Posts from the ‘KISAH NABI, RASUL & SAHABAT’ Category

Profil Generasi Qur’ani

Generasi Qur'ani _ilustrasijpg

Generasi Qur’ani (Ilustrasi)

Ada fenomena yang unik dalam sejarah Islam yang patut dijadikan rujukan, tolak ukur keberhasilan dakwah di mana saja dan kapan saja, bagi yang terjun di medan dakwah. Gejala itu tidak lain adalah dakwah ini mampu men-setting generasi, yakni generasi Sahabat radhiyallahu ‘anhum, generasi terbaik dalam sepanjang sejarah Islam dan kemanusiaan.

Setelah itu boleh dikata, tidak pernah terulang lagi munculnya generasi sekualitas itu, sekalipun ada beberapa figur yang muncul (mujaddid), tetapi belum pernah lahir dalam bentuk society (160.000 orang, peny.), selain dari generasi Sahabat. Gejala ini menimbulkan pertanyaan di kalangan yang masih bersedia memikirkan kelangsungan dakwah Islam. Apakah penyebab dan rahasia keberhasilan mereka?
Kemurnian dan keutuhan sumber asasi (ashalatu al-mashdar)
Al-Qur’an yang dikaji oleh para sahabat Rasul shalla-llahu ‘alaihi wa sallam dan yang menjadi asas perjuangan mereka dalam kehidupan, adalah Al-Qur’an di tangan kita sekarang. Dan itu yang akan dibaca oleh generasi sesudah kita nanti sampai akhir zaman. Al-Qur’an yang tetap asli, utuh, dan murni. Demikin pula hadits Rasulullah, yang bagi sahabat dahulu dijadikan sebagai pedoman kerja, semuanya masih tersimpan rapi dan mudah dipahami. Kecuali pribadi Rasulullah yang telah meninggalkan kita. Lalu apakah ini yang menjadi penyebab? Jawabannya bukan.
Seandainya keberadaan Rasulullah yang menjadi rahasianya, niscaya Allah tidak akan menjadikan dakwah Islam ini kaffatan linnas wa rahmatan lil ‘alamin. Dan Islam bukan risalah terakhir diturunkan oleh Allah. Akan tetapi Islam tidak demikian. Allah menjamin keutuhan dan kemurnian Al-Qur’an, sekalipun Rasulullah telah wafat. Dakwah ini akan berlangsung secara kontinyu, sekalipun beliau tiada. Bahkan, beliau telah sukses menyampaikan risalah ini dengan sempurna sampai akhir zaman.
Kehilangan pribadi Rasulullah bukan menjadi faktor utama dalam dakwah ini. Sayyid Quthb, dalam bukunya Ma’alim fii ath-Thariq mencoba mengamati profil masyarakat sahabat. Dari hasil pengamatannya, beliau mengemukakan tiga faktor yang menjadi karakteristik generasi Qur’ani yang pertama itu.
Pertama, Alal-Qur’an, sumber utama (al-Qur’an manba-un wahiid)
Generasi sahabat mempersepsikan Al-Qur’an sebagai satu-satunya sumber dan landasan kehidupan. Adapun hadits adalah tafsir operasional dari sumber utama itu. Ketika Aisyah radhiyallahu ‘anha ditanya tentang perilaku Rasulullah, dia menjawab, “Budi pekertinya adalah Al-Qur’an”.
Sebenarnya ketika itu bukan tidak ada hambatan peradaban dalam menegakkan semangat beragama. Peradaban Romawi kala itu sudah mencapai tingkat kemajuannya di bidang budaya, ilmu, dan hukum, yang sampai sekarang masih dianut oleh beberapa negara sebagai sistem hukum. Demikian pula kebudayaan Yunani yang terkenal dengan logika dan filsafatnya. Kebudayaan Persia, India, dan China tercatat sebagai kebudayaan yang besar waktu itu. Dua peradaban Romawi dan Persia mendominasi Jazirah Arab dari utara dan selatan.
Tetapi, fokus generasi sahabat kepada Al-Qur’an sebagai satu-satunya sumber dan acuan, mempunyai sasaran khusus. Rasulullah ingin mencetak generasi yang spesifik, di mana hati, akal, wawasan, ideologi, dan orientasi (ittijah) mereka terpelihara orisinilitasnya dari berbagai pengaruh luar yang tidak sesuai dengan manhaj Al-Qur’an.
Generasi inilah yang dicatat sejarah sebagai generasi yang unik, sebab generasi berikutnya telah mengalami pembauran sistem dan telah terkontaminasi berbagai polutan dalam memahami sumber utama. Seperti filsafat dan logika Yunani yang banyak mencemari pemikiran pemikir Islam, israiliyat Yahudi dan teologi Nasrani, serta berbagai kebudayaan dan peradaban asing, yang turut mencampuri penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an, sehingga mengurangi kadar kejernihan pemikiran generasi berikutnya dalam memahami Al-Qur’an.
Kedua, Metode metode penerimaan al-Qur’an (manhaj at-talaqqi)
Antara generasi sahabat dan generasi berikutnya cenderung mengalami perbedaan dalam aspek pola penerimaan Al-Qur’an. Generasi awal ketika membaca Al-Qur’an tidak bertujuan membongkar rahasia alam, sains, pengayaan materi-materi ilmiah. Akan tetapi menerima Al-Qur’an seperti menerima perintah dari Allah untuk diterapkan secara langsung dalam kehidupan pribadi dan masyarakat. Persis seperti seorang prajurit menerima perintah dari komandannya untuk dilaksanakan secara spontan. Sahabat mencukupkan sepuluh ayat untuk dihafal dan diamalkan muatannya.
Metode penerimaan yang aplikatif – justru menyingkap ufuk ilmu dan keindahan, pesan-pesan inti – yang tidak terungkap sekiranya mereka berinteraksi dengan menggunakan metode ilmiah. Dengan metode pertama dapat mempraktiskan kerja, meringankan beban, menterjemahkan teori-teori ilmiah yang mandeg ke dalam kerja nyata yang dinamis.
Sesungguhnya Al-Qur’an tidak menerima metode apapun selain dari metode penerimaan yang praktis dan aplikatif. Karena Al-Qur’an bukan buku seni, ilmu, sejarah, sekalipun semuanya terkandung dalam Al-Qur’an.
Al-Qur’an diturunkan sebagai pedoman hidup (minhajul hayah). Karena itu Allah menurunkannya secara bertahap.
وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيْلاً (الإسراء : 106)
“Dan Al-Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS al-Isra’ :106).
Allah menurunkan Al-Qur’an tidak sekaligus. Tetapi berdasarkan kebutuhan-kebutuhan dan perkembangan yang kontinyu dalam ideologi dan konsepsi, juga berdasarkan problem alamiah yang dihadapi umat Islam dalam kehidupannya.
Terakadng ayat turun menerangkan peristiwa tertentu dan kondisi khusus, serta menggariskan peranan yang harus dimainkan mereka dalam menghadapi kejadian itu, dan memperbaiki kesalahan mereka, dengan begitu terasa keterikatan jiwa dengan Allah sebagai Pencipta. Dari metode penerimaan yang praktis ini para sahabat muncul sebagai generasi yang terbaik.
Ketiga, Isolasi  isolasi  (mufashalah) dari persepsi lama
Apabila seorang telah mengikrarkan dirinya sebagai muslim berarti ia telah menghapus segala masa lalunya ketika jahiliyah, dan sekarang akan memulai hidup baru yang sama sekali terpisah mutlak dari hidupnya pertama pada masa jahiliyah; merasakan hidup yang lalu itu penuh noda dan kotoran yang hanya bisa terhapus dengan Islam.
Dengan sikap pasrah seperti ini, ia menerima petunjuk Islam yang baru. Maka setiap kali tidak mampu menunaikan kewajiban yang dibebaankan Islam kepadanya, ketika itu ia merasakan bersalah dan berdosa. Akhirnya, jalan membersihkan dirinya ialah dengan kembali kepada petunjuk Al-Qur’an. Isolasi perasaan secara mutlak ini antara masa lalu yang jahiliyah dan masa sekarang yang Islami, jelas terlihat dalam hubungan sosial dengan masyarakat jahiliyah yang ada di sekitarnya dengan melepaskan samasekali hubungannya dengan lingkungan jahiliyah dan menyatu dengan lingkungan yang Islami, sekalipun hubungan dagang dan harian masih terjadi. Yang jelas, perubahan total terjadi dalam lingkungan, kebiasaan, adat, wawasan, ideologi, serta pergaulan yang baru telah bertolak dari tauhid. Ketiga karakteristik inilah yang tidak dimiliki oleh generasi berikutnya, sehingga tidak bertahannya nilai-nilai ke-Islam-an yang utuh dalam persepsi dan mata hati mereka.
Untuk mengembalikan ma’nawiyah (spirit) ber-Qur’an ini, perlu kita membuka ruang yang luas dalam kepribadian kita dengan bekal khusus. Yaitu pemberdayaan ruhani kita secara lebih intensif (tarbiyah ruhiyah), agar Qur’an bisa berinteraksi lebih kuat dan mendalam dalam diri kita. Karena Al-Qur’an berasal dari Dzat yang Maha Suci, dikirimkan melalui makhluk yang suci, dan diberikan kepada hamba yang dipilih-Nya (ishthafaahu), Rasulullah shalla-llahu ‘alaihi wa sallam
Wallahu ‘alam bish-shwab.

Shahabat Pilihan : Hudzaifah bin Yaman Pemegang Rahasia Rasulullah SAW

kunci-waktu

Nasihat Nabi yang Agung

Hudzaifah radhiallahu ‘anhu selalu berjalan di atas sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamdalam segala hal. Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya biasa datang kepada Nabi untuk bertanya tentang kebaikan. Akan tetapi, Hudzaifah radhiallahu ‘anhu datang kepada Nabi untuk bertanya tentang kejahatan karena khawatir jatuh ke dalamnya.

Hudzaifah telah diberikan kecerdasan dan kebijaksanaan yang membuatnya mengetahui bahwa kebaikan-kebaikan di dunia ini sudah sangat jelas bagi orang yang ingin mengerjakannya. Namun keburukan, masih kabur dan sering tersembunyi. Oleh karena itu, seseorang yang cerdas mestilah benar-benar mempelajari apa itu keburukan beserta tokoh-tkohnya dan apa itu kemunafikan beserta tokoh-tokohnya.

Suatu hari Hudzaifah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kita dulu berada dalam kejahiliahan dan kejahatan, lalu Allah mendatangkan kepada kita kebaikan ini (maksudnya Islam), apakah setelah kebaikan ini akan ada keburukan?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya.”

“Lalu apakah setelah keburukan itu akan datang lagi kebaikan?” tanya Hudzaifah kembali.

Ya, dan di dalamnya ada kerusakan yang tersembunyi.

“Apa kerusakan yang tersembunyi itu wahai Rasulullah?”

Orang-orang yang menunjuki tanpa petunjuk yang benar, ada hal yang engkau terima dari mereka dan ada pula yang engkau ingkari.”

“Apakah setelah kebaikan itu ada lagi keburukan?”

Ya orang-orang yang berdakwah di pintu-pintu Jahannam, siapa yang menyambut seruan mereka akan mereka lemparkan ke dalamnya.”

“Ya Rasulullah, terangkanlah mereka kepada kami.”

Mereka juga dari bangsa kita dan berbicara memakai bahasa kita.”

“Apa yang engkau wasiatkan kepadaku andaikan aku mendapat masa itu?”

Berpegang teguh dengan jamaah muslimin dan pemimpin mereka.”

“Andaikan mereka tidak punya jamaah dan pemimpin?”

Jauhi semua kelompok itu walaupun untuk itu engkau akan berpegangan pada akar pohon sampai kematian menjemput dan engkau tetap dalam keadaan demikian.”

Oleh karena itu, Hudzaifah menjalani kehidupan dengan sangat menyadari dan peka terhadap berbagai fitnah dan celah-celah keburukan sehingga ia bisa menghindarinya dan juga memperingatkan manusia agar tidak terjebak ke dalamnya. Ia pernah berkata, “Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling tahu tentang seluruh fitnah yang akan terjadi saat ini sampai hari Kiamat nanti.”

Orang Kepercayaan untuk Menjaga Rahasia Rasulullah

Masalah yang paling besar dihadapi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin di Madinah al-Munawwarah adalah munculnya orang-orang munafik dan antek-anteknya dengan berbagai tipu daya, isu-isu bohong, dan konspirasi yang mereka lancarkan terhadap Nabi dan para sahabatnya.

Pada perang Tabuk, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali bersama sahabatnya ke Madinah, sekelompok kaum munafik bermaksud untuk membunuh Nabi saw dengan melemparkan Nabi dari atas bukit.

Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan rencana jahat orang-orang munafik itu kepada Nabi-Nya. Akhirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih Hudzifah dari sekian sahabatnya untuk menjadi orang kepercayaan memegang rahasia karena kepercayaan Nabi kepadanya dan posisinya yang tinggi di mata Nabi. Nabi memberitahukan kepadanya nama-nama semua orang munafik dan berbagai konspirasi yang mereka rencanakan.

Hudzaifah bertanya kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, kenapa tidak engkau perintahkan saja untuk membunuh mereka?”

Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

Aku tidak ingin orang-orang berkata bahwa Muhammad membunuh sahabat-sahabatnya.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta Hudzaifah bin Yaman untuk selalu mengikuti gerakan orang-orang munafik itu dan memonitor segala kegiatan mereka untuk mengantisipasi bahaya mereka terhadap Islam dan kaum muslimin.

Di samping sifat-sifat mulia yang dimilikinya, Hudzaifah juga memiliki ingatan yang sangat kuat. Ia pernah berkata, “Aku pernah melihat sesuatu yang sebelumnya pernah aku lupakan, tapi aku segera mengenalnya sebagaimana halnya seseorang mengenal sahabatnya apabila sahabatnya itu sempat menghilang lalu ketika ia lihat ia segera mengenalnya.”

Sejak hari itu Hudzaifah dijuluki sebagai orang kepercayaan rahasia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ketika Umar ibnul Khaththab mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan secara rahasia nama orang-orang munafik kepada Hudzaifah ibnul Yamaan –suatu rahasia yang tidak diberitahukan kepada sahabat yang lain selain Hudzaifah– ia segera menemui Hudzaifah. Sambil berharap, ia berkata, “Aku bersumpah dengan nama Allah, mohon engkau jawab, apakah aku termasuk orang munafik?”

Karena kasihan melihat Umar ibnul Khaththab, Hudzaifah menjawab, “Tidak, tapi aku tidak bisa menjamin seorang pun selainmu.” Hal itu ia katakan agar ia tidak menyebarkan rahasia yang telah diamanahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya.

Ketika Umar ibnul Khaththab menjadi khalifah –setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan khalifah pertama, Abu Bakar ash-Shiddiq, wafat– ia bertanya kepada Hudzaifah, “Apakah ada di antara pejabat-pejabatku di berbagai daerah yang termasuk orang munafik?”

Hudzaifah menjawab, “Ya, ada satu.”

“Siapa dia?” tanya Umar.

“Tidak akan aku sebutkan.”

Tapi tidak berapa lama setelah itu Umar ibnul Khaththab mengetahui siapa orang yang dimaksud sehingga ia segera memecatnya dari jabatannya.

Apabila ada salah seorang kaum muslimin yang wafat, Umar ibnul Khaththab segera bertanya tentang Hudzaifah. Apabila ia tahu Hudzaifah ikut menyalatkannya, maka ia juga akan menyalatkannya. Tapi apabila Hudzaifah tidak ikut menyalatkannya maka Umar juga tidak akan ikut menyalatkannya.

Sumber: Pendekar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ksatria Islam yang Gagah Berani, Asyraf Muhammad al-Wahsy, Gema Insani Press, 2011

Aljazeera meluncurkan Film Dokumenter tentang Rasulullah saw : “Muhammad, the Messenger of God, Peace be upon you”

Di saat dunia Islam marah dengan munculnya film Inocence of Muslim yang mengandung unsur penghinaan terhadap Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, Aljazeera meluncurkan film dokumenter mengenai Rasulullah serta benda-benda yang beliau tinggalkan yang sampai saat ini masih terjaga di Mesir dan Turki dengan tajuk “Assalamualaika Ya Rasulallah”, demikian dikabarkan dalam akun Facebook resmi milik Dar Al Ifta’ Al Mishriyah (18/9/2012)

Dalam film yang disutradai oleh Majdi Al Imam ini Mufti Mesir Dr. Ali Jum’ah memiliki peran yang cukup besar dimana beliau sendiri menjadi narator film tersebut. Lembaga Perwakafan Mesir serta pihak Museum Turki juga memiliki andil besar dalam pembuatan film ini.

Film yang berdurasi 23 menit itu ditayangkan dalam tiga bahasa, bahasa Inggris (Muhammad, The Messenger Of God, Peace Be Upon You), Perancis (Muhammad Paix Soit Sur Toi, ô Messager d’Allah) serta Arab (Assalamualaika Ya Rasulallah) dan sudah bisa disaksikan di situs You Tube.

Dalam akhir film, sebuah pesan disampaikan, ”Engkau tidak akan menjadi mukmin, hingga Tuan ini (Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam), lebih engkau cintai dari dirimu sendiri, kedua orang tuamu, hartamu hingga seluruh manusia”

hidayatullah.com

Cermin Kedermawanan Abu Bakar Ash-shidiq

Oleh: Prof Nanat Fatah Nasir

Suatu hari, Khalifah Abu Bakar hendak berangkat berdagang. Di tengah jalan, ia bertemu dengan Umar bin Khathab. “Mau berangkat ke mana engkau, wahai Abu Bakar?” tanya Umar. “Seperti biasa, aku mau berdagang ke pasar,” jawab sang khalifah.

Umar kaget mendengar jawaban itu, lalu berkata, “Engkau sekarang sudah menjadi khalifah, karena itu berhentilah berdagang dan konsentrasilah mengurus kekhalifahan.” Abu Bakar lalu bertanya, “Jika tak berdagang, bagaimana aku harus menafkahi anak dan istriku?” Lalu Umar mengajak Abu Bakar untuk menemui Abu Ubaidah. Kemudian, ditetapkanlah oleh Abu Ubaidah gaji untuk khalifah Abu Bakar yang diambil dari baitul mal.

Pada suatu hari, istri Abu Bakar meminta uang untuk membeli manisan. “Wahai istriku, aku tak punya uang,” kata Abu Bakar. Istrinya lalu mengusulkan untuk menyisihkan uang gaji dari baitul mal untuk membeli manisan. Abu Bakar pun menyetujuinya.

Setelah beberapa lama, uang untuk membeli manisan pun terkumpul. “Wahai Abu Bakar belikan manisan dan ini uangnya,” ungkap sang istri memohon. Betapa kagetnya Abu Bakar melihat uang yang disisihkan istrinya untuk membeli manisan. “Wahai istriku, uang ini ternyata cukup banyak. Aku akan serahkan uang ini ke baitul mal, dan mulai besok kita usulkan agar gaji khalifah supaya dikurangi sebesar jumlah uang manisan yang dikumpulkan setiap hari, karena kita telah menerima gaji melebihi kecukupan sehari-hari,” tutur Abu Bakar.

Sebelum wafat, Abu Bakar berwasiat kepada putrinya Aisyah. “Kembalikanlah barang-barang keperluanku yang telah diterima dari baitul mal kepada khalifah penggantiku. Sebenarnya aku tidak mau menerima gaji dari baitul mal, tetapi karena Umar memaksa aku supaya berhenti berdagang dan berkonsentrasi mengurus kekhalifahan,” ujarnya berwasiat.

Abu Bakar juga meminta agar kebun yang dimilikinya diserahkan kepada khalifah penggantinya. “Itu sebagai pengganti uang yang telah aku terima dari baitul mal,” kata Abu Bakar. Setelah ayahnya wafat, Aisyah menyuruh orang untuk menyampaikan wasiat ayahnya kepada Umar. Umar pun berkata, “Semoga Allah SWT merahmati ayahmu.”

Kisah yang tertulis kitab fadhailul ‘amal itu sarat akan makna dan pesan. Kita dapat mengambil pelajaran dari sikap dan keteladanan Abu Bakar yang tidak rakus terhadap harta kekayaan. Meski ia adalah seorang khalifah, namun tetap memilih hidup sederhana demi menjaga amanah.

Inilah sikap keteladanan dari seorang pemimpin sejati yang perlu ditiru oleh para pemimpin bangsa kita. Perilaku pemimpin, memiliki pengaruh yang besar bagi kehidupan masyarakat. Terlebih, bangsa Indonesia memiliki karakteristik masyarakat yang paternalistik yang rakyatnya berorientasi ke atas.

Apa yang dilakukan pemimpin akan ditiru oleh rakyatnya, baik perilaku yang baik maupun yang buruk. Maka hendaknya para pemimpin memberi teladan untuk hidup secara wajar agar tidak menimbulkan kecemburuan sosial. Wallahu ‘alam.

republika.co.id

4 Sifat Wajib Bagi Nabi: Shiddiq, Tabligh, Amanah, dan Fathonah

لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌۭ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلْيَوْمَ ٱلْءَاخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرًۭا

“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” [Al Ahzab/33: 21]

Nabi Muhammad memiliki akhlaq dan sifat-sifat yang sangat mulia. Oleh karena itu hendaklah kita mempelajari sifat-sifat Nabi seperti Shiddiq, Amanah, Fathonah, dan Tabligh. Memang banyak sifat-sifat baik Nabi lainnya seperti sabar, rendah hati, lemah-lembut, dsb. Namun di sini kita fokus pada sifat yang 4 di atas. Mudah-mudahan dengan memahami sifat-sifat itu, selain kita bisa terhindar dari mengikuti orang-orang yang mengaku sebagai Nabi, kita juga bisa meniru sifat-sifat Nabi sehingga kita juga jadi orang yang mulia.

Shiddiq

Shiddiq artinya benar. Bukan hanya perkataannya yang benar, tapi juga perbuatannya juga benar. Sejalan dengan ucapannya. Beda sekali dengan pemimpin sekarang yang kebanyakan hanya kata-katanya yang manis, namun perbuatannya berbeda dengan ucapannya.

Mustahil Nabi itu bersifat pembohong/kizzib, dusta, dan sebagainya.

وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلْهَوَىٰٓ

Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya.

إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْىٌۭ يُوحَىٰ

Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya” [An Najm/53: 4-5]

Tabligh

Tabligh artinya menyampaikan. Segala firman Allah yang ditujukan oleh manusia, disampaikan oleh Nabi. Tidak ada yang disembunyikan meski itu menyinggung Nabi.

لِّيَعْلَمَ أَن قَدْ أَبْلَغُوا۟ رِسَٰلَٰتِ رَبِّهِمْ وَأَحَاطَ بِمَا لَدَيْهِمْ وَأَحْصَىٰ كُلَّ شَىْءٍ عَدَدًۢا

“Supaya Dia mengetahui, bahwa sesungguhnya rasul-rasul itu telah menyampaikan risalah-risalah Tuhannya, sedang (sebenarnya) ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu persatu.” [Al Jin/72: 28]

“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya” [‘Abasa/80: 1-2]

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa firman Allah S.80:1 turun berkenaan dengan Ibnu Ummi Maktum yang buta yang datang kepada Rasulullah saw. sambil berkata: “Berilah petunjuk kepadaku ya Rasulullah.” Pada waktu itu Rasulullah saw. sedang menghadapi para pembesar kaum musyrikin Quraisy, sehingga Rasulullah berpaling daripadanya dan tetap mengahadapi pembesar-pembesar Quraisy. Ummi Maktum berkata: “Apakah yang saya katakan ini mengganggu tuan?” Rasulullah menjawab: “Tidak.” Ayat ini (S.80:1-10) turun sebagai teguran atas perbuatan Rasulullah saw.

(Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan al-Hakim yang bersumber dari ‘Aisyah. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Ya’la yang bersumber dari Anas.)

Sebetulnya apa yang dilakukan Nabi itu menurut standar umum adalah hal yang wajar. Saat sedang berbicara di depan umum atau dengan seseorang, tentu kita tidak suka diinterupsi oleh orang lain. Namun untuk standar Nabi, itu tidak cukup. Oleh karena itulah Allah menegurnya.

Sebagai seorang yang tabligh, meski ayat itu menyindirnya, Nabi Muhammad tetap menyampaikannya kepada kita. Itulah sifat seorang Nabi.

Tidak mungkin Nabi itu Kitman atau menyembunyikan wahyu.

Amanah

Amanah artinya benar-benar bisa dipercaya. Jika satu urusan diserahkan kepadanya, niscaya orang percaya bahwa urusan itu akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itulah Nabi Muhammad SAW dijuluki oleh penduduk Mekkah dengan gelar “Al Amin” yang artinya terpercaya jauh sebelum beliau diangkat jadi Nabi. Apa pun yang beliau ucapkan, penduduk Mekkah mempercayainya karena beliau bukanlah orang yang pembohong.

“Aku menyampaikan amanat-amanat Tuhanku kepadamu dan aku hanyalah pemberi nasehat yang terpercaya bagimu.” [Al A’raaf/7: 68]

Mustahil Nabi itu khianat terhadap orang yang memberinya amanah.

Ketika Nabi Muhammad SAW ditawari kerajaan, harta, wanita oleh kaum Quraisy agar beliau meninggalkan tugas ilahinya menyiarkan agama Islam, beliau menjawab:

”Demi Allah…wahai paman, seandainya mereka dapat meletakkan matahari di tangan kanan ku dan bulan di tangan kiri ku agar aku meninggalkan tugas suci ku, maka aku tidak akan meninggalkannya sampai Allah memenangkan (Islam) atau aku hancur karena-Nya”……

Meski kaum kafir Quraisy mengancam membunuh Nabi, namun Nabi tidak gentar dan tetap menjalankan amanah yang dia terima.

Seorang Muslim harusnya bersikap amanah seperti Nabi.

Fathonah

Fathonah artinya Cerdas. Mustahil Nabi itu bodoh atau jahlun. Dalam menyampaikan 6.236 ayat Al Qur’an kemudian menjelaskannya dalam puluhan ribu hadits membutuhkan kecerdasan yang luar biasa.

Nabi harus mampu menjelaskan firman-firman Allah kepada kaumnya sehingga mereka mau masuk ke dalam Islam. Nabi juga harus mampu berdebat dengan orang-orang kafir dengan cara yang sebaik-baiknya.

Apalagi Nabi mampu mengatur ummatnya sehingga dari bangsa Arab yang bodoh dan terpecah-belah serta saling perang antar suku, menjadi satu bangsa yang berbudaya dan berpengetahuan dalam 1 negara yang besar yang dalam 100 tahun melebihi luas Eropa. Negara tersebut membentang dari Spanyol dan Portugis di Barat hingga India Barat.

Itu semua membutuhkan kecerdasan yang luar biasa.

Bahkan Michael H Hart yang sebetulnya membenci Muslim pun menempatkan Nabi Muhammad sebagai tokoh nomor 1 mengungguli Yesus dan tokoh-tokoh dunia lainnya karena prestasi Nabi Muhammad yang luar biasa di bukunya yang berjudul “The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History“. Bukan hanya dari segi agama, tapi juga dari segi dunia.

Sumber:
http://media-islam.or.id

Latar Belakang Terjadinya Isra’ dan Mi’raj

Oleh: Musyafa Ahmad Rahim, Lc


Ilustrasi

Tersebutlah dalam sirah Nabawiyah bahwa Rasulullah SAW ditinggal mati oleh dua orang; Khadijah -radhiyallahu ‘anha- dan Abu Thalib. Padahal, selama ini dua orang tersebut telah berperan besar bagi dakwah Islamiyah.

1. Ummul Mukminin Khadijah -radhiyallahu ‘anha- , sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits, adalah:

– Wanita dan bahkan manusia pertama yang beriman kepada Rasulullah SAW.

– Seorang mukmin yang mengorbankan seluruh hartanya untuk dakwah, dan

– Seorang istri, yang darinya Rasulullah SAW mempunyai anak (keturunan).

2. Abu Thalib, meskipun belum beriman, namun, mengingat posisinya sebagai paman Rasulullah SAW, ia telah membela Rasulullah SAW dengan sangat luar biasa.

Namun, di tahun itu, keduanya meninggal dunia, maka beliau SAW sangat bersedih, dan karenanya, tahun itu disebut ‘amul huzni (tahun kesedihan). Kesedihan itu semakin lengkap, manakala Rasulullah SAW mencoba membuka jalur dakwah baru, Thaif. Siapa tahu, Thaif yang sejuk, dingin, hijau, mempunyai pengaruh besar terhadap warganya, sehingga sikap mereka barangkali sejuk dan segar dalam menerima dakwah beliau SAW. Tidak seperti Mekah (saat itu) yang keras, semuanya tertutup batu, sehingga “membatu” sikap mereka terhadap dakwah. Namun, bukannya kedatangan Rasulullah SAW di Thaif disambut, tapi malah disambit.

Singkat cerita, dalam perjalanan pulang ke Mekah, terjadi tiga peristiwa:

1. Rasulullah SAW bertemu dengan seorang bernama Adas, dari Nainuwa, kampung halaman nabi Yunus AS. Dalam pertemuan itu, Adas menyatakan masuk Islam. Hal ini seakan mengatakan kepada Rasulullah SAW: “Jangan bersedih wahai Muhammad, kalau orang Mekah, orang Arab tidak mau beriman, jangan bersedih, nih buktinya, orang Nainuwa mau beriman”.

2. Rasulullah SAW bertemu dengan sekelompok jin, dan saat dibacakan Al-Qur’an kepada mereka, mereka menyatakan beriman. Hal ini seakan memberi message kepada Rasulullah SAW: “Seandainya pun seluruh manusia tidak mau beriman, engkau pun tidak peru bersedih wahai Muhammad SAW, sebab, bangsa jin telah membuktikan bahwa mereka siap beriman kepadamu”.

3. Peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Hal ini seakan berkata kepada Rasulullah SAW: “Bahkan, seandainya pun seluruh penghuni bumi, baik manusia maupun jin, tidak mau beriman kepadamu wahai Muhammad, engkau pun tidak perlu bersedih, sebab, buktinya, masyarakat langit semuanya gegap gempita menyambut kedatanganmu”.

Dari sudut pandang ini, peristiwa Isra’ dan Mi’raj merupakan tasliyah (pelipur lara) yang sangat luar biasa bagi Rasulullah SAW.

Lalu apa pelipur lara kita?

Mestinya adalah shalat, sebab oleh-oleh Isra’ dan Mi’raj utamanya adalah shalat, dan Rasulullah SAW menjadikan shalat sebagai qurratu ‘ain dan sekaligus rahah (rehat). Wallahu a’lam.

dakwatuna.com

MUHAMMAD SAW, SANG PENGUSAHA SUKSES

Oleh:Ali Rama

TRADISI ritual peringatan kelahiran Nabi Muhammad saw yang dikenal dengan Maulid Nabi sudah menjadi budaya keagamaan di kalangan masyarakat Indonesia. Bahkan Maulid Nabi sudah dijadikan sebagai hari besar di negeri ini, yang berarti adalah hari libur nasional.

Pada awal tahun ini, tepatnya 15 Februari 2011, adalah tepat 12 Rabiul Awwal 1432 H pada penanggalan Islam (Hijriah) adalah hari kelahiran seorang Manusia Agung bernama Muhammad SAW pembawa agama perdamaian untuk seluruh umat manusia.

Kelahiran Nabi saw sebenarnya tidak termasuk hari besar jika dilihat dari pandangan al-Qur’an dan al-Hadist. Namun, biasanya, peringatan Maulid Nabi dimaksudkan sebagai momentum untuk mempelajari dan merenungi kembali perjalanan hidup beliau sebagai seorang Rasul sekaligus sebagai manusia biasa yang sukses dalam berbagai sisi kehidupan.

Rasulullah adalah potret pribadi sukses dalam menjalani kehidupan yang harus menjadi panutan bagi umat manusia.

Sirah Nabi adalah living model yang diinginkan Allah untuk diimplementasikan oleh tiap pribadi muslim sejati. Jadi perayaan Maulid Nabi bukan sekedar kegembiraan atas kehadiran beliau dalam sejarah tapi yang lebih penting dari semua itu adalah bagaimana memahami perjalanan hidup beliau secara utuh, sempurna dan menyeluruh sehingga menjadi panutan dalam membangun peradaban umat manusia.

Dengan momentum Maulid Nabi ini, penulis ingin menghadirkan satu dimensi kehidupan Rasulullah yang jarang dibahas oleh para da’i dan muballig yaitu kesuksesan Muhammad sebagai seorang pedagang. Muhammad bukan hanya sukses dalam berdakwah, memimpin negara dan rumah tangga tapi juga sukses dalam membangun usaha. Muhammad bukan hanya disegani sebagai pemuka agama dan pemimpin negara tapi juga disegani sebagai saorang saudagar yang memiliki jangkauan jaringan bisnis dan pangsa pasar yang luas serta pelanggang yang banyak.


Ensiklopedia Muhammad saw “The super leader super manager”

Muhammad sebagai pemimpin bisnis dan entrepreunership dijelaskan secara gamblang di dalam buku Dr. Syafi’i Antonio dengan judul “Muhammad SAW Super Leader Super Manager”. Buku tersebut menguraikan bahwa masa berbisnis Muhammad yang mulai dengan intership (magang), business manager, investment manager, business owner dan berakhir sebagai investor relative lebih lama (25 tahun) dibandingkan dengan masa kenabiannya (23 tahun). Nabi Muhammad bukan hanya figur yang mendakwakan pentingnya etika dalam berbisnis tapi juga terjun langsung dalam aktifitas bisnis.

Sang manager

Sejak kecil tepatnya saat berumur 12 tahun, Muhammad sudah diperkenalkan tentang bisnis oleh pamannya, Abu Thalib, dengan cara diikutsertakan dalam perjalanan bisnis ke Syam (Suriah).

Pengalaman perdagangan (magang) yang diperoleh Muhammad dari pamannya selama beberapa tahun manjadi modal dasar baginya disaat memutuskan untuk menjadi pengusaha muda di Mekah. Beliau merintis usahanya dengan berdagang kecil-kecilan di sekitar Ka’bah.

Dengan modal pengalaman yang ada disertai kejujuran dalam menjalankan usaha bisnisnya, nama Muhammad mulai dikenal dikalangan pelaku bisnis (investor) di Mekah.

Dalam kurung waktu yang tidak cukup lama, Muhammad mulai menampakkan kelihaiannya dalam menjalankan usaha perdagangan bahkan beberapa investor Mekah tertarik untuk mempercayakan modalnya untuk dikelolah oleh Muhammad dengan prinsip bagi hasil (musyarakah-mudharabah) maupun penggajian. Pada tahapan ini Muhammad telah beralih dari business manager (mengelola usahanya sendiri) menjadi investment manager (mengelola modal investor).


Ekspansi bisnis

Dengan modal yang sudah relatif besar, Muhammad memiliki kesempatan untuk ekspansi bisnis untuk menjangkau pusat perdagangan yang ada di Jazirah Arab. Kejujuran beliau dalam berbisnis sehingga dikenal olah para pelaku bisnis sebagai Al-Amin menjadi daya tarik bagi kalangan investor besar untuk menginvestasikan modalnya kepada Muhammad, salah satu di antaranya adalah Siti Khadijah yang di kemudian hari menjadi Istri pertama beliau.

Di usia 25 tahun, usia yang masih rekatif mudah, Muhammad menikah dengan Khadijah, seorang pengusaha sukses Mekah. Secara otomatis Muhammad menjadi pemilik sekaligus pengelola dari kekayaan Khadijah. Penggabungan dua kekayaan melalui pernikahan tersebut tentunya semakin menambah usaha perdagangan mereka baik secara modal maupun penguasaan pangsa pasar. Pada tahapan ini Muhammad sudah menjadi business owner.

Setelah Muhammad menikah dengan Khadijah, beliau semakin gencar mengembangkan bisnisnya melalui dengan ekspedisi bisnis secara rutin di pusat-pusat perdagangan yang ada di jazirah Arab, beliau intens mengunjungi pasar-pasar regional maupun Internasional demi mempertahankan pelanggan dan mitra bisnisnya. Jaringan perdagangan beliau telah mencapai Yaman, Suriah, Busra, Iraq, Yordania, Bahrain dan kota-kota perdagangan Arab lainnya.

Saat menjelang masa kenabian (berumur 38 tahun) di mana waktunya banyak dihabiskan untuk merenung beliau telah sukses menjadi pedagang regional dimana wilayah perdagangannya meliputi Yaman, Suriah, Busra, Iraq, Yordania, Bahrain dan kota-kota perdagangan Jazirah Arab lainnya. Pada tahapan in beliau telah memasuki fase yang menurut Robert T Kiyosaki disebut financial freedom.

Kehebatan berbisnis Muhammad bisa dilihat dalam sebuah riwayat yang menceritakan bahwa beliau pernah menerima utusan dari Bahrain, Muhammad menanyakan kepada Al-Ashajj berbagai hal dan orang-orang yang terkemuka serta kota-kota yang terkemuka di Bahrain. Pemimpin kabilah tersebut sangat terkejut atas luasnya pengetahuan geografis serta sentral-sentral komersial Muhammad. Kemudian al-Ashajj berkata: “sungguh Anda lebih mengetahu tentang negeri saya daripada saya sendiri dan anda pula lebih banyak mengetahui pusat-pusat bisnis kota saya dibanding apa yang saya ketahu”. Muhammad menjawab: “saya telah diberi kesempatan untuk menjelajahi negeri anda dan saya telah melakukannya dengan baik.” (Syafi’i Antonio, 2007).

Demikianlah perjalanan sukses bisnis Muhammad sebelum resmi menjadi seorang Nabi yang jarang disampaikan kepada generasi-generasi muda di saat perayaan Maulid Nabi. Pemahaman yang utuh tentang biography kehidupan beliau akan menghindarkan terjadinya pemahaman yang sempit tentang diri Rasulullah. Banyak orang yang mengaggap Rasulullah saw sebagai orang yang miskin padahal justru sebaliknya beliau adalah sosok pebisnis yang sukses.

Melalui momentum Maulid Nabi ini kiranya perlu mengangkat tema kesuksesan Muhammad sebagai pelaku bisnis demi memacu munculnya pengusaha-pengusaha muda di kalangan Muslim. Sebenarnya negeri ini memiliki tokoh-tokoh agama sekaligus pengusaha sukses, sebut saja misalnya, tokoh nasional K.H. Ahmad Dahlan dengan usaha batiknya. Bahkan dalam sejarah gerakan kemerdekaan Indonesia kita mengenal tokoh-tokoh agama yang terhimpun dalam Syarikat Dagang Indonesia.

Sebagaimana kita ketahui jumlah wirausahawan di Indonesia masih relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara maju di dunia. Dari total penduduk Indonesia, 231, 83 juta jiwa hanya sekitar 2 persen saja yang berwirausaha atau sebesar 4, 6 juta. Tentunya jumlah ini sangat kecil sekali jika negeri ini menginginkan penduduknya untuk semakin kuat dan mandiri secara ekonomi.

Negara-negara maju relative memiliki persentasi wirausahawan yang relatif tinggi dari jumlah penduduknya. Persentase penduduk Singapura yang berwirausaha mencapai 7 persen, China dan Jepang 10 persen dari total jumlah penduduk mereka. Sedangkan yang tertinggi adalah Amerika Serikat sebesar 11,5-12 persen.
Melalui perayaan Maulid Nabi ini, kita perlu mengkampanyeka pentingnya berwirausaha seperti apa yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai solusi untuk menyelesaikan persoalan umat yaitu kemiskinan dan pengangguran.

*Ali Rama, Peneliti ISEFID (Islamic Economic Forum for Indonesia Development)

sumber:

Beranda New


http://www.syafiiantonio.com
http://leadershipmuhammad.webs.com/

PARA PEMELUK ISLAM YANG PALING PERTAMA (As-Sabiqun al-Awwalun)

As-Sabiqun al-Awwalun (Arab: السَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ) adalah orang-orang terdahulu yang pertama kali masuk/memeluk Islam. Mereka adalah dari golongan kaum Muhajirin dan Anshar,[1] mereka semua sewaktu masuk Islam berada di kota Mekkah, sekitar tahun 610 Masehi pada abad ke-7.[2] Pada masa penyebaran Islam awal, para sahabat nabi saw di mana jumlahnya sangat sedikit dan golongan As-Sabiqun Al-Awwalun yang rata-ratanya adalah orang miskin dan lemah.

I. ETIMOLOGI

Akar kalimat as-Sabiqun dalam bahasa Arab berakar dari huruf S-B-Q (س-ب-ق Sin-Ba-Qaf), Sabaqa (سبقا) sebuah kata kerja yang artinya mendahulukan, pergi sebelum, lebih dahulu, melampaui, juga berarti “sudah” atau sebelum; aksi pendahulu, bergerak sebelumnya dan sebagainya, contoh:

“ Dan (malaikat-malaikat) yang mendahului dengan kencang…(An-Nazi’at, 79:4) ”

yang artinya melewati atau melampaui. Sabaqa: berpacu (kata kerja). Sabiq: bertindak.[3]

Kemudian kalimat al-Awwalun terdiri dari huruf A-W-L (ا-و-ل Alif-Wau-Lam), Awwal (اول) sebuah kata yang artinya pertama atau awal, kemudian kata ini diserap kedalam bahasa Indonesia, yang memiliki makna yang sama pula.

II. KERASULAN MUHAMMAD SAW

2.1 Awal kerasulan

Nabi Muhammad saw dilahirkan di tengah-tengah masyarakat terbelakang yang senang dengan kekerasan, pertempuran dan penyembahan berhala. Ia sering menyendiri ke Gua Hira’, sebuah gua bukit dekat Mekkah, yang kemudian dikenali sebagai Jabal An Nur karena bertentangan sikap dengan kebudayaan Arab pada zaman tersebut. Di sinilah ia sering berpikir dengan mendalam, memohon kepada Allah supaya memusnahkan kekafiran dan kebodohan.

Pada suatu malam, ketika Muhammad sedang bertafakur di Gua Hira’, Malaikat Jibril mendatanginya. Jibril membangkitkannya dan menyampaikan wahyu Allah di telinganya. Ia diminta membaca. Ia menjawab, “Saya tidak bisa membaca”. Jibril mengulangi tiga kali meminta agar Muhammad membaca, tetapi jawabannya tetap sama. Akhirnya, Jibril berkata:

“ Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dengan nama Tuhanmu yang Maha Pemurah, yang mengajar manusia dengan perantaraan (menulis, membaca). Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (Al-Alaq 96: 1-5) ”

Ini merupakan wahyu pertama yang diterima oleh Muhammad. Ketika itu ia berusia 40 tahun. Wahyu turun kepadanya secara berangsur-angsur dalam jangka waktu 23 tahun. Wahyu tersebut telah diturunkan menurut urutan yang diberikan Muhammad, dan dikumpulkan dalam kitab bernama Al Mushaf yang juga dinamakan Al-Quran (bacaan).

2.2 Pendakwahan

2.2.1 Siriyyah (rahasia)

Selama tiga tahun pertama, Nabi Muhammad saw hanya menyebarkan agama terbatas kepada teman-teman dekat dan kerabatnya, pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu ishaq dan Al-Waqidi. Kebanyakan dari mereka yang percaya dan meyakini ajaran Muhammad adalah para anggota keluarganya, tetapi tidak semua orang terdekatnya mau menerima dakwah ini. Sebagai contoh Abu Thalib yang tidak meyakini ajaran yang dibawa oleh Muhammad. Begitu pula dengan salah satu pamannya yang bernama Abu Lahab, bahkan menjadi penentang keras dakwah Muhammad.

Muhammad menjadi nabi dan berdakwah pada kisaran tahun 610 – 614 Masehi. Setelah adanya wahyu, surat Al-Muddatsir: 1-7, yang artinya:

“ Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! dan Rabbmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Rabbmu, bersabarlah. (Al-Mudatsir 74: 1-7) ”

Dengan turunnya surat Al-Muddatsir ini, mulailah Rasulullah saw berdakwah. Mula-mula ia melakukannya secara sembunyi-sembunyi di lingkungan keluarga, sahabat, pengasuh dan budaknya. Orang pertama yang menyambut dakwahnya adalah Khadijah, istrinya. Dialah yang pertama kali masuk Islam. Menyusul setelah itu adalah Ali bin Abi Thalib, saudara sepupunya yang kala itu baru berumur 10 tahun, sehingga Ali menjadi lelaki pertama yang masuk Islam.

Kemudian Abu Bakar, sahabat karibnya sejak masa kanak-kanak. Baru kemudian diikuti oleh Zaid bin Haritsah, bekas budak yang telah menjadi anak angkatnya, dan Ummu Aiman, pengasuh Muhammad sejak ibunya masih hidup. Setelah mereka, lalu masuk yang lainnya. Abu Bakar sendiri kemudian berhasil mengislamkan beberapa orang teman dekatnya, seperti, Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqas, dan Thalhah bin Ubaidillah. Dari dakwah yang masih rahasia ini, belasan orang telah masuk Islam. Sedangkan menurut sejarah Islam, putri Abu Bakar yaitu Siti Aisyah adalah orang ke 21 atau 22 yang masuk Islam.[4]

Syaikh Al-Albani mengatakan: “Lelaki dewasa dan merdeka yang pertama kali beriman adalah Abu Bakar, dari kalangan anak-anak adalah Ali bin Abi Thalib, dari kalangan budak Zaid bin Haritsah.[5]

2.2.2 Terbuka

Dakwah secara siriyyah ini dilakukan selama kurang lebih 3 tahun dan setelah orang Islam berjumlah 40 orang [6], maka turunlah ayat

“ Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat (Asy-Syu’ara, 26:214) ”

dan juga pada ayat,

“ Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya kami memelihara kamu daripada (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olokkan (kamu). (Al-Hijr ayat 15:94-95) ”

Muhammad mulai terbuka menjalankan dakwah secara terang-terangan. Mula-mula ia mengundang kerabat karibnya bangsa Quraisy dalam sebuah jamuan. Pada kesempatan itu ia menyampaikan ajarannya.

Namun ternyata hanya sedikit yang menerimanya. Sebagian menolak dengan halus, sebagian menolak dengan kasar, salah satunya adalah Abu Lahab dan istrinya Ummu Jamil. Mereka sangat membenci ajaran yang dibawa oleh Muhammad.

Sebelum kelahiran Muhammad, orang-orang Arab Quraisy adalah para penyembah berhala. Mereka suka membunuh anak laki-Iaki dan menanam hidup-hidup anak perempuan. Mereka mudah membunuh sebagian yang lain hanya karena hal-hal yang sepele. Oleh karena itu ketika Muhammad mengajak mereka untuk menyembah Allah yang Esa, meninggalkan kepercayaan mereka, mereka marah besar. Mereka yang semula cinta kepadanya berubah menjadi kebencian dan kemarahan. Sedangkan mereka yang semula membenarkan Muhammad, telah berubah menjadi orang-orang yang mendustakannya.

2.2.3 Madrasah Pertama


Madrasah Rasulullah saw

Muhammad saw mulai merasa perlu mencari sebuah tempat bagi para pemeluk Islam dapat berkumpul bersama. Di tempat itu akan diajarkan kepada mereka tentang prinsip-prinsip Islam, membacakan ayat-ayat Al-Qur’an, menerangkan makna dan kandungannya, menjelaskan hukum-hukumnya dan mengajak mereka untuk melaksanakan dan mempraktikkannya. Pada akhirnya Muhammad memilih sebuah rumah di bukit Shafa milik Abu Abdillah al-Arqam bin Abi al-Arqam. Semua kegiatan itu dilakukan secara rahasia tanpa sepengetahuan siapa pun dari kalangan orang-orang kafir.

Rumah Abu Abdillah al-Arqam bin Abi al-Arqam ini merupakan Madrasah pertama sepanjang sejarah Islam,[7] tempat ilmu pengetahuan dan amal saleh diajarkan secara terpadu oleh sang guru pertama, yaitu Muhammad Rasulallah. Ia sendiri yang mengajar dan mengawasi proses pendidikan disana.

2.3 Daftar As-Sabiqun al-Awwalun

Ibnu Hisyam pernah menulis 40 nama as-sabiqun al-awwalun. Ia menulis Khadijah dalam nomor urut pertama, Asma’ di nomor urut 18, dan Aisyah di nomor urut 19. Umar bin Khattab berada jauh di bawah Aisyah.[8]

Yang termasuk As-Sabiqun Al-Awwalun adalah sebagai berikut:
01. Khadijah binti Khuwailid
02. Zaid bin Haritsah
03. Ali bin Abi Thalib
04. Abu Bakar Al-Shiddiq
05. Bilal bin Rabah
06. Ummu Aiman
07. Hamzah bin Abdul Muthalib
08. Abbas bin Abdul Muthalib
09. Abdullah bin Abdul-Asad
10. Ubay bin Kaab
11. Abdullah bin Rawahah
12. Abdullah bin Mas’ud
13. Mus’ab bin Umair
14. Mua’dz bin Jabal
15. Aisyah binti Abu Bakar Ash-shiddiq
16. Umar bin Khattab
17. Utsman bin Affan
18. Arwa’ binti Kuraiz
19. Zubair bin Awwam bin Khuwailid
20. Abdurrahman bin Auf
21. Sa’ad bin Abi Waqqas
22. Thalhah bin Ubaidillah
23. Abdullah bin Zubair
24. Miqdad bin Aswad
25. Utsman bin Mazh’un
26. Said bin Zayd bin Amru
27. Abu Ubaidah bin al-Jarrah
28. Waraqah bin Naufal
29. Abu Dzar Al-Ghiffari
30. Umar bin Anbasah
31. Sa’id bin Al-Ash
32. Abu Salamah bin Abdul Asad
33. Abu Abdillah al-Arqam bin Abi al-Arqam
34. Muawiyah bin Abu Sufyan
35. Yasir bin Amir
36. Ammar bin Yasir
37. Sumayyah binti Khayyat
38. Amir bin Abdullah
39. a’far bin Abi Thalib
40. Khabbab bin ‘Art
41. Ubaidah bin Harits
42. Ummu al-Fadl Lubaba
43. Shafiyyah
44. Asma’ binti Abu Bakr
45. Fatimah bin Khattab
46. Suhayb Ar-Rummi

Khadijah, Zaid bin Haritsah, Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar Al-Shiddiq, Ummu Aiman, dan Bilal bin Rabah, merekalah orang yang pertama kalinya mengucap kalimat dua syahadat, lalu menyebar ke yang lainnya. Kesemuanya berasal dari kabilah Quraisy, kecuali Bilal bin Rabah.

Daftar di atas tersebut, tidaklah sesuai dengan kronologis urutan sejarah aslinya, dikarenakan penyebaran Islam ini awalnya secara rahasia, maka terlalu sulit untuk mencari siapa saja yang terlebih dahulu memeluk Islam, setelah lima besar pemeluk Islam.

2.4 Profesi

Pada awalnya golongan ini hanya terdiri dari kaum miskin dan lemah, kemudian setelah menempuh waktu semakin bertambah dan masuk beberapa orang dari lapisan golongan masyarakat, yang terdiri dari pemuka adat, pemimpin suku, panglima perang, ibu rumah tangga, anak-anak, majikan, saudagar, pengusaha, pedagang, petani, peternak binatang, pelayan rumah tangga, orang merdeka, budak.

Para budak banyak yang tertarik dengan prinsip yang diajarkan oleh Islam, yaitu tentang kesetaraan manusia di hadapan Allah, Rasulallah mempersaudarakan sebagian muslim dari golongan aristokrat Quraisy dengan sekelompok muslim lain yang dari golongan budak. Tidak ada perbedaan antara yang kaya dan miskin, kuat maupun lemah, merdeka maupun budak, Arab maupun non-Arab, semua setara. Menurut kaca mata Islam, Allah tidak pernah melihat umat-Nya berdasarkan profesi/ pangkat dan jabatan seseorang, yang Allah nilai hanya iman dan taqwa hamba-Nya.

2.5 Tugas

As-Sabiqun al-Awwalun yang Salaf, memiliki beberapa tugas penting yang harus diemban mereka. Tugas itu meliputi:

1. Bertauhid (mengesakan Allah),
2. Beriman kepada para malaikat, rasul, kitab-kitab Allah, takdir
3. Menegakkan salat,
4. Menunaikan zakat,
5. Melakukan keadilan,
6. Melakukan amal kebaikan,
7. Meninggalkan kekejian,
8. Meninggalkan kemungkaran,
9. Meninggalkan kezaliman,
10. meninggalkan penyembahan berhala,
11. Berhala harus dihancurkan,
12. Melarang kemusyrikan,
13. Darah tidak ditumpahkan,
14. Tidak ada jiwa yang harus dibunuh kecuali karena kebenaran,
15. Jalan-jalan tetap aman,
16.Tali silaturahmi terus dijalin,
17. Menjunjung tinggi kesetaraan/ kemerdekaan manusia,
18. Mencegah keburukan,
19. Mempertahanan bela agama,
20. Menyebarkan secara diam-diam agama yang dibawa oleh Muhammad.

III. SURGA BAGI AS-SABIQUN AL-AWWALUN

Menurut kepercayaan Islam, As-Sabiqun al-Awwalun akan mempunyai tempat tinggal yang mulia, Surga Jannatun Na’im.

“ Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar (At-Taubah ayat 9:100) ”

Diperkuat oleh dalam hadits mutawatir yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari tentang tiga masa yang mendapatkan kemulian dan keutamaan muslim dan lain-lainnya, dimana Muhammad bersabda:

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ

“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian generasi setelahnya, kemudian generasi setelahnya.” [9]

IV. KEDATANGAN ISLAM SECARA ASING DAN AKAN KEMBALI ASING

Menurut beberapa hadits yang shahih, agama Islam dikatakan pertama kali muncul dalam keadaan terasing, kemudian akan kembali menjadi asing sebagaimana semula ajaran Islam itu datang. Sementara itu orang disekelilingnya telah menjadi rusak secara aqidah dan mereka akan memusuhi ajaran Islam itu sendiri.
Pernyataan didasari beberapa hadits berikut dibawah ini:

Nabi Muhammad saw bersabda:

“Sesungguhnya Islam pertama kali muncul dalam keadaaan asing dan nanti akan kembali asing sebagaimana semula. Maka berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba’).” [10]

“Berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba’). (Mereka adalah) orang-orang shalih yang berada di tengah orang-orang yang berperangai buruk dan orang yang memusuhinya lebih banyak daripada yang mengikuti mereka.” [11]

“Berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba’). Yaitu mereka yang mengadakan perbaikan (ishlah) ketika manusia rusak.” [12]

Catatan kaki

1.^ Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. (At-Taubah 9:100)
2.^ Nabi Muhammad berdakwah yaitu pada tahun 610 Masehi.
3.^ Arti dari Sabiqun disitus web Sabiqun.net
4.^ Aisyah masuk Islam.
5.^ Shahihus Siratin Nabawiyah, hal. 99.
6.^ Sirah An-Nabawiyah, Ibnu Hisyam, 1/245-262.
7.^ Khadijah Ummul Mu’minin Nazharat Fi isyraqi Fajril Islam, Abdul Mun’im Muhammad, hal. 96 dan 155.
8.^ Sirah An-Nabawiyah, Ibnu Hisyam, 1/245-262.
9.^ Hadits sahih Imam Bukhari.
10.^ Hadits shahih riwayat Muslim.
11.^ Hadits shahih riwayat Ahmad.
12.^ Hadits shahih riwayat Abu Amr Ad Dani dan Al Ajurry.

Referensi:

Sirah An-Nabawiyah, Ibnu Hisyam, 1/245-262.
Ibnu Hisyam, Jilid I m/s 65.
As-Seerat un-Nabawiyyah, Jilid I, m/s 452, daftar urut yang sama di tulis Ibnu Ishaq.
Khadijah Ummul Mu’minin Nazharat Fi isyraqi Fajril Islam, Al Haiah Al Mishriyah Press, karya Abdul Mun’im Muhammad (1994)
Kitab-Al-Raudh Al-Aif, karya Ibnu Suhaili.
Muhammad The Final Messenger, karya Dr. Majid Ali Khan
Hadits keterasingan Islam di kajian Salafy.
Kelebihan Qiyamullail pada masa awal kedatangan Islam
(en) Asma’ Bint Abi Bakr is one of As-Sabiqun al-Awwalun
(en) History of Islam

Nabi Muhammad SAW sebagai Diplomat Ulung


Nabi Muhammad SAW adalah Rasul Alloh pilihan, dikenal juga dalam sejarah atas kepemimpinan dan peran diplomatiknya atas komunitas Islam saat itu. Ia membangun komunikasi dengan para pemimpin suku maupun pemimpin negara lain dengan mengirim utusan yang membawa surat darinya, atau bahkan mengunjunginya (kunjungann ke Ta’if). Korespondensi melalui surat antara lain dilakukannya dengan Heraclius (Kaisar Romawi ), Raja Negus (penguasa Ethiopia) dan Khusrau (penguasa Persia).

Saat hijrah ke Madinah, ia mengubah situasi politik dan sosial yang selama puluhan tahun dipenuhi oleh persaingan antar suku yang didominasi suku Aus dan Khazraj. Salah satu cara yang ia gunakan untuk mencapai kondisi ini adalah penandatangan perjanjian kesepakatan yang dikenal dengan nama Piagam Madinah, sebuah dokumen yang berisikan peraturan-peraturan mengenai kehidupan sosial antar semua elemen masyarakat di sana. Hasilnya adalah terbentuknya sebuah komunitas yang bersatu di Madinah dibawah pimpinannya.

I. Hijrah pertama ke Abbisinia/Ethiopia (615 M)

Ajaran Nabi Muhammad saw kepada publik Mekkah mendapat rintangan yang sangat berat dari para pemuka Quraish di sana. Walaupun Nabi Muhammad sendiri dalam kondisi yang lebih aman karena berada dalam perlindungan pamannya (Abu Thalib, pemimpin Bani Hasyim), namun para pengikutnya sendiri tidak lepas dari gangguan. Beberapa orang pengikutnya disiksa, dipenjarakan atau dibiarkan kelaparan. Oleh karena itu ia kemudian berkeputusan mengirimkan 15 muslim untuk melakukan emigrasi ke Abbisinia (Ethiopia saat ini), untuk mencari suaka di bawah pemimpin kristen di sana (Raja Negus). Emigrasi ini walaupun awalnya dimaksudkan untuk menghindari siksaan suku Quraish, kemudian juga membuka jalur ekonomi antara kedua pihak.

Para pemuka Quraish, demi mendengar usaha tersebut, mengirimkan sekelompok orang yang dipimpin oleh Amr bin Ash dan Abdullah bin Abu Rabia untuk mengejar pada muslim. Namun, mereka tidak berhasil dalam pengejarannya karena para muslim berhasil mencapai wilayah yang aman. Mereka kemudian menghadap Raja Negus dan berusaha membujuknya untuk mengembalikan para migran muslim tersebut. Kemudian pada sebuah pertemuan dengan Negus dan para Pendeta Ethiopia, Ja’far bin Abi Thalib mewakili para muslim meyampaikan apa yang diajarkan Muhammad dan mengutip ayat Al Qur’an mengenai Islam dan Kristen, termasuk beberapa ayat dari surat Maryam. Dalam hadits Ja’far dikatakan berucap :

“ Wahai Raja! Kami tenggelam dalam kebodohan dan barbarisme; kami menyembah berhala dan hidup jauh dari kesucian, kami memakan bangkai, berbicara mengenai hal-hal yang sangat buruk, mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan, keramahtamahan dan kehidupan bertetangga; kami tidak mengenal hukum melainkan siapa yang kuatlah yang benar; kemudian Allah membangkitkan seorang manusia diantara kami, yang kelahiran, kejujuran dan kesuciannya kami sadari; kemudian ia menyeru kepada keesaan tuhan dan mengajarkan untuk tidak menyekutukan apapun denganNya. Melarang kami menyembah berhala; menyuruh kami berkata jujur, menjadi orang yang dapat dipercaya, menunjukkan belas kasihan, menghormati hak tetangga dan keluarga kami; Melarang kami membicarakan yang buruk tentang wanita, memakan bagian anak yatim; Menyuruh kami menjauhkan diri dari orang-orang jahat, tidak berlaku jahat; Menyuruh melakukan salat, membayar zakat dan berpuasa

Kami mempercayainya, menerima ajarannya dan perintahnya untuk menyembah Allah dan tidak menyekutukanNya dengan apapun, kami melakukan apa yang ia ijinkan dan menjauhi apa yang ia larang. Dan karena ini, orang-orang dari suku kami telah bangkit melawan kami, menyiksa kami agar kami kembali menyembah berhala dan melakukan hal-hal buruk lainnya. Mereka menyiksa dan melukai kami, dan kami sama sekali tidak mendapatkan keamanan berada diantara mereka, dan kami datang ke negaramu berharap kau akan melindungi kami dari mereka ”

Raja Negus, tertarik dengan perkataan ini kemudian mengijinkan para migran tersebut untuk tinggal, dan mengirim para duta Quraish pulang. Diperkirakan bahwa Negus kemudian masuk Islam. Setelah membangun hubungan baik dengan Negus, Nabi Muhammad saw kemudian mengirim kelompok lainnya untuk hijrah ke Abbisinia sehingga total migram muslim ditempat itu mencapai sekitar 100 orang.

II. Hijrah ke Ta’if (619 M)

Pada sekitar Juni 619, Nabi Muhammad dan beberapa pengikutnya keluar dari Mekkah untuk berkunjung ke kota Ta’if untuk bertemu dengan kepala sukunya. Tujuan utama dari kunjungan ini adalah ajakan Muhammad kepada mereka untuk memeluk Islam.


Jalan menuju kota Ta’if dengan latar belakang pegunungan Ta’if, (Arab Saudi).

Demi menolak ajakan Nabi Muhammad, dan dibawah kekhawatiran akan balasan Mekkah sebagai akibat menerima Nabi Muhammad sebagai tamu, kelompok dalam pertemuan tersebut menyuruh para penduduk kota untuk melempari Muhammad dengan batu. Setelah diserang dan dikejar hingga keluar dari Ta’if, Nabi Muhammad yang terluka kemudian berlindung di sebuah kebun buah-buahan dibawah pohon anggur. Ia kemudian memohon kepada Allah meminta perlindungan dan ketenangan.

Berdasarkan kepercayaan Islam, dalam perjalanan pulang ke Mekkah, Nabi Muhammad ditemui malaikat Jibril dan malaikat yang menjaga gunung yang mengelilingi Ta’if yang menawarkan padanya, jika ia menginginkannya Ta’if akan dihancurkan dan dijepit diantara oleh gunung yang ada sebagai balasan atas perlakuan buruk mereka. Muhammad menolak tawaran tersebut dan sebaliknya mendoakan agar generasi selanjutnya di Ta’if menerima konsep tauhid Islam.

III. Ikrar Aqabah

IV. Reformasi Madinah

4.1 Kehidupan sosial di Madinah sebelum hijrah

4.2 Piagam Madinah
Piagam Madinah merupakan piagam atau konstitusi antara kaum Muslim Quraisy yang hijrah ke Madinah atau sering disebut kaum Muhajirin dan kaum Muslim yang tinggal di Yatsrib atau kaum Anshar serta dengan pihak non-Muslim yang berada di Madinah atau Yatsrib pada waktu itu, yang dibuat semenjak Muhammad tiba di Madinah dari Mekkah.

4.3 Efek

V. Perjanjian Hudaibiyah

Perjanjian Hudaibiyah (Arab:صلح الحديبية) adalah sebuah perjanjian yang di adakan di sebuah tempat di antara Madinah dan Mekkah pada bulan Maret 628 M (Dzulqaidah, 6 H)

5.1 Latar belakang

Pada tahun 628 M, sekitar 1400 Muslim berangkat ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji. Mereka mempersiapkan hewan kurban untuk dipersembahkan kepada kaum Quraisy. Quraisy, walaupun begitu, menyiagakan pasukannya untuk menahan Muslim agar tidak masuk ke Mekkah. Pada waktu ini, bangsa Arab benar benar bersiaga terhadap kekuatan militer Islam yang sedang berkembang. Nabi Muhammad mencoba agar tidak terjadi pertumpahan darah di Mekkah, karena Mekkah adalah tempat suci.

Akhirnya kaum Muslim setuju, bahwa jalur diplomasi lebih baik daripada berperang. Kejadian ini dituliskan pada surah Al-Fath ayat 4 :
هو الذي انزل السكينة في قلوب المؤمينين

yaitu bermakna bahwa Allah telah memberikan ketenangan bagi hati mereka agar iman mereka bisa bertambah.

5.2 Perjanjian

Garis besar Perjanjian Hudaibiyah berisi : “Dengan nama Tuhan. Ini perjanjian antara Muhammad (SAW) dan Suhail bin ‘Amru, perwakilan Quraisy. Tidak ada peperangan dalam jangka waktu sepuluh tahun. Siapapun yang ingin mengikuti Muhammad (SAW), diperbolehkan secara bebas. Dan siapapun yang ingin mengikuti Quraisy, diperbolehkan secara bebas. Seorang pemuda, yang masih berayah atau berpenjaga, jika mengikuti Muhammad (SAW) tanpa izin, maka akan dikembalikan lagi ke ayahnya dan penjaganya. Bila seorang mengikuti Quraisy, maka ia tidak akan dikembalikan. Tahun ini Muhammad (SAW) akan kembali ke Madinah. Tapi tahun depan, mereka dapat masuk ke Mekkah, untuk melakukan tawaf disana selama tiga hari. Selama tiga hari itu, penduduk Quraisy akan mundur ke bukit-bukit. Mereka haruslah tidak bersenjata saat memasuki Mekkah”

5.3 Manfaat perjanjian

Manfaat Hudaibiyah bagi kaum Muslim adalah :

* Bebas dalam menunaikan agama Islam
* Tidak ada teror dari Quraisy
* Mengajak kerajaan-kerajaan luar seperti Ethiopia-afrika untuk masuk Islam

5.4 Hasil

Perjanjian Hudaibiyah ternyata dilanggar oleh Quraisy, tapi kaum Muslim bisa membalasnya dengan penaklukan Mekkah (Fathul Makkah) pada tahun 630 M

Kaum Muslim berpasukan sekitar 10000 tentara. Di Mekkah, mereka hanya menemui sedikit rintangan. Setelah itu, mereka meruntuhkan segala simbol keberhalaan di depan Ka’bah.

VI. Korespondensi dengan pemimpin lain

6.1 Surat untuk Heraklius

” Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Dari Muhammad hamba Allah dan utusan-Nya kepada Heraclius penguasa Romawi. Salam sejahtera bagi orang yang mengikuti petunjuk. Masuk Islamlah, niscaya kamu selamat. Masuk Islamlah, niscaya Allah memberimu pahala dua kali lipat. Jika kamu berpaling, kamu akan menanggung dosa orang-orang Romawi.

Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang sama di antara kita, bahwa kita tidak menyembah kecuali hanya kepada Allah, dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun; dan tidak (pula)sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai sembahan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah). ”

6.2 Surat untuk Negus

6.3 Surat untuk Khusrau

Dalam kitab Hayatus Sahabah, Maulana Muhammad Yusuf Al-Kandahlawi Rah dalam bab *Nabi Muhammad saw mengirim surat kepada para penguasa Kerajaan* sect 4 menulis bahwa Al-Bukhari meriwayatkan dari Hadist Al-Laits bin Saad,dari Yunus,dari Az-Zuhri,dari Ubaidilah bin Abdullah bin Utbah ,dari Ibnu Abbas r.a.,bahwa Rosullulah saw telah mengutus seorang utusan (Syuja bin Wahab) untuk menyampaikan surat beliau kepada Kisra (Khusrau) dan juga memerintahkan untuk menyerahkan surat itu terlebih dahulu kepada penguasa Bahrain.Kemudian penguasa Bahrain inilah yang menyerahkan surat beliau inilah kepada Kisra.Ketika Kisra membacanya, dia mencabik-cabik surat beliau itu.Ibnu Abbas r.a. berkata, Jika tidak salah ibnu Musayyab berkata-Kemudian Rosulullah saw berdoa agar bangsa Parsi di hancur leburkan. Diriwayatkan dari Ibnu Jarir r.a. dari jalan ibnu Ishaq r.a.,sebagaimana tersebut dalam kitab Al-Bidayah _ 4/269,dari Zaid Abi Habib,dia berkata ,Rosulullah saw mengutus Abdullah bin Huzaifah r.a. untuk menyampaikan surat kepada Kisra bin Hurmuz, Raja Persia.

Isi surat itu berbunyi:

” Bismilaahirrahmaanirrahiim

Dari Muhammad Rosulullah,kepada Kisra pembesar Persia

Keselamatan bagi orang yang mengikuti petunjuk dan yang beriman kepada Allah dan Rosulnya,

Allah Yang Maha Esa ,tidak ada sekutu bagi-Nya dan bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusanNya .Aku mengajakmu sebagaimana yang diserukan Allah,karena sesungguhnya aku diutus oleh Allah kepada seluruh manusia untuk memberi peringatan kepada setiap orang ynag hidup dan untuk menjadi hujjah atas perkataan orang-orang kafir.Jika engkau memeluk Islam maka engkau akan selamat,tetapi jika engkau menolak ,maka sesungguhnya dosa-dosa orang Majusi akan dibebankan kepadamu. “

Perawi menngatakan ,Ketika Kisra membaca surat Rosulullah tersebut , surat tersebut langsung dirobek-robek, sembari berkata ^Apakah pantas seorang budak menulis surat seperti ini kepadaku?*, Kemudian Kisra menulis surat kepada Badzan supaya mengirim dua orang untuk menemui Rosulullah saw.- kisah selanjutnya sama seperti yang diriwayatkan oleh Abu Ishaq-tetapi ada tambahan ,^bahwa kedua orang tersebaut datang kepada Rosulullah saw ,dengan memotong janggutnya dan memanjangkan kumisnya.Melihat yang demikian Rosulullah saw tidak senang kepada mereka, lalu beliau saw bersabda, Celakalah kalian berdua! Siapakah yang menyuruh kalian berdua berbuat demikian.Mereka menjawab^Tuan kami (Kisra) yang menyuruh kami seperti ini. Kemudian Rosulullah saw berkata * Tetapi aku telah diperintahkan oleh Tuhanku (Allah) agar memanjangkan janggutku dan memotong kumisku.

Catatan kaki

1. ^ al-Mubarakpuri (2002) p. 412
2. ^ Irfan Shahid, Arabic literature to the end of the Umayyad period, Journal of the American Oriental Society, Vol 106, No. 3, p.531
3. ^ Watt (1974) p. 81
4. ^ Watt. al-Aws; Encyclopaedia of Islam
5. ^ a b Buhl; Welch. Muhammad; Encyclopaedia of Islam
6. ^ Watt (1974) pp. 93—96
7. ^ Forward (1998) p. 14
8. ^ a b Forward (1998) p. 15
9. ^ Watt (1974) pp. 67—68
10. ^ a b van Donzel. al-Nadjāshī; Encyclopaedia of Islam
11. ^ al-Mubarakpuri (2002) p. 121
12. ^ Ibnu Hisyam, as-Seerat an-Nabawiyyah, Vol. I, pp. 334—338
13. ^ Vaglieri. Dja’far b. Abī Tālib; Encyclopaedia of Islam
14. ^ a b al-Mubarakpuri (2002) pp. 163—166
15. ^ Muir (1861) Vol. II p. 202
16. ^ Sahih Bukhari 4.54.454, Sahih Muslim 19.4425

Catatan : Artikel ini merupakan tulisan rintisan dan dalam tarap pengembangan.!!

sumber: http://id.wikipedia.org