Mahmud Hamzawi Fahim Usman

Yogyakarta — Mahmud Hamzawi Fahim Usman (37), mahasiswa asal Mesir lulus ujian promosi doktor bidang politik Islam di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).

Hamzawi dinyatakan lulus dengan predikat cum laude dengan disertasi berjudul ‘Kebijakan Rezim Otoriter Terhadap Islam Politik’, Studi Kasus Rezim Soeharto dan Anwar Sadat. Dia merupakan doktor kedua yang lulus dari program doktor di Pasca Sarjana UMY.

Sidang terbuka dilakukan di ruang sidang gedung AR Fahrudin di kampus UMY di Tamantirto, Kasihan, Bantul, Kamis (22/3/2012). Sidang dipimpin Dr Gunawan Budiyanto dengan promotor Prof Dr Tulus Warsito dan co promotor Dr Sidik Jatmiko. Sedangkan tim penguji diantaranya Prof Dr Bambang Cipto, Dr Ahmad Nurmadi, Prof Dr Syamsul Anwar, dan lain-lain.

Hamzawi mengatakan: “Antara pemerintahan rezim Soeharto di Indonesia dan Anwar Sadat di Mesir mempunya kesamaan dan komparabel pada kebijakan terhadap Islam politik. Kedua pemimpin sama-sama mengintensifkan kebijakan subjugasi dengan dua modus, kekerasan dan peminggiran serta modus propaganda dan politik citra.”

Keduanya tidak menggunakan modus kekerasan pada masa peralihan dari sistem rezim sebelumnya, tapi dilakukan setelah masa konsolidasi. Untuk politik citra keduanya berupaya agar ciri-ciri Islam tidak menjadi identik dengan kelompok Islam politik.

Selain itu, lanjut Hamzawi, kebijakan kekerasan dijustifikasi dengan alasan menjaga stabilitas pembangunan, perdamaian dan kesatuan negara, terutama setelah terjadi peristiwa konflik, terorisme, atau demonstrasi besar.

“Keduanya melakukan kecurangan pemilu dengan cara manipulasi dan intimidasi dan propaganda budaya politik dengan menyatakan negara akan berbahaya jika kelompok Islam dan komunis mengambil kekuasaan,” kata Hamzawi yang beristri seorang warga negara Indonesa (WNI) itu.

Kebijakan kekerasan dan pemburukcitraan ditujukan secara khusus kepada aktivis Islam politik garis keras. Kebijakan ini juga berhasil memenangkan partai yang berkuasa melawan kelompok Islam politik.

“Perbedaannya Sadat mengintensifkan kebijakan subjugasi pada akhir masa rezimnya. Sedangkan Soeharto sebaliknya,” kata Hamzawi.

Dari sisi modus propaganda dan politik citra menurutnya, persamaan kedua rezim adalah berupaya agar ciri-ciri keislaman tidak menjadi identik dengan kelompok Islam politik.

Perbedaannya, propaganda rezim Sadat anti Islam politik digencarkan kekuatan Islam politik mulai menantang kekuasaannya. Sedangan rezim Soeharto hanya mengantisipasi kekuatan Islam politik.

“Sadat lebih banyak menonjolkan simbol-simbol keislaman daripada Soeharto dalam menjalankan politik citra. Dia khir pemerintahan kedua mulai mengakomodasi kelompok Islam ketika dukungan partai berkuasa melemah. Yakni dengan menambah jumlah aktivis Islam di pemerintahan dan memberikan amnesti kepada tahanan aktivis Islam,” katanya.

Seusai sidang kepada wartawan, dia mengungkapkan keinginannya membuka program studi Indonesia dan mengajar Bahasa Indonesia di Mesir. Sebab selama lebih kurang 60 tahun hubungan Indonesia-Mesir masih timpang.

“Tidak banyak orang Mesir yang tahu Indonesia, dimana dan sejarahnya seperti apa. Sedangkan mahasiswa Indonesia di Mesir ada 5 ribu orang. Saya ingin bekerja mengenalkan Indonesia di mesir,” ungkap Hamzawi.

detik.com