Posts tagged ‘Peradaban dunia’

Membangun Peradaban Tauhidi

Oleh: Ahmad Sadzali

Dalam bukunya Al-Madkhal ila Dirasah al-Madzahib al-Fiqhiyah, Prof. Dr. Ali Gomaa Muhammad menyatakan, “Peradaban Islam tidaklah mati, namun hanya tertidur saja. Sesuatu yang tidur pasti akan bangun kembali.” Pernyataan ini memberikan harapan besar kepada kita akan kebangkitan peradaban Islam. Akan tetapi kebangkitan peradaban itu tentu saja membutuhkan proses yang lama. Peradaban Islam seperti bagian dari sebuah roda yang selalu berputar. Jika dalam sejarahnya bagian roda itu sempat berada di bawah, maka suatu saat nanti ia akan kembali berada di atas.

Pembicaraan tentang peradaban memang tidak akan ada habisnya, terkhusus peradaban Islam. Topik peradaban secara umum selalu relevan untuk diperbincangkan di sepanjang zaman. Ini tidak lain karena manusia selalu bersinggungan dengan peradaban. Manusia adalah pelaku utama peradaban itu sendiri. Dan peradaban tanpa manusia tidak akan pernah ada. Begitu juga dengan topik peradaban Islam yang dianologikan seperti bagian dari roda yang berputar tadi, tidak akan pernah surut dari perbincangan manusia.

Peradaban manusia terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Perkembangan peradaban tersebut tidak saja terjadi dalam ranah fisiknya saja, namun juga terjadi dalam ranah substansi. Sebagai contoh, pemahaman akan istilah peradaban saja sampai mengalami fase-fase yang cukup signifikan. Terlebih lagi jika terjadi persinggungan antara peradaban satu dengan yang lainnya.

Seiring dengan perjalanan hidup manusia yang sudah begitu panjang di muka bumi ini, maka berbagai macam peradaban pun telah terbentuk. Banyak peradaban yang telah mewarnai kehidupan manusia. Setiap peradaban tentu saja memiliki konsep tersendiri yang nantinya akan membedakan peradaban tersebut dengan peradaban lainnya. Sama halnya dengan peradaban lain, peradaban Islam juga memiliki konsep yang menjadikannya tampil berbeda dengan peradaban-peradaban lainnya.

Konsep peradaban ini sangat dibutuhkan dalam upaya membangkitkan kembali peradaban Islam. Untuk itulah tulisan ini mencoba sedikit memaparkan konsep peradaban Islam, atau pandangan Islam terhadap peradaban itu sendiri.

Dilema Definisi Peradaban

Definisi peradaban memang selalu menjadi problem. Latar belakang pengetahuan yang berbeda, akan sangat mempengaruhi pendefinisian peradaban. Istilah peradaban biasanya digunakan oleh sarjana-sarjana di bidang sejarah, antropologi, dan beberapa bidang keilmuan sosial lainnya. Namun dalam disiplin ilmu yang berbeda-beda itu, ternyata definisi peradaban juga lahir berbeda-beda, tidak satu definisi.

Dalam bahasa Perancis, peradaban biasanya disebut dengan civilisation. Sedangkan dalam bahasa Jerman, peradaban disebut kultur. Istilah cultur dalam bahasa Prancis menunjukkan arti kebudayaan, sama halnya dengan bahasa Inggris yang menggunakan istilah culture. Jadi bahasa Prancis membedakan istilah civilisation yang menunjukkan peradaban, dengan cultur yang menunjukkan kebudayaan. Sedangkan dalam bahasa Melayu, peradaban disebut dengan tamadun.

Setidaknya “civilization” memiliki tiga tahapan perkembangan definisi. Makna aslinya dikenalkan pertama kali dalam bahasa Prancis oleh beberapa penulis, seperi Voltaire, pada abad ke-18 Masehi. Kemudian para penulis di abad ke-19 Masehi semakin memperluas istilah “civilization” untuk mengartikan pertumbuhan melalui waktu pengetahuan dan keterampilan yang mendorong manusia untuk mencapai perilaku yang beradab. Selanjutnya istilah “civilization” dibawa ke dalam bahasa Inggris, dan mengalami generalisasi ide atau definisi hingga lebih plural.

Nasr Muhammad Arif, dalam bukunya Al-Hadharah, Ats-Tsaqofah, Al-Madaniyah telah meneliti istilah “civilization” dari bahasa asalnya, yaitu bahasa Latin. Dalam bahasa Latin terdapat istilah civites yang artinya kota; civis yang artinya orang yang tinggal di kota; dan civilis yang artinya sipil. Dan istilah “civilization” baru diambil dari bahasa Latin tersebut pada abad ke-18 Masehi.

Sarjana Barat sendiri berbeda-beda dalam mendefinisikan istilah “civilization”. Sebagai contoh dalam bukunya The Philosophy of Civilization, Albert Schweitzer menjelaskan bahwa peradaban adalah kemajuan spiritual dan materi pada setiap individu maupun kelompok. Schweitzer juga menjelaskan bahwa peradaban harus dapat menciptakan kondisi yang menguntungkan semua orang dalam hidupnya. Tujuan peradaban adalah kesempurnaan spiritual dan moral individu.

Berbeda dengan Schweitzer yang menekankan peradaban pada pencapaian moral dan spiritual, Will Durant mengartikan peradaban sebagai sistem sosial yang membantu manusia untuk meningkatkan produksi kebudayaannya. Menurut Durant, peradaban terdiri dari empat unsur: sumber daya ekonomi, sistem politik, tradisi moral, serta ilmu dan kesenian.

Edward Burnett Tylor mengartikan peradaban sebagai adalah suatu kesatuan kompleks yang mencakup pengetahuan, keyakinan, seni, adab, hukum adat, dan setiap kecakapan serta kebiasaan seseorang sebagai anggota masyarakat. Namun, sebagian orang menganggap definisi yang digariskan Tylor ini adalah untuk definisi kebudayaan. Dari definisi Tylor ini, akhirnya terjadi kerancuan dalam perbedaan antara peradaban dengan kebudayaan. Terkadang keduanya dimaknai sama.

Sedangkan Samuel Huntington memandang peradaban sebagai entitas budaya. Peradaban terdiri dari unsur-unsur yang kompleks, seperti bahasa, agama, sejarah, adat, lembaga, atau indentifikasi diri secara subjektif. Dalam pandangan Huntington ini, jika sekelompok manusia yang besar di suatu wilayah memiliki kesamaan seperti bahasa, agama dan adat, maka bisa disebut sebagai peradaban. Contohnya adalah Amerika dan Eropa yang sering disebut sebagai peradaban Barat.

Banyak lagi pendapat sarjana-sarjana Barat lainnya yang memberikan definisi terhadap peradaban. Definisi peradaban atau “civilization” dalam dunia pemikiran Barat mengalami perkembangan yang sangat pesat. Ada yang menjadikan makna “civilization” sebagai sinonim dari kata “culture”, seperti Tylor tadi. Ada juga yang mempersempit definisi “civilization” hanya sebagai kemajuan materi. Ada juga yang memperluas definisinya menjadi kemajuan yang menyeluruh, melingkupi semua aspek kehidupan. Ada juga yang mempersempitnya lagi menjadi kemajuan individu saja. Ada juga yang memperluasnya sebagai kemajuan individu dan kelompok. Dan berbagai perkembangan definisi lainnya.

Selanjutnya istilah “civilization” ini mengalami persinggungan dengan bahasa Arab. Pada awal abad ke-19, kata “civilization” diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan istilah التمدن. Rifa’ah Ath-Thahthawi dalam bukunya Manahij al-Albab al-Mashriyah menggunakan istilah “tamaddun” untuk menunjukkan istilah “civilization” yang dipakai di Eropa. Ath-Thahthawi menyebutkan, tamaddun mengandung dua unsur asli: secara makna seperti akhlak dan adab, dan secara materi.

Kata “tamaddun” terus digunakan untuk menunjukkan “civilization” sampai kemudian berubah menjadi kata المدنية. Istilah “madaniyah” ini dipakai selama abad ke-19 dan abad ke-20. Pada tahun 1936, istilah “madaniyah” diartikan sebagai sebuah keadaan sosial budaya yang ditandai dengan kemajuan relatif dalam bidang kesenian, ilmu pengetahuan, manajemen pemerintahan. Lalu pada tahun 1957, istilah “madaniyah” digunakan untuk menunjukkan fenomena kemajuan fisik atau materi dalam kehidupan masyarakat.

Lalu pada pertengahan abad ke-20, kamus-kamus bahasa Arab mulai menerjemahkan kata “civilization” dengan arti حضارة. Dan pada masa ini hampir disepakati bahwa kata “hadharah” berarti sekumpulan fenomena sosial yang memiliki karakter fisik, ilmu, seni teknik yang ada dalam masyarakat, dan merupakan fase kemajuan dalam perkembangan manusia.

Sebenarnya kata “حضارة” sudah dipakai oleh Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnya. Namun kata “hadharah” di sini belum dipakai untuk menunjukkan sebuah peradaban yang memiliki definisi kompleks seperti di atas. Kata “hadharah” digunakan Ibnu Khaldun untuk menunjukkan lawan dari pola hidup yang berpindah-pindah, atau yang disebut dengan البداوة. Sedangkan untuk menunjukkan sebuah peradaban, Ibnu Khaldun menggunakan istilah “umran”.

Dr. Muhammad Imarah dalam bukunya Al-Islam wa At-Ta’addudiyah mengatakan bahwa istilah “umran” dalam turats kita yang dulu itu adalah istilah “hadharah” dalam turats kita yang baru. Selanjutnya Dr. Imarah mendefinisikan peradaban sebagai kumpulan dari tamadun dan budaya, serta akumulasi dari perkotaan yang di dalamnya terdapat realitas fisik dan jiwa manusia yang dapat memberikan kemajuan pada manusia itu sendiri.

Pendapat-pendapat dari pemikir Muslim tentang definisi hadharah memang juga terdapat keragaman. Bahkan pendefinisian yang berkembang dalam pemikiran Islam atau dalam terminologi bahasa Arab bisa dikatakan sedikit rumit jika dibandingkan dengan terminologi bahasa Inggris. Dalam bahasa Inggris hanya terdapat dua istilah yang berkembang, yaitu civilization dan culture. Sedangkan dalam bahasa Arab, terdapat tiga istilah yang berkembang untuk menunjukkan peradaban dan kebudayaan, yaitu tsaqafah, hadharah, dan madaniah.

Secara singkat bisa disimpulkan sebagai berikut: Pertama, siapa yang menerjemahkan istilah culture sebagai tsaqafah, maka berarti menerjemahkan civilization sebagai hadharah. Kedua, siapa yang menerjemahkan culture sebagai hadharah, maka ia menerjemahkan civilization sebagai madaniyah. Bagi pendapat pertama, berarti ia telah menjadikan tsaqafah sebagai elemen intelektual dalam kehidupan manusia, dan hadharah sebagai elemen fisik atau materinya. Sedangkan pendapat kedua telah menjadikan hadharah sebagai elemen intelektual dan madaniyah sebagai elemen fisik atau materinya.

Sementara itu dalam bahasa Indonesia, istilah “peradaban” sering kali digunakan untuk menunjukkan civilization atau hadharah. Kata “peradaban” berasal dari kata “adab”, yang artinya kehalusan dan kebaikan budi pekerti, kesopanan, atau akhlak. Ketika kata “adab” ini mendapat imbuhan per- dan -an menjadi “peradaban”, maka diartikan sebagai: Pertama, kemajuan (kecerdasan, kebudayaan) lahir batin. Kedua, hal yang menyangkut sopan santun, budi bahasa dan kebudayaan suatu bangsa.

Dari sekian banyak pendapat dan perkembangan-perkembangan definisi tadi, setidaknya kita dapat mengambil garis lurus untuk dapat menggambarkan istilah “peradaban”. Garis lurus tersebut yaitu kemajuan, moral, intelektual dan fisik atau materi. Karena dalam definisinya yang berkembang, peradaban sering kali dikaitkan dengan ketiga unsur tersebut.

Peradaban dalam Islam

Dalam terminologi bahasa Arab, kata hadharah berasal dari kata حضر yang artinya شهد من الحضور, atau berlawanan dengan kata ghaib. Dalam Al-Qur’an, kita juga akan menemukan kata hadhara bermakna syahada. Seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 180 ( إذا حضر أحدكم الموت ), dalam surat An-Nisa ayat 8 ( وإذا حضر القِسمَةَ أُولُوا القُربى ), dalam surat Al-Baqarah ayat 185 ( فمن شهد منكم الشهر فليصمه ). Dalam kandungan ketiga ayat tadi, makna hadhara berarti syahada.

Prof. Dr. Nasr Muhammad Arif menjelaskan bahwa kata syahadah dalam Al-Qur’an mengandung empat artian. Keempat artian inilah yang sebenarnya membangun istilah hadharah dalam Islam. Keempat artian ini tidak dapat berdiri sendiri dalam menyokong konsep peradaban Islam, namun semuanya saling melengkapi. Keempat artian tersebut adalah sebagai berikut:

1) Syahadah dalam artian tauhid kepada Allah. Artian ini mengandung kesaksian manusia terhadap keesaan Allah. Makna ini adalah sebagai akidah umat Islam. Di bawah makna ini manusia harus tunduk dengan segala aturan Allah;

2) Syahadah dalam artian perkataan (kesaksian) yang benar dan jalan untuk menuju keadilan. Atau bisa juga berarti kesaksian yang didasarkan dengan ilmu. Dengan demikian ini merupakan jalan untuk mendapatkan ilmu dan pengetahuan;

3) Syahadah dalam artian pengorbanan di jalan Allah;

4) Syahadah dalam artian kewajiban atau tugas untuk umat. Ini senada dengan kandungan Al-Qur’an pada surat Al-Baqarah ayat 143 ( وكذلك جَعَلنكم أُمّة وسطا لتكونوا شُهداء على الناس و يكون الرسول عليكم شهيدا ).

Arti syahadah di sini mencakup dua dimensi, dunia dan akhirat. Oleh karena itulah, konsep peradaban dalam Islam tidak bisa dikotomi antara dua dimensi ini. Peradaban dalam Islam memiliki pola yang bersifat keduniawian seperti kemajuan, inovasi, pembangunan, kesenian dan lain sebagainya. Dan di samping itu juga memiliki pola yang sifatnya keakhiratan seperti keyakinan, nilai-nilai, pemikiran, tingkah laku atau akhlak dan lain sebagainya. Kedua pola ini tidak dapat dipisahkan satu dari yang lainnya. Jadi, pengistilahan peradaban akan tidak sempurna jika salah satu pola ini tidak ada.

Menurut Malik bin Nabi, di saat peradaban Barat terlalu memfokuskan perhatian mereka kepada kemajuan materi dan pemikiran, maka peradaban Islam menjadikan akidah tauhid sebagai fokus utama peradabannya. Malik bin Nabi mendampingkan definisi peradaban Islam dengan unsur-unsur utama yang membentuknya. Di antara unsur-unsur pembentuk itu adalah manusia, waktu dan tanah. Unsur manusia adalah unsur pembentuk terbesar dalam sebuah peradaban, termasuk peradaban Islam. Dalam hal ini tentunya kualitas manusia atau individu akan menentukan kualitas peradaban yang dibangunnya.

Dalam setiap individu Muslim yang berperan sebagai unsur utama dalam peradaban, sudah semestinya tertanam konsep tauhid yang menjadi fokus utama peradaban Islam tadi. Jadi, peradaban Islam adalah peradaban yang memiliki konsep tauhidi, yang meniadakan dikotomi antara fisik dan ruhani, atau dunia dan akhirat. Sedangkan asal mula konsep tauhid ini adalah keimanan kepada Allah. Maka, sebenarnya peradaban Islam tidak hanya dibangun oleh unsur manusia saja, namun yang paling penting adalah unsur yang ada di dalam diri manusia itu sendiri, yaitu keimanan. Dengan demikian, peradaban Islam tidak dapat dipisahkan dari unsur Tuhan.

Epistemologi dan Sumber Peradaban Islam

Dalam epistemologi Islam, sumber pengetahuan utama adalah Allah, atau yang dalam hal ini adalah wahyu. Pengetahuan yang bersumber dari Allah tersebut dapat diperoleh melalui indera yang sehat, berita yang benar berdasarkan otoritas, akal sehat dan hati. Indera yang sehat ini mencakup indera luar dan indera dalam. Akal sehat pada dasarnya berfungsi untuk mengolah apa yang diterima oleh indera tadi. Apa yang diterima oleh indera akan dinilai oleh akal sehat sesuai dengan tingkat kelogisannya. Namun sebenarnya fungsi akal tidak sebatas sampai di situ saja. Akal sendiri sejatinya adalah substansi spiritual yang inheran dengan organ spiritual yang biasa kita sebut dengan hati, yang mana berfungsi sebagai penerima pengetahuan intuitif. Jadi, pada intinya akal dan intuisi selalu berhubungan dan tidak ada dikotomi antara keduanya.

Meski terjadi perbedaan dalam cara memperoleh pengetahuan, namun pada dasarnya semuanya pengetahuan itu berasal dari satu sumber, yaitu Allah. Dalam hal ini Al-Qur’an telah menjelaskan: “Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya, kemudian Dia perlihatkan kepada para malaikat, seraya berfirman, “Sebutkan kepada-Ku nama semua (benda) ini, jika kamu yang benar!” (QS. Al-Baqarah: 31).

Sumber pengetahuan yang berasal dari Allah tadi ditransfer kepada manusia dalam bentuk wahyu. Dalam Islam, wahyu Allah tertuang di dalam Al-Qur’an dan Hadits Rasul. Kedua sumber ini yang selanjutnya menjadi landasan utama dalam epistemologi Islam sekaligus peradaban Islam. Kedua sumber ini banyak menginspirasikan lahirnya ilmu-ilmu. Sebagai contoh, Allah berfirman: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Mahamulia. Yang mengajar manusia dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-Baqarah: 1-5).

Dr. Abdul Halim Uwais menyebutkan bahwa peradaban Islam memiliki tiga sumber utama, yaitu: Al-Qur’an, Sunnah dan Akidah Islam.

Dari asas di atas, terlihat bahwa dalam peradaban Islam tidak ada jurang pemisah antara manusia yang menjadi unsur pembangun peradaban dengan Tuhan sebagai sumber peradabannya. Sumber peradaban Islam sejalan dengan sumber pengetahuan yang dibahas dalam epistemologi Islam. Selanjutnya, sumber ini juga menjadi cikal bakal terbentuknya pandangan hidup Islam. Dari sini jugalah bermula segala kemajuan peradaban Islam yang ditandai dengan berkembang pesatnya tradisi keilmuan.

Worldview dan Asas Peradaban Islam

Berkembangnya peradaban Islam sampai selanjutnya mencapai puncak kejayaan ditandai dengan lahirnya ilmu-ilmu dalam Islam. Lahirnya ilmu dalam Islam itu tidak serta merta ada sebelum didahului oleh tradisi keilmuan yang kuat. Tradisi keilmuan ini bisa berkembang lantaran dilandasi oleh worldview Islam yang mengakar pada setiap individu pelaku intelektual. Dengan demikian tradisi keilmuan tidak lantas menggerogoti ajaran-ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw.

Terbentuknya worldview Islam ini tidak dapat terpisahkan dari kandungan Al-Qur’an dan Sunnah yang menjadi landasan utamanya. Turunnya wahyu yang dalam hal ini Al-Qur’an dan Sunnah serta lahirnya worldview Islam, menjadi bagian utama sebab lahirnya ilmu dalam Islam. Dengan kelahiran ilmu dan perkembangannya ini, selanjutnya menandai kegemilangan peradaban Islam.

Konsep worldview Islam dibangun atas pendekatan tauhidi, tanpa adanya dikotomi. Ini sejalan dengan asas yang membangun peradaban Islam itu sendiri, seperti yang dijelaskan oleh Prof. Dr. Ahmad Fuad Basha. Menurutnya, asas bangunan peradaban Islam adalah tidak adanya dikotomi antara agama dengan kehidupan. Begitu juga kemajuan dalam peradaban Islam, tidak ada dikotomi antara kemajuan maknawi seperti akhlak, abad dan nilai-nilai yang menjadi bagian dari agama dan syariat Islam itu sendiri, dengan kemajuan fisik atau materi seperti halnya fasilitas-fasilitas yang dapat mempermudah kehidupan manusia.

Prof. Dr. Ahmad Fuad Basha menggariskan asas pembangun peradaban Islam itu sebagai berikut:

1. Bangunan individu Muslim. Individu ini menjadi asas pertama dalam membangun peradaban Islam. Ini akan dapat tercapai jika adanya keseimbangan di antara sisi materi dan ruhani dalam diri setiap individu Muslim. Dari setiap individu inilah nantinya terlahir sebuah pola kehidupan yang seimbang pula antara materi dan ruhani. Sebagai contoh, setiap Muslim berkewajiban untuk selalu menyuruh kepada kebaikan dan menjauhi keburukan. Seperti yang terkandung dalam Al-Qur’an: “Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyerukan kepada kebajikan, menyuruh(berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104).

2. Bangunan komunitas yang seimbang. Bangunan individu yang memiliki keseimbangan antara materi dan ruhani tadi selanjutnya menjadi cikal bakal komunitas yang juga seimbang. Dalam hubungannya yang seimbang antara individu dengan komunitas ini, akan terdapat berbagai macam hak dan kewajiban. Dan dari korelasi keduanya ini juga akan melahirkan kebaikan-kebaikan dalam kehidupan manusia. Mengenai komunitas yang seimbang ini, Al-Qur’an telah menjelaskan: “Dan langit telah ditinggikan-Nya dan Dia ciptakan keseimbangan. Agar kamu jangan merusak keseimbangan itu. Dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan itu.” (QS. Ar-Rahman: 7-9).

3. Menempatkan ilmu dalam posisi yang spesial dan penerapannya dalam perbuatan yang bermanfaat. Ilmu yang dianjurkan oleh agama Islam adalah ilmu yang komprehensif, mencakup ilmu-ilmu agama maupun ilmu-ilmu umum atau materi. Namun terdapat syarat yang menjadikan dianjurkannya pendalaman ilmu-ilmu tersebut, yaitu syarat manfaat. Standar yang digunakan dalam manfaat ini adalah kemaslahatan umat dan untuk menegakkan agama Islam.

4. Penanaman nilai-nilai kemajuan peradaban. Salah satu yang terpenting dalam bangunan peradaban Islam adalah penetapan sistem nilai-nilai yang mempengaruhi kehidupan manusia serta tingkah lakunya. Dalam hal ini, sangat jelas sekali fungsi agama dalam kehidupan manusia. Dalam agama Islam, firman Allah dan Sunnah Rasul menjadi pegangan utama untuk membedakan antara kebaikan dan keburukan, sesuatu yang boleh dan haram, dan lain sebagainya.

Dari keempat asas yang membangun peradaban Islam tadi, semuanya tidak terlepas dari konsep worldview Islam yang melalui pendekatan tauhidi. Peradaban Islam memang tidak dapat dipisahkan dari konsep tauhid yang ada dalam Islam itu sendiri. Konsep tauhid ini merupakan cara pandang yang utuh yang tanpa dikotomi dalam memandang sesuatu. Worldview itu tertanam pada setiap individu Muslim. Yang selanjutnya dari setiap individu tersebut membentuk komunitas. Dan dari situlah sebenarnya peradaban Islam itu bisa terbangun dan menjadikannya berbeda dengan peradaban-peradaban lainnya. Jadi, peradaban Islam memiliki kaitan yang sangat erat dengan worldview Islam itu sendiri.

Kesimpulan

Peradaban Islam sekarang ini memang masih tertidur. Aromanya sedikit tertutupi oleh gemerlapnya peradaban Barat. Peradaban Barat saat ini terlihat begitu gagah dengan kemajuan materi yang mereka capai. Kemajuan yang dicapai Barat tersebut tidak lepas dari pesatnya perkembangan kegiatan ilmiah yang tertuang dalam penelitian-penelitiannya. Sementara umat Islam masih belum menemukan geliat dahsyat gerakan ilmiahnya kembali seperti halnya yang dirasakan oleh Ibnu Khaldun, Ibnu Rusy, Ibnu Sina dan ulama-ulama lainnya yang menandai puncak kegemilangan peradaban Islam.

Namun seperti yang dikatakan oleh Prof. Dr. Ali Gomaa Muhammad, peradaban Islam yang tertidur itu pasti akan bangun lagi dari tidurnya. Sekarang perlahan-lahan geliat untuk membangkitkan peradaban Islam yang tertidur itu mulai muncul. Salah satu gerakan yang terlihat jelas adalah proyek islamisasi pengetahuan. Karena gerakan keilmuan yang pesat merupakan cikal bakal kemajuan peradaban.

Islamisasi pengetahuan muncul di tengah persinggungan peradaban Islam dan Barat yang semakin intens. Persinggungan antar peradaban memang tidak dapat dihindari. Sudah menjadi hukum alam peradaban yang terbelakang akan melek melihat peradaban yang maju. Akulturasi peradaban pun bisa saja terjadi. Di tengah akulturasi tersebut itulah sangat dibutuhkan sekali bangunan konsep peradaban yang kuat, agar dapat melakukan proses filterasi, bukan adopsi yang membabi buta. Begitu juga dengan islamisasi pengetahuan. Proyek ini akan dapat berjalan dengan lancar jika di bawahnya dibangung konsep peradaban Islam yang kokoh. Wallahu’alam.

* Penulis adalah mahasiswa Universitas Al-Azhar, Cairo.

hidayatullah.com

ISLAM DAN PERADABAN DUNIA

sumbangan-peradaban-islam

Ilustrasi (Inet)

A. SIKAP KAUM MUSLIMIN SAAT INI TERHADAP BARAT

1. APRIORI

Sikap sebagian kaum muslimin yang menolak mentah-mentah terhadap nilai-nilai Barat beserta konsekuensi-konsekuensinya, sehingga mereka mengisolasi diri dari dinamika modernisasi sama sekali. Dampaknya adalah mereka mengalami kemunduran & kejumudan serta keterasingan dalam kehidupan. Sikap ini tidak sesuai dengan Al-Qur’an & As-Sunnah (lih. QS Ali-Imran 190-191), HR Turmudzi (Ilmu itu milik kaum muslimin yang hilang, dimana saja ia dapatkan maka ia lebih berhak atasnya) & Sirah Nabi SAW serta Shahabat ra.

Sikap ini masih nampak pada sebagian kaum muslimin, seperti menolak mentah-mentah mempelajari ilmu pengetahuan yang berasal dari Barat, sarana teknologi dan segala sesuatu yang bersumber dari Barat adalah haram. Sikap ini terlihat seperti pada sikap menolak speaker di sebagian mesjid, tidak mau menterjemahkan khutbah saat shalat Jum’ah, dan sebagainya.

2. PERMISIF

Ini merupakan sikap yang dominan di masyarakat, sikap menyerah kalah, tunduk patuh & silau, sehingga menjiplak habis-habisan tanpa proses penyaringan lagi. Sikap ini diikuti dengan sikap memandang rendah terhadap semua yang berasal dan berbau Islam. Mereka menganggap hukum-hukum Islam telah ketinggalan jaman, mereka mengalami inferiority complex syndrome terhadap Islam. Sikap ini terutama dialami oleh sebagian kaum pemuda & kaum intelektual muda yang dididik dg pengetahuan Barat tanpa dibekali dengan kerangka berfikir yang Islami. Dampaknya adalah terjadinya kerusakan disegala bidang kehidupan (korupsi, kolusi, sex-bebas, ectassy, tawuran, dan sebagainya), akibat keringnya bidang-bidang tersebut dari orang-orang yang memahami dan mengaplikasikan nilai-nilai Islam.

3. SELEKTIF

Menerima & melaksanakan proses filterisasi kebudayaan Barat dengan paradigma berfikir Islami, mana yang sesuai dengan hukum dan nilai Islam diambil & mana yg bertentangan ditolak & dijauhi. Ini merupakan pemahaman yang benar dan dianut oleh para cendekia dan pemikir muslim mutakhir, sejak era kebangkitan Islam akhir-akhir ini, yg dipelopori oleh Rasyid Ridha (Mesir), Muhammad Iqbal (Palestina), Muhammad Abduh (Mesir), Abul A’la Maududi (Pakistan) & Hasan al-Banna (Mesir).

Menurut pemahaman ini bahwa ilmu pengetahuan yang bersumber dari Barat banyak yang bermanfaat, asal dibingkai dengan nilai-nilai Islami, karena ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut asalnya dipelajari ilmuwan Barat dari kaum muslimin juga.

B. PENGARUH PERADABAN ISLAM TERHADAP PERADABAN BARAT

1. BIDANG IPTEK

  • Kedokteran : Kitab Ibnu Sina, al-Qanun (abad-12) & Al-Hawi (ar-Razi) menjadi sumber pengetahuan kedokteran di Barat sampai abad ke-16.
  • Menurut Gustave Le Bon (sejarawan Perancis) bahwa ahli-ahli Barat seperti Roger Bacon, Leonardo da Vinci, Albertus Magnus, dan lain-lain, dibesarkan dalam era keemasan perpustakaan pengetahuan Islam & Arab.
  • Paus Gerbert (bergelar Sylvestre-II) mengajar ilmu-ilmu alam pada tahun 1552-1562 yang kesemuanya dipelajarinya di Universitas Islam Andalusia di Spanyol.
  • Gherardo & Cremona, 2 orang ahli astronomi Italia yang menerjemahkan buku ilmu astronomi dari kitab as-Syarh karangan Jabir ibnu Hayyan.
  • Raja Friederich-II dari Perancis meminta putra-putra Ibnu Rusyd (menurut ejaan Barat dibaca : Averoes) untuk tinggal di istananya, mengajarinya ilmu Botani & Zoologi.
  • Apotik & ilmu Kedokteran, Kimia & Botani Islam sebelum abad ke-15 sudah sangat maju dibandingkan Barat, ilmuwan Islam telah menemukan 2000 jenis tanaman Thriflorida untuk obat-obatan.

2. BIDANG SASTRA

  • Opera “Peringatan akan akibat” karangan Shakespeare, diilhami dari kisah Alfu lailah wa lailah dari masa keemasan Islam.
  • Cerpen karangan sastrawan Perancis Lasange banyak mengambil inspirasi dari kitah Natan al-Hakim.
  • Sajak Divina Commedia karangan Dante Alghieri mengambil dari kitab Risalatul-Ghufran (karangan al-Ma’ariy) & Washful Jannah (karangan Ibnu Arabi).
  • Cerita Gulliver (karangan Schwift) diilhami oleh Alfu lailah wa lailah.
  • Cerita Robinson Crusoe (karangan Defoe) diilhami dari kitab ar-Risalah (karangan Hayy bin Yaqzhan yang dikenal dengan gelar Ibnu Thufail).

3. BIDANG-BIDANG LAINNYA

  • Menurut sejarawan & orientalis Perancis, Sedillot, bahw aUU Sipil Perancis pada masa Napoleon Bonaparte diilhami dari kitab al-Khalil (salah satu kitab Fiqh Maliki).
  • Dalam aspek bahasa, banyak kata-kata dalam bahasa Barat yang mengambil dari bahasa Arab, seperti : Cotton (dari Quthn), Syrup (dari Syarab), Lemon (dari Laymun), bahkan nama-nama ilmuwan Islam seperti : Avecina (dari Ibnu Sina), Averoes (dari Ibnu Rusyd), Albategnius (dari Al-Baththani), Ibn Yunis (dari Ibnu Yunus), dll.

C. PERBANDINGAN PERADABAN ISLAM DAN BARAT DI ABAD PERTENGAHAN

1. SEBAGIAN SISI GELAP PERADABAN BARAT

  • Terjadinya pengadilan terhadap “Tikus” di pengadilan Autunne di Perancis abad ke-15, karena tikus dianggap “bersalah” telah memakan tanaman gandum.
  • Pengadilan & hukuman mati yang dijatuhkan terhadap “Kucing” abad ke-15 di Inggris , dikarenakan diduga telah membantu para “tukang Sihir” dalam melakukan kejahatannya.
  • Pengadilan terhadap “Ayam yang bertelur” di pengadilan Palle, Swiss abad ke-14.
  • Pengadilan & pembunuhan besar-besaran kepada para ilmuwan seperti Nicholas Copernicus & Galileo Galilei karena mengemukakan teori Heliosentris, sementara teori yg berlaku saat itu adalah Geosentris (teori Claudius Ptolemeus). Tycho Brahe (seorang ilmuwan German) bahkan kehilangan sebelah telinganya karena berani menyatakan bahwa Venus memiliki fase-fase seperti bulan, dll.
  • Kesemuanya ini terjadi sehingga pada masa tersebut di Barat dikenal dengan nama “the Dark Ages”.

2. MUTIARA PERADABAN ISLAM

  • Keadilan Islam pada binatang (lawan dari kondisi di Barat di atas), pada masa Khalifah Umar bin Abdul ‘Aziz (sekitar tahun 800 M) sudah dibuat al-Marjul Akhdhar (badan sosial yang dibentuk untuk merawat binatang yang sakit & tua, seperti Kucing, Kuda, dll), sebelum dunia terkagum-kagum pada kelompok Greenpeace.
  • Bahkan ada hadits-hadits tertentu yang memerintahkan untuk berbuat adil pada binatang, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Syaddad bin Aus ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah memerintahkan berbuat ihsan kepada segala sesuatu, maka apabila kamu menyembelih binatang maka sembelihlah dengan baik, yaitu dengan menajamkan pisaunya & menenangkan hewan itu.” (HR Bukhari & Muslim).
  • Hal ini menunjukkan bahwa jika saat ini ummat Islam terbelakang adalah karena kesalahan & kebodohan ummat itu sendiri, bukan karena Islamnya yang tidak sesuai dengan perkembangan modernisasi, telah kita lihat bahwa Barat mempelajari pengetahuan modern dari ummat Islam.

D. BAHAYA PERADABAN BARAT MODERN

DR. Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya Islam Peradaban Masa Depan (Pustaka al-Kautsar, Jakarta, 1996) menjelaskan beberapa sisi lemah peradaban Barat yang harus diwaspadai oleh kaum muslimin saat kaum muslimin berinteraksi dan mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi dari Barat.

1. DEKADENSI MORAL

Permisifisme (paham serba boleh) merupakan pangkal dari kerusakan moral dan akhlaq ummat manusia saat ini, sehingga perlu diwaspadai dan ditangkal. Kehidupan yang individualistik dan bebas tanpa batas, sehingga menabrak aturan-aturan Islam serta tidak lagi memperhatikan halal dan haram telah menimbulkan akumulasi kerusakan yang belum pernah dialami sepanjang sejarah ummat manusia. Berbagai masalah psikososial bermunculan seperti depresi, stress, drop-out, terlibat pemakaian obat terlarang dan minuman keras, kehamilan pra-nikah, kekejaman fisik, tidak betah di rumah, tidak ingin diatur dan yang paling memprihatinkan adalah berbagai penyakit seksual seperti siphilis serta HIV/AIDS [1].

WHO memperkirakan di seluruh dunia setiap hari jumlah infeksi baru bertambah 8.500 orang, 1000 diantaranya bayi dan anak-anak. Dan saat ini tidak ada sebuah negara pun yang benar-benar terbebas dari HIV/AIDS. Di Indonesia menurut WHO diperkirakan pada th 1997 sudah mencapai 35.000 – 50.000 orang [2], sementara menurut Komisi Penanggulangan AIDS nasional dan beberapa lembaga di UI diperkirakan sudah mencapai 40.000 – 100.000 orang yang terinfeksi AIDS [3].

2. KERETAKAN KELUARGA

  • No Child Double Income yaitu suatu ajaran dari materialisme yang menolak untuk memiliki anak berdasarkan banyak investasi yang harus dikeluarkan, artinya jika tidak punya anak maka pendapatan akan bisa dinikmati sepuasnya.
  • Children without Parents/broken home, yaitu fenomena anak-anak yang tidak mendapatkan perhatian dari orangtuanya, sehingga mencari perhatian dengan menghambur-hamburkan uang, narkoba, tawuran, sex bebas, dan sebagainya.
  • Suami menuntut mantan istri dan sebaliknya. Fenomena kerusakan institusi keluarga di Barat sudah sedemikian parahnya, sehingga terjadinya saling tuntut antara suami istri yang bercerai (misalnya: kasus Jane Seymour, Jane Fonda, Kim Bassinger, Susan dan Joane Collins, perancang busana Mary Mc Vaden, dan bahkan diantara ”suami-istri” lesbian Martina Navratilova dengan “pasangannya”).
  • Ibu Sewaan. Hal lain yang mengerikan dari peradaban Barat yang sedang “sakit parah” adalah berkembangnya lembaga yang menyewakan “rahim” untuk menampung hasil pembuahan dari pasangan yang ingin punya anak, tapi “malas” mengandungnya. Menurut penelitian antara 1976-1986 ada 600 bayi yang dilahirkan melalui tabung dan wanita sewaan, diperkirakan masa datang “pusat penetasan” ini semakin berkembang karena 15% pasangan suami istri Amerika tidak subur dan mandul.
  • Keluarga sejenis. Salah satu rekomendasi keputusan dari Konferensi Modern Kependudukan dan Demografi Dunia di Kairo, adalah agar negara dunia khususnya negara berkembang mendorong “hak” para pasangan dari 1 jenis kelamin untuk “menikah” sebagaimana hak manusia lainnya. dan Berkembangnya “keluarga” 1 jenis kelamin ini jelas menentang fitrah manusia yang sehat dan menimbulkan sakit, baik fisik (diantaranya AIDS) maupun mental (abnormal) dan secara jelas ditentang dan diharamkan oleh Islam sampai akhir zaman (QS 26/165-166).

E. GERAKAN PEMBANGKANGAN TERHADAP MATERIALISME DI BARAT

  • Hippies dan Vegabond. Akibat kehausan spiritual dan materialisme konsumtif masyarakat Barat maka memunculkan gerakan pemberontakan terutama dikalangan kaum muda dengan pelarian kepada minuman keras, obat-obatan terlarang dan seks. Mereka ingin menghentikan kemajuan IPTEK yang harus dibayar dengan social cost yang sangat besar dan telah mengorbankan nilai-nilai fundamental kemanusiaan.
  • Fenomena Suicide, depressi. Majalah Times dalam judul Bunuh Diri di Kalangan Remaja AS. Pada tahun 1985 telah terjadi peningkatan bunuh diri 60 orang dari kalangan remaja dan 60 orang dikalangan orangtua dari setiap 100 ribu orang AS.
  • Kriminalitas dan ketakutan. Beberapa laporan tentang kondisi moralitas masyarakat Barat di AS saat ini antara lain sebagai berikut [1] :
    • Empat dari 10 penduduk AS merasa terancam pembunuhan, pemerkosaan dan penodongan.
    • Sejumlah 52% dari masyarakat kota merasa terancam dan mempersenjatai diri. Sembilan dari 10 masyarakat AS mengunci pintu rumah mereka dengan kunci ekstra dan mengenali setiap tamu yang datang.
    • Tujuh dari 10 masyarakat AS menutup jendela mobil ketika mengendarainya dan 6 dari 10 mereka menelpon ke rumah famili yang baru saja mengunjungi mereka untuk mengetahui keselamatan mereka. Mereka mendukung pemberian wewenang yang lebih pada polisi untuk melakukan tindakan yang lebih keras terhadap orang yang dicurigai.
    • Bahkan 2 dari 3 orang menuntut diberlakukannya hukuman mati bagi penjahat dengan kekerasan.

F. PERINGATAN ILMUWAN BARAT MODERN

  • Alexis Carrel menyatakan dalam bukunya Man the Unknown [2] : Peradaban modern ini tidak sesuai dengan kita, karena ia dibentuk dengan tidak mengenal tabiat kita yang sebenarnya. Meskipun ia diciptakan dengan jerih payah kita, namun ia tidak cocok dengan ukuran dan kondisi kita.
  • Renan Dupont dalam bukunya So Human an Animal menyatakan : Setiap ilmuwan mencemaskan generasi yang lahir dalam lingkungan sosial yang buruk dan tak terkendalikan yang telah kita ciptakan sendiri.
  • John Dewey menyatakan : Peradaban yang membiarkan ilmu pengetahuan menghancurkan moral masyarakatnya adalah peradaban yang menghancurkan dirinya sendiri.
  • Arnold Toynbee menyatakan : Peradaban ini telah mengelabui mereka dan menjual nyawa mereka dengan diganti oleh bioskop dan radio. Ini adalah pemiskinan rohani yang dilukiskan Plato sebagai masyarakat Babi.
  • Roger Geraudy dengan lebih keras menyatakan : Mereka (Barat) bekerja keras menanamkan ide tentang “bom demografi” kepada negara Ketiga yang tahun 2010 nanti tak akan sanggup dipikul oleh sumber alam dunia, sementara PBB melaporkan bahwa 84,7% sumber alam dunia dikonsumsi oleh negara kaya yang hanya 1/5 penduduk dunia dan hanya 1,4% yang dikuasai 4/5 penduduk dunia yang miskin. Seolah-olah mereka mau berkata kepada negara berkembang : Mulai sekarang kalian harus secara ketat membatasi kelahiran, agar kami dapat terus merampok dan memeras sumber alam kalian.

Diposkan oleh Akhi Abananda

sumber: http://pks-paciran.blogspot.com