Posts tagged ‘teladan’

Peran Guru : Guru 3P (Pengajar, Pendidik, dan Pemimpin)

kartun-ilustrasi-pendidikan-belajar-mengajar-320x199

Oleh: Taufik Abdullah, S.Si.

Kalau kita lihat pada masa perjuangan pendidikan di negara kita, terutama pada saat proklamasi kemerdekaan. Yang paling berjasa pada saat itu adalah guru. Sebuah kata bijak mengatakan bahwa ‘Kalau ingin melihat kualitas suatu bangsa, lihatlah kualitas gurunya’, artinya bahwa keberadaan guru di sini sangat menentukan kualitas suatu bangsa, dan kualitas suatu bangsa bisa dilihat dari mutu. Peningkatan mutu bermuara pada satu masalah utama, yaitu pendidikan. Pendidikan tidak bisa terlepas dari peran guru. Guru merupakan ujung tombak proses pendidikan. Hebat atau rusaknya pemimpin baru yang dilahirkan bisa sangat dipengaruhi oleh sosok guru.

Indonesia adalah negara yang sedang mengalami perkembangan dari segi system pendidikan, namun jika kita lihat lebih dekat lagi bagaimana kondisi anak-anak muda saat ini adalah sangat memprihatinkan. Anak muda Indonesia tiba-tiba terjebak kasus narkoba, terbukti melakukan seks bebas, tidak ada lagi murid yang patuh pada gurunya, banyak murid yang melawan, seolah tidak ada didikan kedisiplinan dari sang guru. Kasihan deh anak-anak muda Indonesia. Para figure public idola mereka tak konsisten memberikan keteladanan, akibatnya, anak muda zaman sekarang menjelajah sendiri model yang diciptakan kelompok mereka sendiri untuk memuaskan hasrat pencarian jati diri mereka. Melihat kondisi pemuda Indonesia yang seperti ini, tidak ada lain yang patut menjadi idola dan teladan bagi mereka adalah guru, Untuk mewujudkan kualitas suatu bangsa, guru mempunyai tiga peran, yaitu guru sebagai pengajar, guru sebagai pendidik, dan guru sebagai pemimpin.

Guru sebagai pengajar, dalam konsep pertama guru pengajar adalah guru yang hanya mentransformasi pengetahuan yang dimilikinya kepada siswa sehingga pada batasan ini hanya pada tataran transfer of knowledge. Kedua adalah guru sebagai pendidik, bila dibandingkan pada kategori pertama karakter guru dalam tataran ini tidak hanya sebatas pada transfer of knowledge tapi juga transfer of value, penanaman nilai kepada siswa menjadi aspek penting karena pengetahuan tidak akan seimbang bila sikap arif dalam diri terkebiri, dan karakter yang terakhir yaitu guru sebagai  pemimpin merupakan guru tidak hanya dapat melakukan pengajaran dan pendidikan tapi juga dapat menciptakan iklim pembelajaran yang kondusif dan dapat berkomunikasi dengan orang tua sebagai bentuk tanggung jawabnya.

Saya sangat sepakat dengan gagasan Pak Asep Sapaat, Guru itu pemimpin. Meski bukan seorang bintang idola, tapi sadarilah bahwa guru bisa melahirkan bintang-bintang idola yang akan menjadi generasi pengganti dan berjiwa pemimpin. Pemimpin bicara soal ide dan harapan masa depan. Idenya tak melulu soal bagaimana meraih status pegawai negeri sipil, mendapat tunjangan sertifikasi, meraih jabatan struktural, dan kenikmatan dunia untuk diri sendiri.  Guru pemimpin, paham manfaatnya sangat besar untuk menyiapkan pemimpin masa depan Indonesia. Ide dan harapannya tak berorientasi AKU, tapi MEREKA, anak-anak muda Indonesia yang mesti tumbuh berkembang jiwa-jiwa kepemimpinannya. Hidup yang merdeka adalah ciri seorang guru pemimpin. Mereka tak takut dengan atasan. Mereka tak silau dengan harta dan jabatan. Hanya satu yang mereka takutkan, cara berpikir dan bersikapnya jauh dari nilai-nilai kebenaran.

Satu hal yang patut dicermati, guru memang takkan pernah jadi pemimpin jika dia miskin integritas. Karena miskin integritas, guru tak memiliki karisma dan inspirasi di mata murid-murid.  Jika guru sudah tak inspiratif bagi murid, maka konsepsi guru sebagai sosok pemimpin memang hanya akan menjadi wacana saja. Guru juga butuh figur pemimpin yang setia memberikan keteladanan. Tak lupa system yang mendukung mewudnya karakter kepemimpinan guru. Pak Sidharta Susila dalam gagasannya menjelaskan bahwa kita mesti menciptakan ruang istimewa untuk memupuk benih karakter kepemimpinan anak-anak kita, calon pemimpin masa depan Indonesia. Sekolah adalah ruang berperistiwa yang bisa dimanfaatkan guru untuk mendidik calon-calon pemimpin. Sayangnya ruang berperistiwa ini tak dikawal system dan orang berkarakter pemimpin. Tapi pimpinan yang lebih nyaman memanipulasi dari pada mendorong semua sumber daya yang dimiliki sekolah.

Tentunya kita sebagai seorang muslim pasti butuh bekal yang cukup banyak untuk hidup yang hakiki kelak di akhirat. Kebahagiaan dunia dan akhirat ada pada profesi guru. Selain mendapat penghargaan di dunia, guru juga mendapat balasan kelak di akhirat. Karena guru merupakan pengemban amanah para nabi dan orang-orang shalih. Orang yang mengikuti jejak langkah para nabi dan orang-orang shalih tidak lain balasannya adalah surga.

Banggalah kita yang sekarang menjadi guru, sebagai pewaris para nabi dan diberikan ilmu oleh sang pemberi ilmu. Itulah beberapa alasan kenapa sekarang aku bangga menjadi guru, memilih guru sebagai profesi utama. Karena sebenarnya tanpa kita sadari, setiap hari kita adalah guru, yang membedakan adalah kita berada dalam system atau tidak, dan guru menurutku adalah profesi terbaik. Allah pun telah berjanji dalam kitabnya akan mengangkat derajat yang beriman dan orang-orang yang berilmu.

Saya berharap semoga Allah selalu membimbing saya dan semua guru, menjadi guru sebagai profesi terbaik dan jalan untuk mendekatkan diri kepada-Nya.

Sumber: http://www.dakwatuna.com

Meneladani Jiwa Pembelajar Nabi Ibrahim AS

padang-pasir-dan-pohon-kurma-2

Oleh: Phisca Aditya Rosyady

Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majelis.”  maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu.” maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu, dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al-Mujadilah: 11).

Bagi seorang muslim menuntut ilmu adalah suatu kewajiban. Islam mengajarkan kita untuk menjadi pembelajar yang berkelanjutan. Hal ini dijelaskan dalam sebuah hadits yang mengatakan bahwa setiap muslim itu wajib menuntut ilmu sejak dilahirkan hingga ajal menjemputnya. Betapa pentingnya seorang muslim mengilmui suatu ilmu karena memang ilmu ibarat cahaya dalam kegelapan. Ibarat manual book Ilmu akan memberikan petunjuk bagi kita dalam menjalani hidup di dunia ini. Bahkan dalam konsep amal, ilmu menjadi unsur yang pokok, selain niat. Amalan kita akan diterima jika didasari dengan niat dan ilmu yang benar. Amal yang tidak didasari dengan niat yang benar hanya karena Allah maka akan ditolak. Begitupun jika amal tidak berlandaskan ilmu yang benar maka dikhawatirkan amalan itu tertolak karena tidak sesuai dengan tuntunan. Sehingga dalam konteks ini upaya mencari ilmu menjadi hal yang sangat penting dan urgensi mengingat setiap aktivitas kita sudah seharusnya berlandaskan ilmu yang benar agar tidak salah dalam melangkah.

Berbicara tentang menuntut ilmu ternyata tak semudah yang kita bayangkan. Namun juga tidak sesulit yang kita takutkan. Ada hal yang menarik yang bisa kita teladani dari sosok Nabi Ibrahim AS untuk menjadi seorang pembelajar yang baik.

Keingintahuan Besar dan Sikap Kritis Seorang Ibrahim Muda

Dilahirkan dari seorang bapak yang kafir kepada Allah menjadi hal yang cukup berat dirasakan oleh Ibrahim muda. Semenjak kecil sang Ayah yang juga sebagai pembuat berhala tentu tidak mengenalkan sang Anak dengan Allah sebagai Tuhannya.  Sang ayah mengajari bahwa Tuhan mereka adalah berhala. Ibrahim muda adalah seorang yang cerdas dan kritis menanggapi itu semua. Ibrahim tak puas dengan apa yang diajarkan ayahnya. Ketidakpuasan ditambah dengan sikap kritis itulah yang menyebabkan Ibrahim tergerak untuk mencari, mencari, dan mencari Tuhan yang memang benar itu siapa. Petualangan pencarian Tuhan pun berlangsung hingga Ibrahim mengira Tuhannya adalah bulan, matahari, dan seterusnya. Sampai akhirnya dia mendapatkan bahwa Tuhannya adalah Dzat yang menciptakan dia dan seluruh alam semesta ini. Dari sinilah kita bisa meneladani betapa besar keingintahuan dari seorang Ibrahim Muda dalam memecahkan suatu tanda tanya dalam hidupnya. Dan yang juga perlu kita contoh adalah semangat pencarian dari keingintahuan beliau. Keingintahuan yang besar tak hanya berhenti pada pemikiran saja, namun juga terimplementasikan dalam aksi nyata untuk mencari jawabannya. Semoga kita sebagai generasi pembelajar bisa belajar dari Ibrahim untuk kritis dalam menyikapi sesuatu dan rasa keingintahuan yang besar pada suatu hal yang termanifestasikan dalam aksi nyata.

Sabar dalam Mengilmui Suatu Hal

Nabi Ibrahim adalah sosok nabi yang mempunyai kesabaran yang luar biasa. Masih ingat betul di saat Nabi Ibrahim harus menanti untuk mendapatkan momongan, beliau harus menunggu hingga usianya sekitar 90 tahun. Penantian yang tak hanya kosong dalam stagnasi usaha. Namun Nabi Ibrahim setiap waktu menyambut penantian itu dengan doa-doa yang terus terpanjatkan kepada-Nya, selain tentunya berusaha. Inilah arti sebuah kesabaran yang bisa kita teladani. Dalam menginginkan suatu hal kita perlu bersabar dalam mencapainya, termasuk dalam proses mencari ilmu. Dalam mencari ilmu kita perlu sabar dalam menempuh proses pembelajaran itu. Sabar dalam menghadapi segala godaan yang menghalangi dan menjadi onak duri di hadapan kita. Sabar dalam menjaga semangat pembelajar sehingga tetap istiqamah di jalan pencarian ilmu ini. Kemudian hal yang terpenting juga adalah kita harus mengisi kesabaran kita dengan doa dan usaha yang senantiasa saling beriringan.

Kesabaran sangat penting bagi para pemburu ilmu. Al-Imam Ibnul Madini meriwayatkan bahwa Asy-Sya’bi pernah ditanya: “Dari mana kamu mendapat ilmu itu semua?” Beliau menjawab: “Dengan meniadakan penyadaran, menempuh perjalanan ke berbagai negeri, dan kesabaran seperti sabarnya benda mati, dan bergegas-gegas pagi-pagi seperti burung gagak”. (At-Tadzkiroh, Adz Dzahabi). Menuntut ilmu bukan hal yang instant, kita belajar kita langsung dapat ilmu yang kita inginkan. Bukan seperti itu, namun mencari ilmu adalah proses yang panjang. Apalagi kita tahu bahwa mencari Ilmu itu sebuah masa yang cukup panjang bagi kita, bayangkan saja kita sebagai seorang muslim diwajibkan menuntut ilmu dari buaian hingga liang lahat. Menuntut ilmu bukan hanya dalam konteks akademik apalagi hanya sebatas mengikuti anjuran pemerintah yakni memenuhi tuntutan Wajib Belajar 12 Tahun. Menuntut ilmu bagi seorang muslim adalah berkelanjutan dan tiada akhir. Sehingga tentu perlu kesabaran yang luar biasa sebagai kekuatan dalam menjaga semangat berkelanjutan dalam menuntut Ilmu. Dan dengan sabarlah ilmu kita akan bertahan dan dengan sabarlah ilmu akan didekatkan dengan pencarinya.

Ikhlas dan Taat Menjalani Perintah

Ikhlas dalam melaksanakan ketaatan. Memiliki anak adalah kebanggaan para orangtua. Begitu sayangnya, para orangtua akan berupaya mati-matian menjaga keselamatan buah hatinya. Nabi Ibrahim AS setelah sekian lama menunggu dianugerahi seorang anak, di saat anak itu sudah dewasa Allah memerintahkan untuk menyembelihnya. Menyembelih anak sendiri sungguh sangatlah sulit dilakukan walaupun hal tersebut atas perintah Allah SWT. Hanya orang yang benar-benar ikhlas semata-mata mengharap ridha Allah SWT yang mampu melaksanakannya. Nabi Ibrahim as adalah contoh kongkretnya. Berbeda halnya dengan kita, kadang berkurban pun masih sempat-sempatnya ingin pamer ketaatan kepada manusia.

Membuktikan ketaatan kepada Allah SWT, tak mungkin hanya setengah-setengah atau ala kadarnya. Haruslah totalitas dan kaffah menjalani perintah Allah itu. Banyak sekali firman Allah SWT yang menyinggung masalah pengorbanan dalam pembuktian ketaatan. Misalnya Allah SWT berfirman (yang artinya): Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak kalian, anak-anak kalian, saudara-saudara kalian, istri-istri kalian, kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kalian sukai, adalah lebih kalian cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS at-Taubah [9]: 24).

Ketaatan adalah salah satu modal utama bagi para pembelajar. Sebagai pembelajar yang senantiasa haus akan ilmu kita perlu taat dalam menjalani proses pencarian ilmu itu. Dalam kenyataannya, kita bisa menggunakan konsep ketaatan ini saat kita diberikan perintah oleh guru kita. Seperti Nabi Ibrahim saat diberikan perintah oleh Allah, kita tidak usah banyak tanya dan banyak cakap. Kalau kita sudah percaya kepada Guru kita, segeralah melaksanakan perintah itu.  Begitupun terhadap perintah Allah lainnya, kita harus senantiasa menjalani perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Jangan sampai sebagai pembelajar kita justru sering bermaksiat dan berbuat khilaf. Hal ini akan menjadi penghalang terhadap ilmu-ilmu untuk sampai kepada kita.

Demikian jiwa pembelajar yang diajarkan oleh Bapak dari Para Nabi yakni Nabi Ibrahim AS. Kritis terhadap lingkungan kita dan memiliki keingintahuan yang besar sebagai langkah awal kita dalam mencari ilmu. Kemudian mencari ilmu dengan penuh kesabaran dan tak kenal lelah akan berbagai onak duri, selalu menjaga semangat berkelanjutan dalam jiwa kita. Terakhir kita harus ikhlas dan taat dalam menjalani proses yang ada serta tentunya jangan lupa kita niatkan bahwa menuntut ilmu adalah ibadah dan bentuk rasa syukur kita kepada Allah. Kalau sudah seperti itu insya Allah ilmu akan didekatkan kepada para pembelajar yang haus akan ilmu. Semoga kita termasuk hamba-Nya yang senantiasa diberikan kekuatan untuk tetap istiqamah dalam menapaki jalan pencarian ilmu. Dikuatkan untuk menahan lelahnya menuntut ilmu, agar terhindari dari perihnya kebodohan.

Nuun Wal Qalami Wa Maa Yasthuruun.

Sumber: http://www.dakwatuna.com

PENDIDIKAN KARAKTER: Penting, Tapi Tidak Cukup!

pendidikan-karakter

Oleh: Dr. Adian Husaini
(Peneliti INSISTS/Ketua Program Studi Pendidikan Islam,Program Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor)

*****

“Good character is more to be praised than outstanding talent. Most talents are to some axtent a gift. Good character, by contranst, is not given to us. We have to build it peace by peace – by thought, choice, courage and determination.” (John Luther, dikutip dari Ratna Megawangi, Semua Berakar Pada Karakter (Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI, 2007).

“Oleh sebab wujudmu belum masak,
Kau menjadi hina-terlempar
Oleh sebab tubuhmu lunak,
Kau pun dibakar orang,
Jauhilah ketakutan, duka dan musuh hati,
Jadilah kuat seperti batu, jadilah intan.”

(Dr. Moh. Iqbal, dari puisi bertajuk “Kisah Intan dan Batu Arang”, terjemah Kol. Drs. Bahrum Rangkuti dalam buku Asrari Khudi, Rahasia-Rasia Pribadi, (Jakarta: Pustaka Islam, 1953).

*****

Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Pendidikan Nasional sudah mencanangkan penerapan pendidikan karakter untuk semua tingkat Pendidikan, dari SD – Perguruan Tinggi. Menurut Mendiknas, Prof. Muhammad Nuh, pembentukan karakter perlu dilakukan sejak usia dini. Jika karakter sudah terbentuk sejak usia dini, kata Mendiknas, maka tidak akan mudah untuk mengubah karakter seseorang. Ia juga berharap, pendidikan karakter dapat membangun kepribadian bangsa. Mendiknas mengungkapkan hal ini saat berbicara pada pertemuan Pimpinan Pascasarjana LPTK Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) se-Indonesia di Auditorium Universitas Negeri Medan (Unimed), Sabtu (15/4/2010).

Munculnya gagasan program pendidikan karakter di Indonesia, bisa dimaklumi. Sebab, selama ini dirasakan, proses pendidikan dirasakan belum berhasil membangun manusia Indonesia yang berkarakter. Bahkan, banyak yang menyebut, pendidikan telah gagal, karena banyak lulusan sekolah atau sarjana yang piawai dalam menjawab soal ujian, berotak cerdas, tetapi mental dan moralnya lemah.

Banyak pakar bidang moral dan agama yang sehari-hari mengajar tentang kebaikan, tetapi perilakunya tidak sejalan dengan ilmu yang diajarkannya. Sejak kecil, anak-anak diajarkan menghafal tentang bagusnya sikap jujur, berani, kerja keras, kebersihan, dan jahatnya kecurangan. Tapi, nilai-nilai kebaikan itu diajarkan dan diujikan sebatas pengetahuan di atas kertas dan dihafal sebagai bahan yang wajib dipelajari, karena diduga akan keluar dalam kertas soal ujian.

Pendidikan karakter bukanlah sebuah proses menghafal materi soal ujian, dan teknik-teknik menjawabnya. Pendidikan karakter memerlukan pembiasaan. Pembiasaan untuk berbuat baik; pembiasaan untuk berlaku jujur, ksatria; malu berbuat curang; malu bersikap malas; malu membiarkan lingkungannya kotor. Karakter tidak terbentuk secara instan, tapi harus dilatih secara serius dan proporsional agar mencapai bentuk dan kekuatan yang ideal.

Di sinilah bisa kita pahami, mengapa ada kesenjangan antara praktik  pendidikan dengan karakter peserta didik. Bisa dikatakan, dunia Pendidikan di Indonesia kini sedang memasuki masa-masa yang sangat pelik. Kucuran anggaran pendidikan yang sangat besar disertai berbagai program terobosan sepertinya belum mampu memecahkan persoalan mendasar dalam dunia pendidikan, yakni bagaimana mencetak alumni pendidikan yang unggul, yang beriman, bertaqwa, profesional, dan berkarakter, sebagaimana tujuan pendidikan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional.

Dalam bukunya yang berjudul, Pribadi (Jakarta: Bulan Bintang, 1982, cet.ke-10), Prof. Hamka memberikan gambaran tentang sosok manusia yang pandai tapi tidak memiliki pribadi yang unggul:

”Banyak guru, dokter, hakim, insinyur, banyak orang yang bukunya satu gudang dan diplomanya segulung besar, tiba dalam masyarakat menjadi ”mati”, sebab dia bukan orang masyarakat. Hidupnya hanya mementingkan dirinya, diplomanya hanya untuk mencari harta, hatinya sudah seperti batu, tidak mampunyai cita-cita, lain dari pada kesenangan dirinya. Pribadinya tidak kuat. Dia bergerak bukan karena dorongan jiwa dan akal. Kepandaiannya yang banyak itu kerap kali menimbulkan takutnya. Bukan menimbulkan keberaniannya memasuki lapangan hidup.”

Budayawan Mochtar Lubis, bahkan pernah memberikan deskripsi karakter bangsa Indonesia yang sangat negatif. Dalam ceramahnya di Taman Ismail Marzuki, 6 April 1977, Mochtar Lubis mendeskripsikan ciri-ciri umum manusia Indonesia sebagai berikut: munafik, enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, masih percaya takhayul, lemah karakter, cenderung boros, suka jalan pintas, dan sebagainya. Lebih jauh, Mochtar Lubis mendeskripsikan ciri-ciri utama manusia Indonesia:
1. “Salah satu ciri manusia Indonesia yang cukup menonjol ialah HIPOKRITIS alias MUNAFIK. Berpura-pura, lain di muka, lain di belakang, merupakan sebuah ciri utama manusia Indonesia sudah sejak lama, sejak mereka dipaksa oleh kekuatankekuatan dari luar untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya dirasakannya atau dipikirkannya atau pun yang sebenarnya dikehendakinya, karena takut akan mendapat ganjaran yang membawa bencana bagi dirinya.”
2. “Ciri kedua utama manusia Indonesia masa kini adalah segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, putusannya, kelakukannya, pikirannya, dan sebagainya. “Bukan saya” adalah kalimat yang cukup populer pula di mulut manusia Indonesia.”
3. “Ciri ketiga utama manusia Indonesia adalah jiwa feodalnya. Meskipun salah satu tujuan revolusi kemerdekaan Indonesia ialah juga untuk membebaskan manusia Indonesia dari feodalisme, tetapi feodalisme dalam bentuk-bentuk baru makin berkembang dalam diri dan masyarakat manusia Indonesia.”
4. “Ciri keempat utama manusia Indonesia adalah manusia Indonesia masih percaya takhayul. Dulu, dan sekarang juga, masih ada yang demikian, manusia Indonesia percaya bahwa batu, gunung, pantai, sungai, danau, karang, pohon, patung, bangunan, keris, pisau, pedang, itu punya kekuatan gaib, keramat, dan manusia harus mengatur hubungan khusus dengan ini semua…”
“Kemudian, kita membuat mantera dan semboyan baru, jimat-jimat baru, Tritura, Ampera, orde baru, the rule of law, pemberantasan korupsi, kemakmuran yang merata dan adil, insan pembangunan. Manusia Indonesia sangat mudah cenderung percaya pada menara dan semboyan dan lambang yang dibuatnya sendiri.”
5. “Ciri keenam manusia Indonesia punya watak yang lemah. Karakter kurang kuat. Manusia Indonesia kurang kuat mempertahankan atau memperjuangkan keyakinannya. Dia mudah, apalagi jika dipaksa, dan demi untuk “survive” bersedia mengubah keyakinannya. Makanya kita dapat melihat gejala pelacuran intelektual amat mudah terjadi dengan manusia Indonesia.”
6. “Dia cenderung boros. Dia senang berpakaian bagus, memakai perhiasan, berpestapesta. Hari ini ciri manusia Indonesia ini menjelma dalam membangun rumah mewah, mobil mewah, pesta besar, hanya memakai barang buatan luar negeri, main golf, singkatnya segala apa yang serba mahal.” “Dia lebih suka tidak bekerja keras, kecuali kalau terpaksa… atau dengan mudah mendapat gelar sarjana, sampai memalsukan atau membeli gelar sarjana, supaya segera dapat pangkat, dan dari kedudukan berpangkat cepat bisa menjadi kaya. Jadi priyayi, jadi pegawai negeri adalah idaman utama, karena pangkat demikian merupakan lambang status yang tertinggi.” (Mochtar Lubis, Manusia Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001).

Tentu, silakan tidak bersetuju dengan pendapat Mochtar Lubis!

*****

book-karakter

Banyak pendidik percaya, karakter suatu bangsa terkait dengan prestasi yang diraih oleh bangsa itu dalam berbagai bidang kehidupan. Dr. Ratna Megawangi, dalam bukunya, Semua Berakar Pada Karakter (Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI, 2007), mencontohkan, bagaimana kesuksesan Cina dalam menerapkan pendidikan karakter sejak awal tahun 1980-an. Menurutnya, pendidikan karakter adalah untuk mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving the good, and acting the good. Yakni, suatu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik, sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart, and hands.

Dr. Ratna Megawangi termasuk salah cendekiawan yang sangat gencar mempromosikan pendidikan karakter, melalui berbagai aktivitas dan tulisannya. Pendidikan karakter by definition adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras, dan sebagainya (Thomas Lickona, 1991). Aristoteles, kabarnya, juga berpendapat bahwa karakter itu erat kaitannya dengan kebiasaan yang kerap dimanifestasikan dalam tingkah laku.

Russel Williams, seperti dikutip Ratna, menggambarkan karakter laksana “otot”, yang akan menjadi lembek jika tidak dilatih. Dengan latihan demi latihan, maka “otot-otot” karakter akan menjadi kuat dan akan mewujud menjadi kebiasaan (habit). Orang yang berkarakter tidak melaksanakan suatu aktivitas karena takut akan hukuman, tetapi karena mencintai kebaikan (loving the good). Karena cinta itulah, maka muncul keinginan untuk berbuat baik (desiring the good).

Pemimpin Cina, Deng Xiaoping, pad atahun 1985 sudah mencangkan pentingnya pendidikan karakter: Throughout the reform of the education system, it is imperative to bear in mind that reform is for the fundamental purpose of turning every citizen into a man or woman of character and cultivating more constructive members of society. Li Lanqing, mantan wakil PM Cina, dalam bukunya, Educations for 1.3 Billion, menjelaskan reformasi pendidikan yang dijalankan di Cina. Ia menulis: After many years of practice, character education has become the consensus of educators and people from all walks of life across this nation. It is being advanced in a comprehensive way.”

Menurut Ratna Megawangi, pendidikan karakter memerlukan keterlibatan semua aspek dimensi manusia, sehingga tidak sesuai dengan sistem pendidikan yang terlalu menekankan pada aspek hafalan dan orientasi untuk lulus ujian. Dalam bukunya, Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, (2010), Doni Koesoema Albertus menulis, bahwa pendidikan karakter bertujuan membentuk setiap pribadi menjadi insan yang berkeutamaan. Dalam pendidikan karakter, yang terutama dinilai adalah perilaku, bukan pemahaman nya. Doni membedakan pendidikan karakter dengan pendidikan moral atau pendidikan agama. Pendidikan agama dan kesadaran akan nilai-nilai religius menjadi motivator utama keberhasilan pendidikan karakter.
Tetapi, Doni yang meraih sarjana teologi di Universitas Gregoriana Roma Italia, agama tidak dapat dipakai sebagai pedoman pengatur dalam kehidupan bersama dalam sebuah masyarakat yang plural. ”Di zaman modern yang sangat multikultural ini, nilai-nilai agama tetap penting dipertahankan, namun tidak dapat dipakai sebagai dasar kokoh bagi kehidupan bersama dalam masyarakat. Jika nilai agama ini tetap dipaksakan dalam konteks masyarakat yang plural, yang terjadi adalah penindasan oleh kultur yang kuat pada mereka yang lemah,” tulisnya.
Oleh karena itu, simpul Doni K. Albertus, meskipun pendidikan agama penting dalam membantu mengembangkan karakter individu, ia bukanlah fondasi yang efektif bagi suatu tata sosial yang stabil dalam masyarakat majemuk. Dalam konteks ini, nilai-nilai moral akan bersifat lebih operasional dibandingkan dengan nilai-nilai agama. Namun demikian, nilai-nilai moral, meskipun bisa menjadi dasar pembentuk perilaku, tidak lepas dari proses hermeneutis yang bersifat dinamis dan dialogis.
Dalam pandangan Islam, pandangan sekularistik Doni K. Albertus semacam itu, tentu tidak dapat diterima. Sebab, bagi Muslim, nilai-nilai Islam diyakini sebagai pembentuk karakter dan sekaligus bisa menjadi dasar nilai bagi masyarakat majemuk. Masyarakat Madinah yang dipimpin Nabi Muhamamd saw, berdasarkan kepada nilai-nilai Islam, baik bagi pribadi Muslim maupun bagi masyarakat plural. Memang ada pengalaman sejarah keagamaan yang berbeda antara Katolik dengan Islam.
Namun, dalam soal pendidikan karakter bagi anak didik, berbagai agama bisa bertemu. Islam dan Kristen dan berbagai agama lain bisa bertemu dalam penghormatan terhadap nilai-nilai keutamaan. Nilai kejujuran, kerja keras, sikap ksatria, tanggung jawab, semangat pengorbanan, dan komitmen pembelaan terhadap kaum lemah dan tertindas, bisa diakui sebagai nilai-nilai universal yang mulia. Bisa jadi, masing-masing pemeluk agama mendasarkan pendidikan karakter pada nilai agamanya masing-masing.
Terlepas dari perdebatan konsep-konsep pendidikan karakter, bangsa Indonesia memang memerlukan model pendidikan semacam ini. Sejumlah negara sudah mencobanya. Indonesia bukan tidak pernah mencoba menerapkan pendidikan semacam ini. Tetapi, pengalaman menunjukkan, berbagai program pendidikan dan pengajaran – seperti pelajaran Budi Pekerti, Pendidikan Pancasila dan Kewargaan Negara (PPKN), Pendidikan Moral Pancasila (PMP), Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), – belum mencapai hasil optimal, karena pemaksaan konsep yang sekularistik dan kurang seriusnya aspek pengalaman. Dan lebih penting, tidak ada contoh dalam program itu! Padahal, program pendidikan karakter, sangat memerlukan contoh dan keteladanan. Kalau hanya slogan dan ’omongan’, orang Indonesia dikenal jagonya!

Harap maklum, konon, orang Indonesia dikenal piawai dalam menyiasati kebijakan dan peraturan. Ide UAN, mungkin bagus! Tapi, di lapangan, banyak yang bisa menyiasati bagaimana siswanya lulus semua. Sebab, itu tuntutan pejabat dan orang tua. Guru tidak berdaya. Kebijakan sertifikasi guru, bagus! Tapi, karena mental materialis dan malas sudah bercokol, kebijakan itu memunculkan tradisi berburu sertifikat, bukan berburu ilmu! Bukan tidak mungkin, gagasan Pendidikan Karakter ini nantinya juga menyuburkan bangku-bangku seminar demi meraih sertifikat pendidikan karakter, untuk meraih posisi dan jabatan tertentu.

*****

Mohammad Natsir, salah satu Pahlawan Nasional, tampaknya percaya betul dengan ungkapan Dr. G.J. Nieuwenhuis: ”Suatu bangsa tidak akan maju, sebelum ada di antara bangsa itu segolongan guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya.”
Menurut rumus ini, dua kata kunci kemajuan bangsa adalah “guru” dan “pengorbanan”. Maka, awal kebangkitan bangsa harus dimulai dengan mencetak “guru-guru yang suka berkorban”. Guru yang dimaksud Natsir bukan sekedar “guru pengajar dalam kelas formal”. Guru adalah para pemimpin, orang tua, dan juga pendidik. Guru adalah teladan. “Guru” adalah “digugu” (didengar) dan “ditiru” (dicontoh). Guru bukan sekedar terampil mengajar bagaimana menjawab soal Ujian Nasional, tetapi diri dan hidupnya harus menjadi contoh bagi murid-muridnya.

Mohammad Natsir adalah contoh guru sejati, meski tidak pernah mengenyam pendidikan di fakultas keguruan dan pendidikan. Hidupnya dipenuhi dengan idealisme tinggi memajukan dunia pendidikan dan bangsanya. Setamat AMS (Algemene Middelbare School) di Bandung, dia memilih terjun langsung ke dalam perjuangan dan pendidikan. Ia dirikan Pendis (Pendidikan Islam) di Bandung. Di sini, Natsir memimpin, mengajar, mencari guru dan dana. terkadang, ia keliling ke sejumlah kota mencari dana untuk keberlangsungan pendidikannya. Kadangkala, perhiasan istrinya pun digadaikan untuk menutup uang kontrak tempat sekolahnya.

Disamping itu, Natsir juga melakukan terobosan dengan memberikan pelajaran agama kepada murid-murid HIS, MULO, dan Kweekschool (Sekolah Guru). Ia mulai mengajar agama dalam bahasa Belanda. Kumpulan naskah pengajarannya kemudian dibukukan atas permintaan Sukarno saat dibuang ke Endeh, dan diberi judul Komt tot Gebeid (Marilah Shalat).

Kisah Natsir dan sederet guru bangsa lain sangat penting untuk diajarkan di sekolahsekolah dengan tepat dan benar. Natsir adalah contoh guru yang berkarakter dan bekerja keras untuk kemajuan bangsanya. Ia adalah orang yang sangat haus ilmu. Cita-citanya bukan untuk meraih ilmu kemudian untuk mengeruk keuntungan materi dengan ilmunya. Tapi, dia sangat haus ilmu, lalu mengamalkannya demi kemajuan masyarakatnya.

Pada 17 Agustus 1951, hanya 6 tahun setelah kemerdekaan RI, M. Natsir melalui sebuah artikelnya yang berjudul “Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut”, Natsir mengingatkan bahaya besar yang dihadapi bangsa Indonesia, yaitu mulai memudarnya semangat pengorbanan. Melalui artikelnya ini, Natsir menggambarkan betapa jauhnya kondisi manusia Indonesia pasca kemerdekaan dengan prakemerdekaan. Sebelum kemerdekaan, kata Natsir, bangsa Indonesia sangat mencintai pengorbanan. Hanya enam tahun sesudah kemerdekaan, segalanya mulai berubah. Natsir menulis:

“Dahulu, mereka girang gembira, sekalipun hartanya habis, rumahnya terbakar, dan anaknya tewas di medan pertempuran, kini mereka muram dan kecewa sekalipun telah hidup dalam satu negara yang merdeka, yang mereka inginkan dan cita-citakan sejak berpuluh dan beratus tahun yang lampau… Semua orang menghitung pengorbanannya, dan minta dihargai…Sekarang timbul penyakit bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu dan merajalela sifat serakah… Tak ada semangat dan keinginan untuk memperbaikinya. Orang sudah mencari untuk dirinya sendiri, bukan mencari cita-cita yang diluar dirinya…”

Peringatan Natsir hampir 60 tahun lalu itu perlu dicermati oleh para elite bangsa, khususnya para pejabat dan para pendidik. Jika ingin bangsa Indonesia menjadi bangsa besar yang disegani di dunia, wujudkanlah guru-guru yang mencintai pengorbanan dan bisa menjadi teladan bagi bangsanya. Beberapa tahun menjelang wafatnya, Natsir juga menitipkan pesan kepada sejumlah cendekiawan yang mewawancarainya, ”Salah satu penyakit bangsa Indonesia, termasuk umat Islamnya, adalah berlebih-lebihan dalam mencintai dunia.” Lebih jauh, kata Natsir:

”Di negara kita, penyakit cinta dunia yang berlebihan itu merupakan gejala yang ”baru”, tidak kita jumpai pada masa revolusi, dan bahkan pada masa Orde Lama (kecuali pada sebagian kecil elite masyarakat). Tetapi, gejala yang ”baru” ini, akhirakhir ini terasa amat pesat perkembangannya, sehingga sudah menjadi wabah dalam masyarakat. Jika gejala ini dibiarkan berkembang terus, maka bukan saja umat Islam akan dapat mengalami kejadian yang menimpa Islam di Spanyol, tetapi bagi bangsa kita pada umumnya akan menghadapi persoalan sosial yang cukup serius.”

*****

Seorang dosen fakultas kedokteran pernah menyampaikan keprihatinan kepada saya. Berdasarkan survei, separoh lebih mahasiswa kedokteran di kampusnya mengaku, masuk fakultas kedokteran untuk mengejar materi. Menjadi dokter adalah baik. Menjadi ekonom, ahli teknik, dan berbagai profesi lain, memang baik. Tetapi, jika tujuannya adalah untuk mengeruk kekayaan, maka dia akan melihat biaya kuliah yang dia keluarkan sebagai investasi yang harus kembali jika dia lulus kuliah. Ia kuliah bukan karena mencintai ilmu dan pekerjaannya, tetapi karena berburu uang!
Kini, sebagaimana dikatakan Natsir, yang dibutuhkan bangsa ini adalah “guru-guru sejati” yang cinta berkorban untuk bangsanya. Bagaimana murid akan berkarakter; jika setiap hari dia melihat pejabat mengumbar kata-kata, tanpa amal nyata. Bagaimana anak didik akan mencintai gurunya, sedangkan mata kepala mereka menonton guru dan sekolahnya materialis, mengeruk keuntungan sebesar-besarnya melalui lembaga pendidikan.

Pendidikan karakter adalah perkara besar. Ini masalah bangsa yang sangat serius. Bukan urusan Kementerian Pendidikan semata. Presiden, menteri, anggota DPR, dan para pejabat lainnya harus memberi teladan. Jangan minta rakyat hidup sederhana, hemat BBM, tapi rakyat dan anak didik dengan jelas melihat, para pejabat sama sekali tidak hidup sederhana dan mobil-mobil mereka – yang dibiayai oleh rakyat – adalah mobil impor dan sama sekali tidak hemat.

Pada skala mikro, pendidikan karakter ini harus dimulai dari sekolah, pesantren, rumah tangga, juga Kantor Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama. Dari atas sampai ke bawah, dan sebaliknya. Sebab, guru, murid, dan juga rakyat sudah terlalu sering melihat berbagai paradoks. Banyak pejabat dan tokoh agama bicara tentang taqwa; berkhutbah bahwa yang paling mulia diantara kamu adalah yang taqwa. Tapi, faktanya, saat menikahkan anaknya, yang diberi hak istimewa dan dipandang mulia adalah pejabat dan yang berharta. Rakyat kecil dan orang biasa dibiarkan berdiri berjam-jam mengantri untuk bersalaman.

Kalau para tokoh agama, dosen, guru, pejabat, lebih mencintai dunia dan jabatan, ketimbang ilmu, serta tidak sejalan antara kata dan perbuatan, maka percayalah, Pendidikan Karakter yang diprogramkan Kementerian Pendidikan hanya akan berujung slogan!

*****

Tidak cukup!

Jika bangsa Cina maju sebagai hasil pendidikan karakter, lalu apa bedanya orang komunis yang berkarakter dengan orang muslim yang berkarakter? Orang komunis, atau ateis, bisa saja menjadi pribadi yang jujur, pekerja keras, berani, bertanggung jawab, mencintai kebersihan, dan sebagainya. Orang muslim juga bisa seperti itu. Dimana letak bedanya?

Bedanya pada konsep adab. Yang diperlukan oleh kaum Muslim Indonesia bukan hanya menjadi seorang yang berkarakter, tetapi harus menjadi seorang yang berkarakter dan beradab. Pendiri Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Asy’ari, misalnya, dalam kitabnya, Ādabul Ālim wal-Muta’allim, mengutip pendapat Imam al-Syafi’i yang menjelaskan begitu pentingnya kedudukan adab dalam Islam. Bahkan, Sang Imam menyatakan, beliau mengejar adab laksana seorang ibu yang mengejar anak satu-satunya yang hilang.

Lalu, Syaikh Hasyim Asy’ari mengutip pendapat sebagian ulama: ”at-Tawhīdu yūjibul īmāna, faman lā īmāna lahū lā tawhīda lahū; wal-īmānu yūjibu al-syarī’ata, faman lā syarī’ata lahū, lā īmāna lahū wa lā tawhīda lahū; wa al-syarī’atu yūjibu al-adaba, faman lā ādaba lahū, lā syarī’ata lahū wa lā īmāna lahū wa lā tawhīda lahū.” (Hasyim Asy’ari, Ādabul Ālim wal-Muta’allim, Jombang: Maktabah Turats Islamiy, 1415 H). hal. 11).

Jadi, secara umum, menurut Kyai Hasyim Asy’ari, Tauhid mewajibkan wujudnya iman. Barangsiapa tidak beriman, maka dia tidak bertauhid; dan iman mewajibkan syariat, maka barangsiapa yang tidak ada syariat padanya, maka dia tidak memiliki iman dan tidak bertauhid; dan syariat mewajibkan adanya adab; maka barangsiapa yang tidak beradab maka (pada hakekatnya) tiada syariat, tiada iman, dan tiada tauhid padanya.

Jadi, betapa pentingnya kedudukan adab dalam ajaran Islam. Lalu, apa sebenarnya konsep adab? Uraian yang lebih rinci tentang konsep adab dalam Islam disampaikan oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, pakar filsafat dan sejarah Melayu. Menurut Prof. Naquib al-Attas, adab adalah “pengenalan serta pengakuan akan hak keadaan sesuatu dan kedudukan seseorang, dalam rencana susunan berperingkat martabat dan darjat, yang merupakan suatu hakikat yang berlaku dalam tabiat semesta.” Pengenalan adalah ilmu; pengakuan adalah amal. Maka, pengenalan tanpa pengakuan seperti ilmu tanpa amal; dan pengakuan tanpa pengenalan seperti amal tanpa ilmu. ”Keduanya sia-sia kerana yang satu mensifatkan keingkaran dan keangkuhan, dan yang satu lagi mensifatkan ketiadasedaran dan kejahilan,” demikian Prof. Naquib al-Attas. (SM Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, (ISTAC, 2001).

Begitu pentingnya masalah adab ini, maka bisa dikatakan, jatuh-bangunnya umat Islam, tergantung sejauh mana mereka dapat memahami dan menerapkan konsep adab ini dalam kehidupan mereka. Manusia yang beradab terhadap orang lain akan paham bagaimana mengenali dan mengakui seseorang sesuai harkat dan martabatnya. Martabat ulama yang shalih beda dengan martabat orang fasik yang durhaka kepada Allah. Jika al-Quran menyebutkan, bahwa manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling taqwa (QS 49:13), maka seorang yang beradab tidak akan lebih menghormat kepada penguasa yang zalim ketimbang guru ngaji di kampung yang shalih. Dalam masyarakat yang beradab, seorang penghibur tidak akan lebih dihormati ketimbang pelajar yang memenangkan Olimpiade fisika. Seorang pelacur atau pezina ditempatkan pada tempatnya, yang seharusnya tidak lebih tinggi martabatnya dibandingkan muslimah-muslimah yang shalihah. Itulah adab kepada sesama manusia.

Adab juga terkait dengan ketauhidan, sebab adab kepada Allah mengharuskan seorang manusia tidak menserikatkan Allah dengan yang lain. Tindakan menyamakan al-Khaliq dengan makhluk merupakan tindakan yang tidak beradab. Karena itulah, maka dalam al-Quran disebutkan, Allah murka karena Nabi Isa a.s. diangkat derajatnya dengan al-Khaliq, padahal dia adalah makhluk. Tauhid adalah konsep dasar bagi pembangunan manusia beradab. Menurut pandangan Islam, masyarakat beradab haruslah meletakkan al-Khaliq pada tempat-Nya sebagai al-Khaliq, jangan disamakan dengan makhluq.

Itulah adab kepada Allah SWT. Nabi Muhammad saw adalah juga manusia. Tetapi, beliau berbeda dengan manusia lainnya, karena beliau adalah utusan Allah. Sesama manusia saja tidak diperlakukan sama. Seorang presiden dihormati, diberi pengawalan khusus, diberikan gaji yang lebih tinggi dari gaji guru ngaji, dan sering disanjung-sanjung, meskipun kadangkala keliru. Orang berebut untuk menjadi Presiden karena dianggap jika menjadi Presiden akan menjadi orang terhormat atau memiliki kekuasaan besar sehingga dapat melakukan perubahan.
Sebagai konsekuensi adab kepada Allah, maka adab kepada Rasul-Nya, tentu saja adalah dengan cara menghormati, mencintai, dan menjadikan Sang Nabi saw sebagai suri tauladan kehidupan (uswah hasanah). Setelah beradab kepada Nabi Muhammad saw, maka adab berikutnya adalah adab kepada ulama. Ulama adalah pewaris nabi. Maka, kewajiban kaum Muslim adalah mengenai, siapa ulama yang benar-benar menjalankan amanah risalah, dan siapa ulama ”palsu” atau ”ulama jahat (ulama su’). Ulama jahat harus dijauhi, sedangkan ulama yang baik harus dijadikan panutan dan dihormati sebagai ulama. Mereka tidak lebih rendah martabatnya dibandingkan dengan para umara. Maka, sangatlah keliru jika seorang ulama merasa lebih rendah martabatnya dibandingkan dengan penguasa. Adab adalah kemampuan dan kemauan untuk mengenali segala sesuatu sesuai dengan martabatnya. Ulama harusnya dihormati karena ilmunya dan ketaqwaannya, bukan karena kepintaran bicara, kepandaian menghibur, dan banyaknya pengikut. Maka, manusia beradab dalam pandangan Islam adalah yang mampu mengenali siapa ulama pewaris nabi dan siapa ulama yang palsu sehingga dia bisa meletakkan ulama sejati pada tempatnya sebagai tempat rujukan.

Syekh Wan Ahmad al Fathani dari Pattani, Thailand Selatan, (1856-1908), dalam kitabnya Hadiqatul Azhar war Rayahin (Terj. Oleh Wan Shaghir Abdullah), berpesan agar seseorang mempunyai adab, maka ia harus selalu dekat dengan majelis ilmu. Syekh Wan Ahmad menyatakan : “Jadikan olehmu akan yang sekedudukan engkau itu (majelis) perhimpunan ilmu yang engkau muthalaah akan dia. Supaya mengambil guna engkau daripada segala adab dan hikmah.”
Karena itulah, sudah sepatutnya dunia pendidikan kita sangat menekankan proses ta’dib, sebuah proses pendidikan yang mengarahkan para siswanya menjadi orang-orang yang beradab. Sebab, jika adab hilang pada diri seseorang, maka akan mengakibatkan kezaliman, kebodohan dan menuruti hawa nafsu yang merusak. Karena itu, adab mesti ditanamkan pada seluruh manusia dalam berbagai lapisan, pada murid, guru, pemimpin rumah tangga, pemimpin bisnis, pemimpin masyarakat dan lainnya.
Islam memandang kedudukan ilmu sangatlah penting, sebagai jalan mengenal Allah dan beribadah kepada-Nya. Ilmu juga satu-satunya jalan meraih adab. Orang yang berilmu (ulama) adalah pewaris nabi. Karena itu, dalam Bidayatul Hidayah, Imam Al-Ghazali mengingatkan, orang yang mecari ilmu dengan niat yang salah, untuk mencari keuntungan duniawi dan pujian manusia, sama saja dengan menghancurkan agama. Dalam kitabnya, Adabul ‘Alim wal-Muta’allim, KH Hasyim Asy’ari juga mengutip hadits Rasulullah saw: “Barangsiapa mencari ilmu bukan karena Allah atau ia mengharapkan selain keridhaan Allah Ta’ala, maka bersiaplah dia mendapatkan tempat di neraka.”

Ibnul Qayyim al-Jauziyah, murid terkemuka Syaikhul Islam Ibn Taimiyah, juga menulis sebuah buku berjudul Al-Ilmu. Beliau mengutip ungkapan Abu Darda’ r.a. yang menyatakan: “Barangsiapa berpendapat bahwa pergi menuntut ilmu bukan merupakan jihad, sesungguhnya ia kurang akalnya.” Abu Hatim bin Hibban juga meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah r.a., yang pernah mendengar Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa masuk ke masjid ku ini untuk belajar kebaikan atau untuk mengajarkannya, maka ia laksana orang yang berjihad di jalan Allah.”
Karena begitu mulianya kedudukan ilmu dalam Islam, maka seorang yang beradab tidak akan menyia-nyiakan umurnya untuk menjauhi ilmu, atau mengejar ilmu yang tidak bermanfaat, atau salah niat dalam meraih ilmu. Sebab, akibatnya sangat fatal. Ia tidak akan pernah mengenal Allah, tidak akan pernah meraih kebahagiaan sejati. Lebih fatal lagi, jika manusia yang tidak beradab itu kemudian merasa tahu, padahal dia sebenarnya ia tidak tahu.
Dengan adab inilah, seorang Muslim dapat menempatkan karakter pada tempatnya? Kapan dia harus jujur, kapan dia boleh berbohong, untuk apa dia bekerja dan belajar keras? Dalam pandangan Islam, jika semua itu dilakukan untuk tujuan-tujuan pragmatis duniawi, maka tindakan itu termasuk kategori “tidak beradab”, alias biadab. Jadi, setiap Muslim harus berusaha menjalani pendidikan karakter, sekaligus menjadikan dirinya sebagai manusia beradab. Seharusnya, program mencetak manusia berkarakter dan beradab ini masuk dalam program resmi Pendidikan Nasional, sesuai dengan sila kedua Pancasila: Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Itulah hakekat dari tujuan pendidikan, menurut Islam, yakni mencetak manusia yang baik, sebagaimana dirumuskan oleh Prof. S.M.Naquib al-Attas dalam bukunya, Islam and Secularism: “The purpose for seeking knowledge in Islam is to inculcate goodness or justice in man as man and individual self. The aim of education in Islam is therefore to produce a goodman… the fundamental element inherent in the Islamic concept of education is the inculcation of adab…”
“Orang baik” atau good man, tentunya adalah manusia yang berkarakter dan beradab. Tidak cukup seorang memiliki berbagai nilai keutamaan dalam dirinya, tetapi dia tidak ikhlas dalam mencari ilmu, enggan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, dan suka mengumbar aurat dan maksiat. Pendidikan, menurut Islam, haruslah bertujuan membangun karakter dan adab sekaligus!

Moh. Iqbal dengan indah menggambarkan sosok pribadi Muslim yang tangguh karena ketundukannya kepada Allah:

“Biarlah cinta membakar semua ragu dan syak wasangka,
Hanyalah kepada yang Esa kau tunduk, agar kau menjadi singa.”

*****

(Disampaikan dalam diskusi sabtuan di INSISTS, 12 Juni 2010)

sumber: http://insistnet.com