Al-Islam wa Audha’unal Qanuniyyah (Islam dan Perundang-undangan) – 5

Oleh: Abdul Kadir Audah


Undang-undang (Ilustrasi By Inet)

Saya mengemukakan maaf kepada Undang-undang dan saya menyerangnya. Saya minta maaf kepada Undang-undang karena menyetujui idenya, dan saya menyerangnya karena melihat nas dan struktur Undang-undang itu.

Bahwa Undang-undang dari segi ide dan maknanya, adalah nyata masyarakat tak boleh lari daripadanya, dan hajat manusia di dunia ini membutuhkan padanya. Maka dengan Undang-undang dapat diatur masyarakat, dicegah kezaliman-kezaliman dan dijamin hak-hak manusia, dibagi-bagi keadilan dan dituntun sesuatu bangsa.

Hajat manusia dan keperluan merekalah yang menyebabkan dibuatnya Undang-undang dan dirumuskan wujudnya serta disahkannya, dan yang mendorong untuk menghormati dan menaatinya. Masyarakat membutuhkan Undang-undang sebagai suatu kemestian untuk mengatur dirinya, agar masyarakat itu dapat mengambil faedah dari kesungguhan-kesungguhan pribadi-pribadi; dan masyarakat membutuhkannya, adalah untuk mencegah timbulnya penganiayaan-penganiayaan dari oknum-oknum pribadi dan memelihara hak-hak mereka serta meratakan keadilan di antara mereka agar masyarakat itu hidup dalam keadaan rukun dan damai, saling bantu-membantu untuk kebahagiaan bersama dan menuju kepada kebaikan dan kesempurnaan. Masyarakat membutuhkan Undang-undang agar dapat menuntun pribadi-pribadi supaya masing-masing diri tidak berbuat yang merugikan masyarakat. Begitulah Undang-undang itu diperbuat untuk dijalankan, ialah buat menutupi hajat masyarakat dan memenuhi kepentingan-kepentingannya serta menjaga kemaslahatan-kemaslahatan dalam masyarakat itu.

Maka karenanya Undang-undang tidak boleh keluar dari masyarakat atau tersendiri dari padanya, sebagaimana juga ia bukanlah seperti apa yang disangkakan oleh sebahagian orang, bahwa Undang-undang itu lebih tinggi dari masyarakat, bukan! Dan Undang-undang itu pada hakikatnya tidak lain, melainkan hanya suatu alat yang diwujudkan oleh masyarakat untuk melayani kehendak masyarakat, dan suatu jalan untuk menolak kejahatan-kejahatan yang mungkin ditimbulkan oleh pribadi-pribadi dalam lingkungan masyarakat itu.

Fungsi umum dari Undang-undang ialah: melayani masyarakat dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat itu. Dan tiap-tiap Undang-undang itu ada norma-normanya. Fungsi yang akan dijalankannya, itulah yang menjadi sebab untuk melahirkan Undang-undang itu dan yang mendorong untuk mengundangkannya. Walaupun Perundang-undangan itu bermacam-macam, tetapi semuanya harus bertujuan untuk melayani masyarakat dan membahagiakannya.

Maka Undang-undang kewajiban belajar secara paksa, fungsinya adalah melayani dari segi meluaskan pengajaran dan membasmi buta huruf; dan Undang-undang yang menghukum akan kriminalitas, fungsinya adalah melayani kebutuhan masyarakat dari segi penjagaan keamanan dalam masyarakat dan membasmi kejahatan-kejahatan; dan Undang-undang yang melarang penganiayaan di antara manusia, fungsinya adalah melayani masyarakat dari segi menjamin hak-hak pribadi dan meratakan keadilan sosial dan menimbulkan ketenangan di antara masing-masing pribadi, dan begitulah semestinya.

Dan bila tiap-tiap Undang-undang itu tetap diwujudkan dan dijalankan adalah karena hajat masyarakat kepadanya, maka sudah barang tentu segala Undang-undang dilaksanakan ialah guna melayani masyarakat, menegakkan nas-nas Undang-undang itu atas maksud kebahagiaan masyarakat serta menutupi hajat masyarakat itu, atas faktor mana Undang-undang itu dijadikan Peraturan.

Bila sudah terang, bahwa fungsi Undang-undang, adalah melayani kebutuhan masyarakat dan memenuhi hajat kebutuhannya, maka segala Undang-undang yang nas isinya tidak menjalankan fungsi tersebut atau menyimpang daripadanya, hilanglah dasar untuk mendorong lahirnya dan untuk diundangkannya. Dan apabila Undang-undang itu telah kehilangan dasar pendorong bagi lahirnya dan kehilangan faktor untuk diundangkannya, maka Undang-undang itu adalah batil, tidak sah untuk ditaati dan tidak berhak untuk dihormati.

Kita telah mengetahui, bahwa Undang-undang itu pada hakikatnya tidak lain dari “suatu alat” yang diwujudkan oleh masyarakat guna melayani kebutuhan masyarakat itu, dan suatu jalan untuk menangkis kerusakan-kerusakan yang mungkin ditimbulkan oleh oknum pribadi-pribadi dalam lingkungan masyarakat itu. Maka bila ternyata nanti, bahwa alat itu menimbulkan atau memancing timbulnya kerusakan-kerusakan di atas pribadi-pribadi, maka sudah logis, bahwa alat yang seperti itu harus dilemparkan, dan seorangpun jangan mencoba-coba untuk memakainya. Karena memakai alat yang demikian, berati keluar dari masyarakat dan berlaku jahat padanya, dan hanya akan mengorbankan kepentingan-kepentingan masyarakat itu serta maslahat-maslahat yang ada pada pribadi-pribadi di dalam lingkungan masyarakat itu sendiri.

——————————————————————————————————————————————
ISLAM dan PERUNDANG-UNDANGAN
Al Islam wa Audha’unal Qanuniyyah
Oleh: Abdul Kadir Audah
Alih bahasa: K.H Firdaus A.N.
Diterbitkan pertama kali oleh Departemen Agama RI, Jakarta, 1959
Penerbit PT. Bulan Bintang, Cetakan 6, 20 Agustus 1984
Jalan Kramat Kwitang I/8, Jakarta 10420, Indonesia

Bacaan sebelumnya: SAYA HAKIM, TETAPI SEORANG MUSLIM
Bacaan selanjutnya: POKOK-POKOK PERUNDANG-UNDANGAN