Untuk melengkapi perbendaharaan, perlu dikemukakan fatwa Ulama Persis, Ahmad Hassan yang bangkit sejak 1920 atas gugahan da’i Pakih Hasyim (murid Kiyai Haji Rasul Minangkabau) di Surabaya yang menyebarkan pembaharuan lewat Al-Irsyad. Berikut ini Fatwa A Hassan mengenai Taqlid ketika ditanya orang sebagai berikut:

Soal: Bolehkah kita percaya kepada ‘ulama dan bolehkah kita taqlid kepada mereka?

Jawab: Dua pertanyaan itu, maksudnya sama saja, yaitu dalam urusan agama, bolehkah kita berpegang kepada ‘ulama dengan tidak ada keterangan dari Allah dan Rasul-Nya?

Buat menggampangkan soal-jawab di dalam hal yang tersebut itu, perlu kita tahu dahulu arti ijtihad , ittiba’, dan taqlid. Begitu juga perkataan Mujtahid, Muttabi’, dan Muqallid.

Ijtihad

Ijtihad itu, artinya yang asal, ialah bersungguh sungguh. Dan artinya yang dipakai ulama, ialah bersungguh-sungguh memeriksa dan memahami dalam-dalam akan keterangan dari Al-Qur’an dan Al-Hadits, hingga buat pertanyaan yang sulit-sulit dan buat kejadian-kejadian yang luar biasa itu, bisa mereka dapatkan hukumnya dari Al-Qur’an dan Al-Hadits atas jalan faham dengan susah payah atau jalan qiyas. Orang bekerja semacam yang tersebut itu, dinamakan Mujtahid. Orang yang jadi Mujtahid itu, tentulah perlu mengetahui bahasa ‘Arab sekedar cukup buat mengerti keterangan-keterangan itu dengan jelas, sebagaimana ia mengerti bahasanya sendiri, kalau ia bukan orang ‘Arab. Ijtihad itu perlu sangat di dalam hal keduniaan, yaitu umpamanya ada satu kejadian yang baru, sedang di Al-Qur’an atau di Al-Hadits tidak tersebut terang hukumnya tentang hal itu, maka di waktu itu, perlu hakim, atau ketua Islam, berijtihad dan diqiyaskan hal itu dengan hukum-hukum Islam yang sudah ada tersebut terang di Al-Qur’an atau Al-Hadits, dengan beberapa sebab, yaitu seperti zakat dari barang-barang makanan dari hasil bumiu mpamanya. Di dalam Islam ada tersebut, wajib kita keluarkan zakat dari gandum, dan zakat itu buat orang miskin, dan urusan umum dan lainnya. Tetapi sekarang di sini tidak ada gandum hanya ada padi, sedang orang-orang miskin dan keperluan umum tetap ada. Maka di sini baru boleh diqiyaskan, karena ada keperluan dan ada jalan dan sebab buat diqiyaskan.

Di negeri Arab dikeluarkan zakat dari makanan negeri yang umum, yaitu gandum,lantas diberikan kepada orang miskin, maka di sini juga diambil zakat dari makanan negeri yang umum, yaitu beras atau sagu atau lainnya, lantas diberikan kepada orang miskin. Maka qiyas itu berlaku atas padi atau beras atau sagu tadi, ialah karena barang-barang itu jadi makanan umum di sini, sebagaimana gandum jadi makanan umum di sana.Orang yang Mujtahid, memang dipuji oleh agama, bahkan boleh dibilang diwajibkan ijtihad atas orang yang bisa.

Ittiba’

Ittiba’ artinya yang asal, ialah menurut. Dan arti yang dipakai oleh ulama, yaitu menurut apa-apa perintah, larangan dan perbuatan Rasul, dan perbuatan sahabat-sahabatnya, maupun ia dapat perintah, larangan, dan perbuatan itu dari membaca sendiri ataupun ia dapat karena bertanya kepada ulama, bukan bertanya fikiran ulama. Orang yang menurut seperti yang tersebut itu dinamakan
Muttabi’ . Muttabi’ itu tidak perlu tahu bahasa Arab karena keperluannya hanya untuk mengerti sesuatu hukum yang biasa buat beramal, bukan untuk memeriksa dalam-dalam buat qiyas mengqiyas, memberi fatwa dan sebagainya. Kewajiban umat Islam di dalam hal berpegang kepada agama itu, hanya atas dua jalan, yaitu berijtihad atau ber-ittiba’, tidak lain. Di antara sahabat-sahabat Nabi tidak berapa banyak Mujtahid, tetapi selain dari Mujtahid itu, semuanya muttabi’, tidak ada seorang pun sahabat Nabi yang muqollid, karena kalau mereka tidak tahu sesuatu hukum, lantas mereka bertanya kepada Nabi sendiri atau kepada sahabat-sahabt Nabi, bagaimana perintah Nabi di perkara itu. Orang yang iitiba’ itu kalau berjumpa dua keterangan yang berlawanan, maka pada masa itu, wajib ia periksa betul-betul mana yang kuat.Umpamanya ada orang yang berkata, bahwa ada hadist mengatakan, membaca Al-Fatihah di belakang imam itu wajib dan ada lain orang alim pula berkata, bahwa ada hadits mengatakan tidak boleh membaca Al-Fatihah di belakang Imam, maka pada masa itu, si muttabi’ wajib memeriksa mana yang lebih kuat keterangannya, karena di antara dua hadits itu, tentu ada yang lemah. Jangan ia berkata: Saya tak bisa periksa, karena saya bukan orang alim.Kalau mau, semua bisa! Ingatlah, kalau ada tersiar khabar tentang terbit uang palsu, maka pada masa itu, masing-masing yang mempunyai uang memeriksa dengan sungguh-sungguh hingga bisa ia kenal antara yang palsu dengan yang tidak palsu.

Mengapakah tidak ia berkata: Saya tak tahu memeriksa uang palsu, karena saya bukan orang bank? Mengapakah di perkara akherat saja orang-orang suka berkata: Saya tak bisa?

Taqlid

Taqlid artinya yang asal, ialah meniru; dan artinya yang digunakan oleh ahli agama, yaitu menurut perkataan atau perbuatan seseorang di dalam hal agama. Dengan tidak mengetahui keterangan dari Al-Qur’an atau Al-Hadits di tentang itu. Orang yang menurut orang lain seperti yang tersebut itu, dinamakan Muqollid. Taqlid itu dilarang oleh agama. Firman Allah:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

Artinya:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”
(QS Bani Israil/17: 36).

Dan Firman Allah:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Artinya:
“…maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”
(QS An-Nahl/16: 43).

Bertanya kepada ahli Al-Qur’an itu, tentulah dari hal Al-Qur’an, bukan dari hal fikirannya. Bukan Allah saja melarang orang-orang bertaqlid, tetapi imam-imam yang mereka taqliedi itu sendiri melarang keras orang-orang bertaqlied kepada mereka.Imam Hanafi melarang orang bertaqlid kepadanya. Begitu juga sahabatnya yang bernama Abu Yusuf. Begitu juga imam-imam Maliki, Syafi’ie, dan teristimewa pula Imam Hanbali, ia berkata, “ Janganlah kamu taqlid kepadaku, dan jangan kepada Malik, dan jangan kepada Syafi’ie, tetapi ambillah agama kamu dari mana mereka itu ambil. ”Heran, kita memikirkan orang-orang kita sekarang! Mereka mengaku bertaqlid kepada imam-imam, padahal Allah, Rasul-Nya, dan imam-imam yang mereka taqliedi sendiri melarang mereka bertaqlid. Kalau kita tidak mau turut Allah dan Rasul, dan tidak mau turut perkataan imam-imamyang setuju dengan perkataan Allah dan Rasul, patutkah kita bergelar orang Islam? Orang-orang kita di sini, mengaku menurut Imam Syafi’ie maka cobalah mereka dan guru-guru mereka yang alim unjukkan satu perkataan Imam Syafi’ie tentang membenarkan orang bertaqlied. Tukang-tukang taqlied yang sudah kehabisan alasan, sering berkata bahwa kami tidak bisa faham Al-Qur’an dan Al-Hadits lantaran payahnya,oleh sebab itu, kami turut-turut imam saja. Perkataan itu dusta belaka. Sebenarnya Al-Qur’an dan Al-Hadits tidak lebih payah daripada kitab Imam-imam, bahkan Al-Qur’an dan Hadits bisa difaham dengan lebih gampang, karena ada banyak penerangan- penerangannya yang dibikin oleh orang-orang dahulu. Dengan sedikit keterangan itu saja, bisalah difaham, bahwa orang Islam yang bisa ijtihad itu wajib ijtihad, kalau perlu; dan yang lain-lain daripada itu wajib ittiba’. Adapun taqlid itu tidak halal sama sekali.

Sumber: A. Hassan, Soal –Jawab Berbagai Masalah Agama, 1, Persatuan Islam, Bangil, 1985,halaman 433-437