutan,SH.

Ketua              : Datuq Sri Adil Freddy Haberham,SE

Ketua              : Andi Kumala Idjo,SH

Ketua              : Tubagus Ismetullah Al-Abbas

Ketua              : Lalu Satria Wangsa,SH

Ketua              : Dr H. Adji Pangeran Hari Gondo Prawiro,MM

Ketua              : Gusti Kanjeng Ratu Ayu Koes Indriyah

Ketua              : Dr. Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna Mahendradatta SE,Msi

Ketua              : Kanjeng Pangeran Norman Hadinegoro,SE.MM.

Sekretaris Jenderal : Kahrul Zaman SH,MH

Sekretrais               : Dra. R Ay. Hj Yani W Sulistiawati Soekotjo

Sekretaris               : Ir. Muhammad Yunus

Sekretaris               : Hj.Mulyana Isham,SH,MM.

Sekretaris               : I Made Abdi Negara S.Sos

Bendahara Umum   : Datu Pocut Haslinda

Bendahara              : Ratu Raja Arimbi Nurtina, ST

Bendahara              : ST. Yudhi Prayogo SE.MEI

Bendahara              : I Gusti Ngurah Made Arya, SH.

Bendahara              : A.A. Gde Chandra

Bendahara              : Drs. I Made Raka Sedana

BIDANG-BIDANG

Bidang Politik, Hukum dan Advokasi  : Dr. Rustuty Rumagesan, SH.

Datuk Artadi

Pangeran Raja Luqman Zulkaedin

Bidang Organisasi dan Litbang         :  Dr. Tubagus Najib

Adji Mas Amiruddin

Bid. Humas Informasi&komunikasi    : Helmy Baratayudha

Mogan Made Suatha

Bid. Adat, Seni, Tradisi dan Budaya :  Prof. Dr. Muhammad Asdar

Dr. Laode Muhammad Syarif M

Drs. Zaidan B.S.

Bidang Lingkungan Hidup                : Ir. R. Soegiharijanto

Prof. Dr. Ir. Nurdin Abdullah

Bidang Hubungan Internasional       : Teuku Rafli Hasbsyah SE. MSi

Drs. Oni Benyamin M Si

KOORDINATOR WILAYAH

Koordinator Wilayah Sulawesi         : Andi Kumala Idjo, SH

Koordinator Wilayah Sumatera        : Datuq Sri Adji Freddy Haberham, SE.

Koordinator Wilayah Kalimantan      : Datu Abdul Hamid

Koordinator Wilayah Jawa               : Gusti Kanjeng Ratu Ayu Koes Indriyah

Koordinator Wilayah Papua              : DR. Hj. Rustuty Rumagesan MBA

Koordinator Wilayah NTB                 : Kahrul Zaman, SH. MH.

Koordinator Wilayah NTT                 : Leopold Nicolas Nisnoni

Koordinator Wilayah Maluku&Ternate: Ir. H. Abdullah Malawat

Koordinator Wilayah Bali                  : A.A. Ngurah Agung Wirabima Wikrama, ST. MSi

http://www.melayutoday.com/

http://nasional.sindonews.com/

http://www.facebook.com/

http://fsknaceh.wordpress.com/

Tsaqafah : Pengaruh Penguasa Tiran dan Pengalaman Hilangnya ’Adab’ di kawasan Asia Tenggara

thumb

Peta penyebaran agama Islam ke kawasan Asia Tenggara (Inet)

Oleh: Ady C. Effendy

TERLEPAS dari citra buruk tentang Islam seperti yang digambarkan dalam media-media Barat, bagi warga Asia Tenggara, bagaimanapun, Islam adalah sebuah agama ilahi yang damai serta memiliki kualitas istimewa untuk mendorong peralihan agama (konversi) besar-besaran masyarakatnya.

Keistimewaan agama Islam ini terbukti dari fakta bahwa orang-orang di kepulauan ini sebelumnya adalah pemeluk agama Buddha atau Hindu, dua agama besar dunia yang memiliki kecenderungan aspek ruhaniah yang cukup ekstrim. Untuk dapat memikat pengikut agama ruhaniah dalam jumlah sedemikian besar agama Islam pastilah memiliki keistimewaan ruhaniah yang jauh lebih indah untuk ditawarkan kepada orang-orang Hindu dan Buddha di kepulauan Nusantara.

Keistimewaan Islam yang tak tertandingi ini bersama dengan tabiat ajarannya yang toleran dan damai telah mendorong konversi besar-besaran di masa lampau ataupun di masa kini, masa dimana umat Islam secara politik tidaklah bearti signifikan dan citra Islam pun terdistorsi hebat.

Terlepas dari daya tarik Islam dalam memikat para pemeluk baru di masa modern ini, bagaimanapun umat Islam pada umumnya telah menderita kehilangan esensi Islam secara akut, yaitu hilangnya Adab. Kata ’adab’ memiliki makna yang beragam tetapi memiliki makna yang terkait erat yang digunakan dalam konteks yang berbeda. Pada zaman sebelum kedatangan Islam (pra-Islam), kata ‘adab’ mengandung makna norma-norma perilaku yang benar yang diwariskan dari nenek moyang seseorang. Di era setelah kedatangan Islam, adab mengadung makna sebagai norma-norma praktis dan etis yang dilaksanakan untuk menata kehidupan secara baik. Adab juga memiliki makna-makna sebagai berikut: tata prilaku (etiket) yang harus diikuti oleh kaum bangsawan selama masa kekhilafahan Abbasiyah, pengasuhan anak yang tepat dan pembinaan moralitas dan perilaku mereka yang baik, atau di bidang ilmiah mengandung makna pengetahuan tentang puisi, bahasa, serta karya-karya sastra, moral dan politik.

Berdasarkan beragam makna dari kata ’adab’ ini, kita bisa mengambil satu kesimpulan bahwa: ’adab’ adalah konsep tentang bagaimana seorang Muslim yang baik harus memahami, menjadi, dan bertindak untuk mencapai suatu tata cara kehidupan ideal hidup seperti yang dikehendaki oleh Islam.

Professor Naquib Al-Attas menyiratkan makna adab sebagai suatu disiplin antara jasad, fikiran, dan jiwa seorang muslim. Disiplin ini, menurut Al Attas, akan dapat memastikan “pengakuan dan kesadaran akan kedudukan seseorang yang sewajarnya dalam interaksinya dengan diri pribadinya, masyarakat dan komunitasnya; serta pengakuan dan kesadaran akan kedudukannya yang tepat dalam hubungannya dengan kemampuan dan potensi fisik, intelektual, dan spiritual  diri pribadinya sendiri…. “

Konsep’ adab’ merupakan fondasi yang sangat mendasar dan inti dari konsep pendidikan Islam. Konsep pendidikan Islam bercita-cita untuk menghasilkan “pribadi-pribadi Muslim yang baik dengan pemahaman mendalam tentang aturan perilaku yang Islami dan pengetahuan yang mendalam serta komitmen yang kuat terhadap keimanan.”

Tujuan pendidikan ini benar-benar sangat berbeda dari yang pendidikan sekuler liberal yang menganggap bahwa tidak ada keharmonisan/keterkaitan apapun antara rohani dan duniawi. Alih-alih menghasilkan seorang yang relijius, santun, dan berprilaku baik, pendidikan sekuler malah bertujuan untuk menciptakan pribadi dengan individualitas penuh dan kebebasan moral yang tidak dibatasi oleh aturan-aturan ilahi apapun. Selain itu, pendidikan sekuler membedakan antara pengetahuan (ilmu) dan moralitas.

Kedatangan kekuatan Eropa pada awal masa penjajahan/kolonial, bagaimanapun, telah secara kuat mempengaruhi jalannya realisasi cita-cita Islam ini.

Perjumpaan Muslim  dengan kekuasaan kolonial ini telah menyebabkan tidak hanya kekalahan militer tetapi juga telah mengakibatkan kerusakan parah pada konsepsi yang sangat mendasar tentang kualitas individu Muslim dan pembentukannya. Proses yang merusak ini dilakukan oleh kekuasaan kolonial terjadi dengan memperkenalkan sistem pendidikan baru bagi penduduk Muslim pribumi. Kebijakan pendidikan masa penjajahan diarahkan untuk mengurangi arti penting pondok pesantren tradisional atau madrasah dan menggantinya dengan sekolah sekuler modern di bawah sistem pendidikan kolonial.

Praktek reformasi pendidikan di Asia Tenggara ini khususnya dan dunia Muslim pada umumnya telah mengakibatkan munculnya kelompok Muslim yang ’lalai’ yang pada gilirannya nanti menjadi tantangan besar untuk penerapan ajaran-ajaran Islam. Kondisi di masa lalu tersebut telah menempatkan kaum Muslim ke dalam situasi saat ini yang diwarnai oleh berbagai kelemahan, keterbelakangan dan kekalahan di hampir semua lapangan kehidupan bahkan dalam hal akidah.

Pengalaman Sejarah Hilangnya Adab

Islam telah masuk ke Asia Tenggara semenjak awal abad ke-7 M, abad ke-10 M atau ke-13 M – menurut para sejarawan lainnya, ketika para pedagang berkebangsaan Arab, Persia, dan India membawa keyakinan Islam untuk masyarakat asli nusantara. Para pedagang ini banyak dipengaruhi oleh ilmu tasawuf dan mendirikan jaringan bisnis mereka di sana, menikah dengan wanita dari penduduk asli dan membangun keluarga menurut hukum Islam. Sebagian besar penduduk asli menemukan bahwa Islam memiliki lebih banyak hal yang ditawarkan kepada mereka daripada Buddhisme atau Hindu. Ajaran Sufi dalam Islam dirasakan sangatlah menarik bagi para mantan umat Buddha atau Hindu yang mewarisi kecenderungan ruhaniah yang kuat dari kedua agama India itu. Selain itu, Islam juga mengajarkan konsep-konsep dalam interaksi sosial yang menunjukkan bahwa insan manusia berkedudukan sama di hadapan Allah SWT dan mereka hanya berbeda satu sama lain berdasarkan pada tingkat kesalehan atau umum disebut sebagai taqwa.

Kecenderungan tabiat Islam yang merakyat telah menantang sistem kasta yang sangat kaku yang ditawarkan oleh agama-agama sebelumnya, khususnya Hindu. Tidak adanya diskriminasi telah membuka secara luas kesempatan bagi para Muslim yang baru untuk berpartisipasi dalam tanggung jawab dan mendapatkan penghargaan dari pemerintah setempat. Selain itu, tersebarluasnya lembaga pendidikan tradisional yang disebut pondok pesantren, yaitu pesantren klasik yang didirikan oleh para ulama Islam traditional telah berhasil melatih siswa setempat dalam keilmuan Islam klasik. Para siswa ini, pada gilirannya, menyebarkan dakwah ke desa-desa setempat guna memperkenalkan dan menyebarkan firman Allah kepada sebagian besar masyarakat yang beragama Hindu dan Buddha di kawasan sekitar. Karena tasawuf dan madrasah tradisional tersebut, keyakinan atau iman yang baru ini menyebar secara cepat di antara populasi pengikut Hindu dan Buddha yang sudah mapan, yang secara bertahap mendorong konversi (perpindahan agama) beberapa penguasa setempat dan berdirinya sejumlah kerajaan Islam. Semua kerajaan Islam pada periode tersebut berasal dari penduduk pribumi. Oleh karena itu, penduduk tidak pernah memiliki persepsi bahwa mereka menjadi jajahan kekuatan asing Islam. Model kegiatan dakwah Islam yang lebih berupa gerakan pendidikan akar rumput juga telah menjamin dampak abadi dari dakwah Islam di Nusantara.

Adalah dibawah keadaan demikian ini, Muslim Asia Tenggara menegaskan kehadiran mereka dan menjalani kehidupan mereka yang harmonis di bawah kesultanan Islam yang berkuasa di kawasan-kawasan tertentu.

Persaingan politik di antara para penguasa Muslim, tentulah tidak bisa diabaikan, juga telah terjadi selama era tersebut. Persaingan ini, bagaimanapun, tidaklah sampai merusak Islam dan warisan tradisinya karena adanya ketaatan penguasa secara umum terhadap Syariah, penghormatan yang tinggi terhadap ulama dan warisan tradisi Islam oleh para elit yang berkuasa.

Islam dan tradisinya dilestarikan baik oleh sultan atau faksi oposisi yang menantang sultan, bahkan janji untuk melaksanakan pelestarian ajaran dan tradisi Islam secara lebih baik telah menjadi faktor pembenaran utama oleh setiap faksi oposisi untuk merebut kekuasaan politik dan memperoleh dukungan besar dari kaum muslimin.

Dalam keadaan demikian, hubungan yang harmonis antara kekuasaan dan agama berkembang melalui hubungan antara ulama dan sultan. Kesultanan dan pusat pemerintahan didirikan oleh penguasa Muslim yang mencari restu ulama untuk mendapatkan legitimasi mereka sementara pada waktu yang sama sang penguasa mendelegasikan kekuasaan kehakiman untuk ulama yang akan mendasarkan segala putusan peradilan berdasarkan hukum Islam (syariah). Berdasarkan pola hubungan ini di dalam kesultanan Islam, para ulama mampu mengoptimalkan peran mereka sebagai pendidik dan pada saat yang sama sebagai hakim Islam (qadi) dan penasihat hukum Islam (mufti) bagi sultan. Namun demikian, peranan tersebut berubah setelah penghancuran lembaga peradilan Islam oleh kekuatan kolonial seperti yang akan dijabarkan pada halaman selanjutnya.

Namun, kondisi harmonis ini berubah sepenuhnya setelah kedatangan kekuasaan kolonial Barat di kawasan Asia Tenggara selama abad ke-16 masehi.

Sebuah rentetan kekuatan kolonial Eropa mulai menduduki wilayah ini dimulai dari para penjajah Portugis, kemudian Spanyol, Belanda, dan Inggris yang menjelajahi wilayah yang diperintah oleh kesultanan Muslim dan kerajaan Hindu-Buddha.

Wilayah ini berhasil dikendalikan baik secara politik, militer dan ekonomi oleh kekuatan kolonial tersebut sampai pertengahan abad ke-20, terlepas dari kegagalan besar dalam penyebaran iman Kristen kepada penduduk asli di bumi Melayu – Indonesia yang secara bertahap masuk kedalam Islam bahkan di sepanjang periode penjajahan yang cukup lama.

Upaya kegagalan kristenisasi di dunia Melayu – Indonesia dapat ditelusuri dari beberapa alasan utama yang mencakup ketidakmampuan kekristenan secara umum untuk mengakomodasi tradisi lokal, kemauan penjajah asing untuk bekerja sama dengan para sultan Islam meskipun harus mengorbankan kerja-kerja misionaris dan kristenisasi mereka, kurangnya kemahiran dan penguasaan bahasa setempat, kekurangan pendeta untuk membina mereka yang masuk agama Kristen sehingga menyebabkan banyak dari mereka yang kembali ke agama mereka sebelumnya, dan terakhir adalah kurangnya dukungan politik dari induk kerajaan kolonial di Eropa.

Pendudukan oleh kekuatan asing Barat bahkan dianggap sebagai salah satu factor yang mendorong konversi massal kedalam agama Islam karena penguasa pribumi merasa Islam merupakan kekuatan penyeimbang alami terhadap agama Kristen yang datang bersama dengan penjajahan/kolonisasi. Namun demikian, kegiatan misionaris Kristen berjalan sangat sukses di wilayah utara Filipina diantaranya disebabkan karena adanya komitmen yang kuat dari kerajaan Spanyol di Eropa untuk menyebarkan pesan dari Alkitab melalui kristenisasi besar-besaran.

Pada tahun 1565, angkatan laut Spanyol yang datang dari Meksiko memasuki tanah Filipina (yang dinamai sesuai nama Raja Philip II dari Spanyol). Kekuasaan kolonial akhirnya berhasil menggulingkan Sultan Muslim Manila pada tahun 1571 dan mengalihkan otoritas kekuasaan dibawah kerajaan Spanyol. Dibawah kekuasaan kolonial Spanyol, kristenisasi terhadap penduduk asli kepulauan Filipina adalah kebijakan utama yang harus dilaksanakan. Menggunakan Gereja sebagai media administrasi pemerintahan di wilayah ini, kekuasaan kolonial Spanyol berhasil memasukkan penduduk asli ke dalam agama Kristen. Selain Kristenisasi oleh penguasa Spanyol, setelah proses kemerdekaan Filipina dari Spanyol yang didukung oleh Amerika Serikat, kondisi Muslim Moro dari kepulauan Filipina selatan bahkan memburuk. Kebijakan yang diterapkan pada masyarakat Muslim setempat sangatlah merusak budaya tradisional serta struktur sosial yang ada. Kebijakan ini meliputi: pendirian sekolah baru di mana kurikulum baru yang non-Islami diberikan, pembentukan pemerintah provinsi baru yang dipimpin oleh seorang Gubernur yang diangkat dari Manila, yang otoritasnya benar-benar melangkahi kekuasaan para sultan, dan para datuk yang bersifat tradisional; dan penggantian syariah dengan sistem hukum yang baru. Transformasi besar masyarakat Muslim dan warisan tradisinya oleh penguasa kolonial ini, yang kemudian dilanjutkan oleh pemerintah nasional Filipina telah menyebabkan kebencian yang mendalam di hati umat Islam pribumi yang menyingkir ke wilayah selatan. Ini juga merupakan alasan utama perlawanan yang berkelanjutan melawan pemerintah pusat di Filipina.

Belanda memulai penjajahan di Asia Tenggara dibalik topeng samara sebuah perusahaan perdagangan yang disebut Perusahaan Dagang Belanda di Hindia Timur (VOC) yang didirikan pada tahun 1602.

Selama periode panjang penjajahan, Belanda berhasil mengubah fitur-fitur Islam diwilayah ini. Hal ini dilakukan terutama melalui program-program pendidikan yang dirancang untuk mempersiapkan pegawai sipil yang patuh dan setia kepada kekuasaan kolonial Belanda, serta yang bantuannya terhadap pemerintah kolonial sangatlah penting bagi keberlangsungan penjajahan. Penyokong kekuasaan kolonial Belanda ini umumnya direkrut dari orang-orang berkelas tinggi di wilayah setempat atau bahkan juga kalangan yang memerintah. Mereka dididik di sekolah-sekolah yang didirikan oleh kekuasaan kolonial dimana mereka belajar bahasa asing, sejarah, budaya dan peradaban kekuasaan kolonial. Siswa-siswa yang cukup cerdas akan dikirim ke kota-kota besar atau ibukota kekuatan kolonial untuk belajar di tingkat universitas dalam berbagai mata pelajaran, terutama dalam bidang sosial politik. Hal ini dianggap sebagai investasi jangka panjang oleh kekuatan kolonial untuk melayani kepentingan kolonial mereka karena para mahasiswa tersebut akan kembali ke tanah air dan menjadi para elit penguasa baru yang melayani penjajah mereka.

Para ulama Islam tradisional setempat, di sisi lain, mengerahkan upaya mereka untuk melestarikan pembelajaran Islam tradisional melalui sekolah sederhana yang disebut pesantren di mana murid setempat diajarkan ilmu-ilmu Islam tradisional. Meskipun memiliki sumber daya minimal, lembaga tradisional ini memperoleh penerimaan luas di antara masyarakat setempat khususnya di tanah Jawa, dan mampu membangun jaringan otoritas tradisional yang kuat, yang jauh dari jangkauan kekuasaan kolonial serta negara pasca-kolonial. Lembaga tradisional pesantren jelas menawarkan visi lain dalam cara membangun potensi manusia yang menentang tujuan inti lembaga pendidikan kolonial modern yang cenderung untuk membangun ‘peralatan’ manusia untuk ’pabrik’ kolonial daripada individu yang mandiri dan bebas.

Dua visi yang saling bersaing, sekolah Islam tradisional dan institusi pendidikan modern, benar-benar telah menciptakan lahan pertarungan antara para pendukung masing-masing visi. Meski tidak memiliki sumber daya yang melimpah, para pendukung pendidikan tradisional berhasil dalam membangun otoritas informal yang kuat atas penduduk asli serta menantang dan membatasi efektivitas otoritas resmi yang dimiliki oleh kekuasaan kolonial serta para pewarisnya didalam negara pasca-kolonial kemudian hari.

Kewenangan (otoritas) informal para ulama begitu kuat sehingga dapat dipergunakan untuk memobilisasi pengikut mereka dalam peperangan anti-penjajahan yang berulang kali terjadi dengan pasukan asing yang menindas tersebut. Di sisi lain, bagaimanapun juga, lembaga sosialpolitik baru yang diperkenalkan di tengah-tengah wilayah yang dijajah juga berhasil mengurangi peran ulama yang sebelumnya jauh lebih luas, bukan semata-mata sebagai pendidik, tetapi juga mencakup peran mereka sebagai mufti dan hakim. Kemustahilan ulama Islam tradisional untuk melaksanakan peran mereka dalam aspek hukum jelas terlihat oleh kenyataan bahwa hal pertama yang dilakukan kekuasaan kolonial ketika mulai menduduki negeri-negeri Muslim adalah menghancurkan kesultanan Islam, juga memutus pola kerjasama antara sultan Muslim dan ulama Islam, dan penerapan Hukum Islam (Syariah) itu sendiri.

Selama era pasca-kolonial, para ulama tradisional diberikan peranan parsial dalam pengadilan Islam yakni hanya memutus kasus di bidang persoalan pribadi Muslim (al ahwal-alshakhsiya). Hal ini, tentu saja, merupakan konsekuensi yang jelas dari negara paska-penjajahan yang hanya mewarisi sistem sekuler kolonial.

Kondisi selama penjajahan tanah Melayu oleh kekuatan kolonial Inggris agak berbeda dari pengalaman Indonesia dan Filipina. Inggris berupaya untuk menggunakan kebijakan ’lunak’ dengan campur tangan terbatas terhadap adat istiadat setempat dan agama. Kebijakan ini telah mendukung penguatan tradisi Islam serta budaya Melayu di kalangan masyarakat Melayu, khususnya di negara-negara yang lebih miskin, seperti Perlis, Kedah, Terengganu, Kelantan di utara dan Johor di Selatan. Politik kerjasama antara sultan-sultan Melayu dan kekuasaan kolonial Inggris telah terbukti secara efektif meningkatkan kekuatan politik sultan Melayu, menyebarkan wacana politik Islam, serta melestarikan tradisi Islam di tanah Melayu paska kemerdekaan. Keuntungan ini tidak dinikmati oleh kaum muslimin dari kawasan Asia Tenggara lainnya seperti Indonesia dan Filipina, di mana pencabutan tradisi Islam dari rakyat dan pembentukan kelas elit penguasa sekuler telah berhasil meminggirkan wacana politik Islam di ruang publik.

Gambaran sejarah pertemuan antara kekuatan kolonial dengan lembaga-lembaga Islam tradisional dan pesantren di kepulauan Muslim Asia Tenggara menunjukkan dengan jelas bagaimana berbagai peristiwa ini telah menyebabkan munculnya jenis Muslim baru yang dididik berdasarkan sistem pendidikan kolonial. Pendidikan kolonial berhasil menyangkal dari para Muslim ini hak mereka untuk mendapatkan pendidikan dasar sesuai dengan iman dan tradisi mereka. Dampak transformasi pendidikan ini terhadap pemahaman, pandangan hidup, dan praktek-praktek keimanan umat Islam sangatlah besar dan menyentuh berbagai aspek kehidupan mereka. Pada akhirnya, hal ini menyebabkan transformasi menyeluruh dari peran sosial politik dan agama Islam di kawasan ini. Jika sebelum era kolonial, Islam adalah wacana utama dalam perjuangan politik serta kehidupan sosial budaya Muslim di kawasan ini, selanjutnya sekularisme telah berhasil mengambil alih peran Islam dan mengubah masyarakat Muslim menjadi masyarakat yang lebih secular dan berorientasi duniawi daripada sebelumnya.

Fenomena ini digambarkan secara sempurna oleh Al-Attas sebagai peristiwa hilangnya adab, yaitu hilangnya disiplin tubuh, pikiran, dan jiwa. Hilangnya disiplin diri dimulai oleh kekuasaan kolonial melalui pengenalan pendidikan sekuler baru sebagai alternatif pendidikan Islam tradisional untuk memutus mata rantai generasi Islam yang telah menyerap pandangan hidup Islami. Selain keunggulan budaya ini, kekuasaan kolonial berusaha membangun kelas baru pegawai sipil untuk membantu administrasi atau pemerintahan koloni-koloni mereka. Dalam periode pasca-kolonial, kelas pegawai sipil yang pernah dididik di bawah sistem pendidikan kolonial ini berubah menjadi pemimpin nasional yang baru memiliki agenda baru untuk mendirikan negara sekuler sebagai pewaris kekuasaan kolonial.

Adalah melalui pendidikan kolonial ini, kekuasaan kolonial menciptakan Muslim yang ’lalai’, yang telah dirampas dari hak-hak mereka untuk mempelajari pengetahuan, disiplin, dan pandangan dunia berdasarkan agama mereka. Pendidikan kolonial, pada kenyataannya, memperkenalkan dan menanamkan secara halus pandangan dunia sekuler ke dalam pikiran generasi Muslim baru. Hasil dari pendidikan kolonial ini adalah Muslim yang ’lalai’ yang tidak memahami tuntutan agama mereka agar menjadi Muslim yang baik. Pewaris-pewaris negara baru sesungguhnya tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemimpin umat Islam karena mereka tidak memiliki standar moral, intelektual dan spiritual yang tinggi untuk melayani masyarakat Muslim.

Akibatnya, mereka berkompromi terutama dengan kekuatan neo-imperialis asing yang berusaha untuk menjajah negara-negara baru ini melalui aspek sosioekonomi dan politik meskipun tidak secara militer seperti yang terjadi sebelumnya. Terkait urusan dalam negeri, para pemimpin ini cenderung mengkorupsi dana publik dan mendukung kebijakan-kebijakan dan hukum yang bertentangan dengan moralitas publik, atau terhadap ajaran Islam pada umumnya, belum lagi syariah itu sendiri yang telah benar-benar dibatalkan. Inilah kondisi dunia Islam yang ada saat ini. Negara-negara modern dengan mayoritas Muslim dan para pemimpin Muslim telah dikategorikan sejak kemerdekaan mereka sebagai negara gagal dengan tingkat korupsi yang tinggi, tingginya angka pengangguran dan tingkat kemiskinan, dan angka statistik kriminal yang tinggi, serta diperintah oleh rezim yang diktator. Kondisi ini akan tetap tidak berubah kecuali umat Islam kembali kepada disiplin diri mereka seperti yang dilakukan para pendahulu mereka di masa lalu. Sebagai kesimpulan, situasi kontemporer di mana dunia Islam menemukan dirinya hari ini adalah mustahil dirubah, kecuali bila kaum Muslim berusaha untuk memecahkan masalah inti yang diderita oleh individu Muslim yaitu masalah akut hilangnya disiplin diri atau ‘adab’.*

*Penulis adalah Mahasiswa S2 MA Contemporary Muslim Thought and Societies Qatar Faculty of Islamic Studies Hamad Bin Khalifa University

Mencari Asal-Usul Maulid Nabi Muhammad SAW

thumb

Ilustrasi (Inet)

Oleh : Alwi Alatas

1. SHALAHUDDIN AL-AYYUBI DAN MAULID NABI

SECARA bahasa maulid Nabi bermakna waktu kelahiran. atau tempat kelahiran, Nabi (shallallahu alaihi wasallam). Secara istilah, maulid Nabi biasanya dimaknai sebagai perayaan yang berkaitan dengan waktu kelahiran Nabi Muhammad setiap tanggal 12 Rabiul Awwal. Perayaan maulid telah menjadi bagian dari kehidupan keagamaan masyarakat Muslim di dunia sekarang ini. Bahkan tanggal 12 Rabiul Awwal merupakan hari libur di banyak negeri Muslim. Kapankan sebenarnya perayaan maulid pertama kali muncul dalam sejarah Islam?

Pada masa-masa sebelum ini kita sering mendengar bahwa peringatan maulid muncul pertama kali pada zaman Shalahuddin al-Ayyubi (w. 1193).  Shalahuddin dikatakan mengadakan kompetisi atau anjuran untuk melaksanakan perayaan maulid demi membangkitkan semangat jihad kaum Muslimin pada masa itu dalam menghadapi tentara salib. Namun sejauh yang penulis ketahui, kisah ini sama sekali tidak memiliki rujukan.

Tidak ada satu pun penulis sejarah Shalahuddin dan Perang Salib yang hidup sejaman dengannya yang menyebutkan tentang hal ini. Jika Shalahuddin memang menjadikan maulid sebagai bagian dari
perjuangannya, tentu buku-buku sejarah pada Secara bahasa maulid Nabi bermakna waktu kelahiran. atau tempat kelahiran, Nabi (shallallahu alaihi wasallam). Secara istilah, maulid Nabi biasanya dimaknai sebagai perayaan yang berkaitan dengan waktu kelahiran Nabi Muhammad setiap tanggal 12 Rabiul Awwal. Perayaan maulid telah menjadi bagian dari kehidupan masa itu akan menyebutkan tentang hal itu walaupun sedikit.

Syair Salib

Selain pendapat di atas, ada juga sebagian kaum Muslimin yang menentang maulid, begitu pula beberapa sejarawan Barat, yang mengatakan bahwa perayaan ini bersumber dari Dinasti Fatimiyah (909-1171) yang berpaham Syiah Ismailiyah.

Dinasti inilah yang pertama kali mengadakan perayaan maulid Nabi, serta maulid Ali dan beberapa maulid keluarga Nabi lainnya. Bahkan ada artikel yang begitu bersemangat mengkritik maulid menyebutkan bahwa maulid “berasal dari kaum bathiniyyah (maksudnya Dinasti Fatimiyah, pen.) yang memiliki dasar-dasar akidah Majusi dan Yahudi yang menghidupkan syiar-syiar kaum salib.”

Terlepas dari perbedaan dan permusuhannya dengan Ahlu Sunnah, Dinasti Fatimiyah pada masa itu juga berperang menghadapi kaum salib. Jadi, menyebut dinasti Fatimiyah atau perayaan maulid sebagai “menghidupkan syiar-syiar kaum Salib” merupakan tuduhan yang terlalu jauh dan mengada-ada.

Beberapa buku sejarah memang menyebutkan bahwa Dinasti Fatimiyah mengadakan perayaan maulid Nabi. Perlu diketahui sebelumnya bahwa pemerintahan Fatimiyah berdiri pada tahun 909 M di Tunisia, memindahkan pusat kekuasaannya ke Kairo, Mesir, enam dekade kemudian, dan runtuh pada tahun 1171, dua tahun setelah masuknya Shalahuddin ke Mesir. Adanya perayaan maulid oleh Dinasti Fatimiyah disebutkan antara lain oleh dua orang sejarawan dan ilmuwan pada masa Dinasti Mamluk, beberapa abad setelah masa hidup Shalahuddin dan terjadinya Perang Salib. Kedua sejarawan yang sama-sama memiliki nama Ahmad bin Ali itu dalah al-Qalqashandi (w. 1418) dan al-Makrizi (w. 1442). Menurut Nico Kaptein dalam disertasinya yang dibukukan, Muhammad’s Birthday Festival (1193: 7-19), kedua sejarawan ini merujuk pada tulisan para
sejarawan sebelumnya yang mengalami jaman Fatimiyah, terutama Ibn Ma’mun (w. 1192) dan Ibn al-Tuwayr (w. 1220).

Al-Qalqashandi menyebutkan tentang perayaan maulid Nabi oleh Dinasti Fatimiyah secara ringkas dalam kitab Subh al-A’sya jilid III (1914: 502-3). Perayaan itu dilakukan pada tanggal 12 Rabiul Awwal, dipimpin oleh Khalifah Fatimiyah dan dihadiri oleh para pembesar kerajaan seperti Qadhi al-Qudhat, Da’i al-Du’at, dan para pembesar kota Kairo dan Mesir. Hidangan disediakan untuk yang hadir dan jalur ke istana ditutup dari orang-orang yang lewat di dekat tempat itu. Setelah semua berkumpul, orang kepercayaan khalifah memberi tanda dan acara pun dimulai dengan khutbah dari penceramah – dalam sumber lain disebutkan bahwa acara dibuka dengan pembacaan al-Qur’an dan diikuti dengan khutbah oleh tiga penceramah berturut-turut (Kaptein, 1993: 13-5). Setelah khutbah selesai, acara diakhiri dan orang-orang pun kembali ke  rumah masing-masing. Hal yang sama juga berlaku pada perayaan maulid Ali bin Abi Thalib ra, maulid Fatimah, maulid Hasan dan Hussain ra, dan maulid khalifah sendiri.

Sebagaimana disebutkan dalam Encyclopaedia of Islam jilid 6 (1991: 895) dan juga buku Kaptein (1993: 9-10), al-Maqrizi (saya tidak merujuk langsung dari kitab beliau) juga menjelaskan hal yang kurang lebih sama. Salah satu perayaan maulid itu diadakan pada tahun 517 H (1123 M). Sebelum itu tentunya sudah ada perayaan maulid juga, tetapi buku-buku sejarah tidak menyebutkan sejak tahun berapa perayaan ini mulai dilakukan.

Kaptein (1993: 28-9) berpendapat perayaan maulid yang berlaku di dunia Sunni merupakan kelanjutan dari perayaan maulid Fatimiyah ini. Ia juga percaya bahwa saat terjadi pergantian kekuasaan dari Dinasti Fatimiyah kepada Shalahuddin, perayaan maulid Nabi tetap berlangsung di tengah masyarakat Mesir. Hanya maulid selain maulid Nabi yang dihapuskan oleh pemerintahan Shalahuddin, sementara maulid Nabi tetap diizinkan berjalan. Namun pendapat Kaptein ini lebih bersifat dugaan dan penafsiran atas teks yang tidak sepenuhnya bisa dijadikan pegangan.

Ada beberapa alasan untuk memilih pendapat yang sebaliknya.

Pertama, sebagaimana digambarkan dalam sumber-sumber yang ada, maulid Fatimiyah ini merupakan maulid yang bersifat elit. Ia dilaksanakan oleh istana dan dihadiri oleh pembesar kerajaan dan tokoh-tokoh masyarakat. Tidak ada informasi yang menyebutkan bahwa perayaan ini bersifat populer dan dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat Mesir ketika itu, baik Sunni maupun Syiah. Perayaan maulid Fatimiyah ini sempat dihentikan oleh wazir Fatimiyah yang bernama al-Afdal yang memerintah pada tahun 1094-1122. Belakangan khalifah mengupayakannya lagi atas usulan beberapa pembesar di sekitarnya (Kaptein, 1993: 24-5). Kisah tentang konflik ini hanya berkisar di sekitar istana. Tidak ada informasi tentang apa yang terjadi di masyarakat Mesir terkait pelarangan tersebut.

Kedua, sejauh ini kita juga tidak menemukan sumber-sumber sejarah yang ada menceritakan tradisi perayaan maulid di tengah masyarakat Syiah Ismailiyah pada masa itu. Masyarakat Syiah ketika itu bukan hanya tinggal di Mesir, tetapi juga di Suriah, Irak, dan Yaman (lihat misalnya The Chronicle of Ibn al-Athir/ Tarikh Ibn al-Athir).

Ketiga, dalam perjalanan hajinya ke Makkah melalui Mesir pada tahun 1183, Ibn Jubair (2001: 31-68) sama sekali tidak menyebutkan adanya kebiasaan maulid di Mesir.

Saat itu sudah dua belas tahun sejak runtuhnya Dinasti Fatimiyah dan Mesir telah diperintah oleh Shalahuddin. Pada bulan Rabiul Awwal tahun itu, Ibn Jubair (w. 1217) masih belum menyeberang dari Mesir menuju Jeddah. Jika kebiasaan maulid di Mesir merupakan kebiasaan yang populer di tengah masyarakat sejak masa Fatimiyah, dan kemudian bersambung pada masa Shalahuddin, rasanya kecil kemungkinan hal ini akan terlewat dari pengamatan Ibn Jubair untuk kemudian ia tuangkan di dalam buku perjalanannya (The Travels of Ibn Jubayr/ Rihla). Sementara, Ibn Jubair jelas-jelas menyebutkan adanya peringatan maulid di Makkah sebagaimana akan disebutkan nanti.

* Penulis adalah kandidat doktor bidang sejarah di IIUM Malaysia

http://www.hidayatullah.com/