Posts tagged ‘Ijtihad’

SYARI’AT ISLAM DAN UPAYA PEMBENTUKAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA

Oleh : M. Sularno *

AL-QUR'AN

Abstract

The following article tries to investigate Islamic Shari’ah and the positive law in Indonesia. Shari’ah denotes the basic law that legislated by Allah and His prophet. All moslem should obey and apply Shari’ah in all aspects of life. Departing from the opening of article 29 verse (1) of amended constitution 1945 and the theory interpretation of Hazairin concerning the article mentioned above that Islamic law constitutes the main reference and the the main sources of law legislation in Indonesia. Hence, to reach the above goal, it needs struggling of Indonesian moslem and the effort to reinterpret the doctrineof shari’ah in accordance with the changing of situation and that of society.

Kata kunci: syari’at, perjuangan, patuh, hukum positif dan undang-undang

I. Pendahuluan

Syari’at merupakan dasar-dasar hukum yang ditetapkan Allah melalui Rasul-Nya yang wajib diikuti oleh orang Islam berdasarkan iman yang berkaitan dengan akhlak, baik dalam hubungannya dengan Allah maupun dengan sesama manusia dan benda, dasar-dasar hukum ini dijelaskan dan atau dirinci lebih lanjut oleh Rasulullah. Oleh karenanya, syari’at terdapat di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis.1

Berdasarkan Pembukaan, Pasal 29 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 dan Perubahannya, serta penafsiran Hazairin atas Pasal 29 ayat (1) UUD 45, hukum Islam merupakan sumber pembentukan hukum nasional di Indonesia. Lebih lanjut menurut penafsirannya pula, di dalam Negara Republik Indonesia tidak dibenarkan terjadinya pemberlakuan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan hukum Islam bagi umat Islam, demikian juga bagi umat-umat agama lain, peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan hukum agama-agama yang berlaku di Indonesia bagi umat masing-masing agama bersangkutan.

Ketetapan MPR RI No.IV/MPR-RI/1999 tentang GBHN, Bab IV, Arah Kebijakan, A. Hukum, butir 2, menetapkan bahwa hukum Islam, Hukum Adat, Hukum Barat adalah sumber pembentukan hukum nasional.

“menata system hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum Adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui legislasi “2

Hukum Islam amat pantas menjadi sumber pembentukan hukum nasional, karena dinilai mampu mendasari dan mengarahkan dinamika masyarakat Indonesia dalam mencapai cita-citanya, hukum Islam mengandung dua dimensi, yakni: pertama, dimensi yang berakar pada nas qat’i, yang bersifat universal, berlaku sepanjang zaman, kedua, dimensi yang berakar pada nas zanni, yang merupakan wilayah ijtihadi dan memberikan kemungkinan epistemologis hukum bahwa setiap wilayah yang dihuni oleh umat Islam dapat menerapkan hukum Islam secara beragam, lantaran faktor sosiologis, situasi dan kondisi yang berbeda-beda.

Upaya membentuk hukum positif dengan bersumberkan hukum Islam, sebenarnya telah berlangsung lama di Indonesia, namun masih bersifat parsial, yaitu: tentang perkawinan, kewarisan, perwakafan, penyelenggaraan haji, dan pengelolaan zakat. Untuk mengupayakan pembentukan hukum positif bersumberkan hukum Islam yang lebih luas dan selaras dengan tuntutan perkembangan zaman diperlukan perjuangan gigih yang berkesinambungan, perencanaan dan pengorganisasian yang baik, serta komitmen yang tinggi dari segenap pihak yang berkompeten.

II. Kondisi Obyektif Hukum Islam Indonesia

Jika diperhatikan sejarah dinamika hukum Islam di Indonesia terdapat beberapa catatan;

Pertama, karakteristik hukum Islam Indonesia dominan diwarnai oleh kepribadian Arab (Arab oriented) dan lebih lekat kepada tradisi mazhab Syafi’i. Hal ini dapat dilihat dari kitab-kitab rujukan yang dipakai oleh para ulama yang kebanyakan menggunakan kitab-kitab fiqih Syafi’iyyah.Kondisi seperti ini terlihat pula pada rumusan Kompilasi Hukum Islam yang dirumuskan oleh para ulama Indonesia yang kental dengan warna Syafi’inya. Selain itu, secara metodologis pun para ulama kebanyakan menggunakan kitab-kitab usul fiqh karangan ulama-ulama mazhab Syafi’i. Sebagaimana dimaklumi bahwa usul fiqh, terutama yang diajarkan di kebanyakan pesantren, sebagian besar pembahasannya baru sampai masalah qiyas, walaupun ada yang lebih luas dari itu.

Kedua, dilihat dari aspek materi substansi (ruang lingkup) hukum Islam yang dikembangkan di Indonesia, tampaknya lebih dititik beratkan pada hukum privat atau hukum keluarga (ahwal al-syakhsiyyah), seperti:  perkawinan, kewarisan, perwakafan, seperti yang tercakup dalam KHI. Lembaga Peradilan Agama pun hingga saat ini hanya berwenang menangani perkara yang berkaitan dengan perdata terbatas (kendati telah ada penambahan kewenangan dalam bidang ekonomi Syari’ah, namun secara praktik belum dapat ditangani PA). Memang ada informasi yang menggembirakan, bahwa walau pun secara formal belum bisa diterapkan, tetapi secara substansial materi yang terdapat dalam rancangan KUHP yang baru banyak mengadopsi materi hukum pidana Islam (jinayat). Hal yang juga menggembirakan, yakni kehadiran bank-bank Syari’ah dan BMT-BMT, serta lembaga-lembaga keuangan Syari’ah di Indonesia dewasa ini yang merupakan fenomena eksistensi hukum Islam dalam bidang mu’amalah.

Ketiga, dilihat dari aspek pemberlakuan, tampaknya ada kecenderungan kuat bahwa hukum Islam diharapkan menjadi bagian dari hukum positif negara, sebagai bentuk akomodasi pemerintah terhadap umat Islam.4 Jika kecenderungan itu dikaitkan dengan masalah efektivitas hukum, tampaknya ada harapan bahwa dengan diangkat menjadi hukum negara, hukum Islam akan memiliki daya ikat yang kuat untuk ditaati oleh masyarakat yang beragama Islam. Logika hukum seperti itu untuk sementara dapat diterima, kendatipun pada kenyataannya tidak selalu terjadi demikian. Ada kekhawatiran bahwa pemerintah akan memanfaatkan kondisi seperti ini untuk ikut serta menentukan formulasi hukum Islam yang mana dan seperti apa yang sebaiknya dimplementasikan di Indonesia.

III. Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia (Sebuah Kajian Metodologis)

Gagasan dan Gerakan untuk memformulasikan hukum Islam khas Indonesia telah dirintis bersamaan dengan pembaharuan pemikiran Islam secara keseluruhan, namun sejauh ini perhatian yang relative menyeluruh dan berdiri sendiri terhadap pembaharuan hukum Islam masih secara parsial.

Pemikiran tentang perlunya pembaharuan hukum Islam secara konsisten dan konsern yang tinggi dilakukan oleh Hasbi ash-Shiddieqy dan Hazairin.Keduanya melakukan pendekatan yang berbeda; jika Hasbi lebih mengacu pada metodologi hukum Islam yang dirintis para ulama terdahulu, Hazairin cenderung menginginkan konstitusionalisasi hukum Islam, ia mengacu pada semangat Piagam Jakarta dengan melakukan interpretasi baru terhadap Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Pembaharuan ini ditindaklanjuti oleh tokoh-tokoh dari kalangan modernis maupun pesantren, seperti: Munawir Sadzali, Ibrahim Husen, Bustanul Arifin, Ali Yafie, Sahal Mahfudh, Abdurrahman Wahid, dan lain sebagainya. Pada awalnya upaya ini kurang mendapat respon, namun setelah melewati perjuangan panjang, akhirnya membuahkan hasil juga.

Secara garis besar, ragam produk pembaharuan pemikiran hukum Islam di Indonesia ada empat macam.6 Pertama, fiqih, yaitu bangunan pengetahuan yang meliputi ibadah dan mu’amalah secara menyeluruh. Fiqih, karena sifatnya yang menyeluruh dan umumnya telah ditulis pada akhir abad II dan awal abad III H, maka dalam beberapa segi telah kehilangan relevansi dalam mengantisipasi persoalan kekinian dan kemodernan. Kedua, fatwa, yaitu produk pemikiran hukum perorangan atau kelembagaan atas dasar permintaan anggota masyarakat terhadap persoalan tertentu. Sebagai fatwa, ia tidak memiliki daya ikat termasuk kepada peminta fatwa, ia bersifat kasuistik, ia juga memiliki dinamika yang relative tinggi dibanding dengan fiqh. Ketiga, produk pengadilan, produk hukum ini bersifat mengikat pihak-pihak yang berperkara. Sebagai hasil ijtihad hakim, ia memiliki nilai yurisprudensi, yakni sebagai acuan hakim atau praktisi hukum dalam menyelesaikan persoalan hukum yang sama. Keempat, peraturan perundang-undangan termasuk Kompilasi Hukum Islam. Sebagai pengejawantahan dari konsep taqnin, ia memiliki keterbatasan, terutama cakupan materinya (perkawinan, kewarisan, perwakafan).

Pembaharuan pemikiran dan formulasi hukum Islam yang ditawarkan para tokoh sebagaimana telah disebut di atas dan tokoh lain seperti: Rachmat Djatnika, Quraish Shihab, Masdar Farid Mas’udi, dan Iain-lain masih perlu dicermati dan disempurnakan.

Tema besar dari wacana pembaharuan pemikiran hukum Islam adalah berangkat dari term ijtihad, suatu istilah yang inhern dengan watak hukum Islam itu sendiri. Sayang, sejarah terlanjur mencatat bahwa gerakan ijtihad pernah mengalami pemasungan yang relatif lama sehingga memunculkan kejumudan dan stagnasi intelektualisme Islam dalam bidang hukum. Dalam kontek pembaharuan pemikiran hukum Islam di Indonesia, gerakan ijtihad menunjukkan adanya metode dan kecenderungan yang beragam. Ibrahim Hosen misalnya, memiliki empat langkah ijtihad, yakni: 1) menggalakkan lembaga ijtihad; 2) mendudukkan fiqih pada proporsi yang semestinya; 3) mengembangkan pendapat bahwa orang awam tidak wajib terikat dengan mazhab manapun; 4) mengembangkan rasa dan sifat tasamuh dalam bermazhab. Sementara pemikiran lainnya, lebih melihat konsepsi metodologi yang dikembangkan oleh ulama-ulama terdahulu, baik kaidah-kaidah kebahasaan, maupun kaidah-kaidah legislasi hukum Islamnya.7

IV. Epistemologi Hukum Islam dan Pembangunan Hukum Nasional

Pembangunan secara sederhana mengandung pengertian upaya melakukan perbaikan dari kondisi yang kurang baik menuju ke arah kondisi yang lebih baik. Dalam pengertian seperti ini pembangunan semakna dengan  pembaharuan. Adapun hukum nasional yaitu hukum atau peraturan perundang-undangan yang didasarkan kepada landasan ideologi dan konstitusional Negara, yakni Pancasila dan UUD 1945 atau hukum yang dibangun di atas cita rasa dan rekayasa bangsa sendiri, yang bersumber dari nilai budaya bangsa yang sudah lama ada dan berkembang sekarang.

Menurut Bustanul Arifin, setelah lebih dari setengah abad Indonesia merdeka, kita belum berhasil memiliki sistem hukum nasional sendiri.8 Tampaknya, apa yang dimaksud dengan sistem hukum nasional itu masih sebatas cita-cita dan entah kapan saatnya dapat diwujudkan, atau barangkali malah menjadi sesuatu yang dekat dengan kemustahilan untuk dapat diwujudkan di negara yang berdasarkan hukum ini. Pandangan ini terkesan pesimistik, kendati cukup rasional. Karena jika yang dimaksud hukum nasional itu haruslah bersumber pada Undang-Undang Dasar 1945 dari Pancasila, maka akan membatasi secara premature sumber-sumber hukum lain yang sekiranya lebih sesuai dengan kebutuhan dan rasa keadilan masyarakat.

Sistem hukum nasional yang representative memang belum kita miliki,namun bukan berarti bangsa kita tidak memiliki idealitas dan tidak berupaya mewujudkannya, pemerintah dan dunia kampus telah mengadakan ragam perjamuan ilmiah yang berskala lokal maupun nasional guna merumuskannya, para pakar hukum pun demikian, misalnya saja Arief Sidharta mengusulkan tatanan hukum nasional seharusnya mengandung ciri:
1. berwawasan kebangsaan dan nusantara;
2. mampu mengakomodasi kesadaran hukum kelompok etnis kedaerahan dan keyakinan keagamaan;
3. sejauh mungkin berbentuk tertulis dan terunifikasi;
4. bersifat rasional yang mencakup rasionalitas efisiensi, rasionalitas kewajaran, rasionalitas kaidah, dan rasionalitas nilai;
5. aturan prosedural yang menjamin transparansi, yang memungkinkan kajian rasional terhadap proses pengambilan putusan oleh pemerintah;
6. responsive terhadap perkembangan aspirasi dan ekspektasi masyarakat.9

Melakukan formalisasi hukum Islam di Indonesia bukanlah persoalan yang mudah, setidaknya dilihat dari dua hal; pertama, kondisi obyektif bangsa Indonesia yang pluralistik harus dipertimbangkan, jangan sampai menimbulkan kontra produktif yang merugikan umat Islam sendiri. Kedua, pembenahan terhadap konsepsi, strategi dan metode perumusan hukum Islam, sehingga hukum Islam yang dihasilkan tidak bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat dan sesuai dengan karakteristik tatanan hukum nasional yang dicita-citakan. Berkaitan dengan persoalan kedua di atas, hukum Islam dalam kontek sebagai hukum nasional adalah hukum berciri sendiri, yakni sebagai hukum Islam lokal sesuai ijtihad dan kondisi setempat yang diputuskan oleh pembuat undang-undang yang sah di Indonesia. Dengan demikian, hukum Islam dalam praktik yang berlaku dapat berbeda di suatu negara dengan negara yang lain. Sungguhpun demikian, hukum Islam di berbagai negara tetap berasal dari sumber yang sama, yaitu syariat Islam sebagai hukum Ilahi.

V. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia

Sepanjang sejarah perjalanan hukum di Indonesia, kehadiran hukum Islam dalam hukum nasional merupakan perjuangan eksistensi. Dalam bentangan sejarah itu pula, hukum Islam selalu memperteguh eksistensinya, baik sebagai hukum positif atau tertulis, maupun tidak tertulis, dalam berbagai lapangan kehidupan hukum dan praktik hukum. Inilah yang disebut dengan teori eksistensi.10 Keberadaan hukum Islam dalam hukum nasional dapat dibedakan dalam empat bentuk; 1) ada dalam arti sebagai bagian integral dari hukum nasional Indonesia; 2) ada dalam arti diakui kemandirian, kekuatan, dan wibawanya oleh hukum nasional dan diberi status sebagai hukum nasional; 3) ada dalam fungsinya sebagai penyaring (filter) bagi materi-materi hukum nasional Indonesia; dan 4) ada dalam arti sebagai bahan utama dan unsur utama bagi pembentukan hukum nasional. Dengan demikian, tampak bahwa hukum Islam merupakan bagian tak terpisahkan dari hukum nasional. la merupakan sub sistem dari sistem hukum nasional. Sebagai sub sistem, hukum Islam diharapkan dapat memberikan kontribusi yang dominan dalam rangka pengembangan dan pembaharuan hukum nasional yang mencerminkan kesadaran hukum masyarakat Indonesia. Hal ini dimungkinkan karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam.

Kedudukan hukum Islam dalam ketatanegaraan Indonesia pasca kemerdekaan, menurut Ismail Sunny, dibagi dalam dua periode, yaitu: pertama, periode penerimaan hukum Islam sebagai sumber persuasif, kedua, periode penerimaan hukum Islam sebagai sumber otoritatif, yakni sumber yang memiliki kekuatan mengikat dan sah dalam hukum tata negara Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya, Pemerintah Indonesia menggulirkan kebijakan politik hukum yang dalam batas-batas tertentu mengakomodir beberapa keinginan umat Islam. Hal ini terlihat dengan diberlakukannya hukum Islam bagi pemeluknya sebagai hukum positif oleh pemerintah melalui pengesahan beberapa peraturan perundang-undangan. Kendatipun jika dicermati, momen yang menguntungkan secara signifikan bagi umat Islam hanya terjadi beberapa kali saja. Sejak Indonesia merdeka, baru pada tahun 1957 ada penegasan tentang kedudukan Peradilan Islam (Agama) atau berlakunya Mahkamah Syar’iyyah. Lama setelah itu baru muncul beberapa perundang-undangan, antara lain: Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Undang-undang Perbankan tahun 1992 yang memasukkan beberapa aktifitas mu’amalah Islam, Undang-undang No. 17 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, Undang-Undang No. 38 tentang Pengelolaan Zakat, Undang-Undang Perwakafan, termasuk yang sedang dalam pembahasan untuk disahkan menjadi undang-undang, yakni Kompilasi Hukum Islam yang meliputi: perkawinan, kewarisan, perwakafan, infak, sadaqah. Di samping itu juga masalah ekonomi syariah. Prospek hukum Islam dalam sistem hukum nasional akan cukup menggembirakan sepanjang pihak-pihak yang terkait dalam pengembangan hukum Islam mampu untuk mengoptimalkan kekuatan dan peluang yang dimiliki hukum Islam, serta mampu mengeliminir kekurangan dan hambatan yang ada dan mencarikan solusinya. Untuk tujuan itu dapat diajukan usulan: Pertama, optimalisasi fungsi ijtihad, dalam arti; mentransformasikan nilai-nilai hukum Islam menjadi rumusan-rumusan hukum yang aplikatif, mampu mengakomodir kebutuhan hukum dan kesadaran hukum masyarakat Indonesia, serta melakukan terobosan untuk integrasi hukum Islam dalam hukum nasional. Kedua, optimalkan fungsi komunikasi, sehingga dapat dieliminir miss perception dan disorientation tentang hukum Islam, baik yang muncul dari kalangan Islam sendiri, maupun dari kalangan non Islam, terlebih para penentu kebijakan di bidang hukum negeri ini.

VI. Penutup

Syari’at (hukum Islam) pantas menjadi sumber pembentukan hukum nasional, karena dinilai mampu mendasari dan mengarahkan dinamika masyarakat Indonesia dalam mencapai cita-citanya, ia mengandung dimensi yang berakar pada nas qat’i yang bersifat universal dan berlaku sepanjang masa, di samping itu mengandung pula dimensi yang berakar pada nas zanni yang merupakan wilayah ijtihad dan adaptif terhadap perkembangan zaman..

Secara garis besar, ragam produk pembaharuan hukum Islam di Indonesia terdapat empat macam, yaitu: fiqih, fatwa, produk pengadilan, serta peraturan perundang-undangan. Adapun tema besar dari wacana pembaharuan pemikiran hukum Islam adalah berangkat dari term ijtihad, yang dalam kontek Indonesia, gerakan ijtihad yang berjalan menunjukkan adanya metode dan kecenderungan yang beragam.

Melakukan formalisasi hukum Islam di Indonesia menemui kendala, diantaranya: kondisi obyektif bangsa Indonesia yang pluralistik, jika tidak dicermati dapat menimbulkan kontra produktif bagi umat Islam sendiri. Kendala lain adalah sulitnya rriemformulasi konsepsi, strategi dan metode hukum Islam yang tidak bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat dan karakteristik hukum nasional.

Kendatipun belum terlalu menggembirakan, upaya untuk mewujudkan hukum Islam menjadi hukum positif di Indonesia telah menunjukkan hasilnya dengan disyahkannya beberapa undang-undang, seperti: UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU Pengelolaan Zakat, UU Perwakafan, UU Perbankan yang akomodatif terhadap aktifitas mu’amalah Islam, dan Iain-lain.

Catatan kaki :

1. Daud Ali, M. 1996. Hukum Islam PIH dan THI di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada), him. 42.

2. Indonesia, Tap MPR RI, Hasil Sidang Umum MPR RI Tahun 1999 beserta Perubahan Pertama atas UUD Negara RI Tahun 1945, (Jakarta: BP Panca Usaha. 1999) hal. 64.

3. Abdul Hadi MUthohhar. 2003. Pengaruh Mazhab Syafi’i di Asia Tenggara, Fiqh dalam Peraturan Perundang-undangan tentang Perkawinan di Indonesia, Brunei, dan Malaysia. (Semarang: Aneka limit).

4. Bahtiar Effendi. 1998. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. (Jakarta: Paramadina). hal.269.

5. BJ. Boland. 1985. Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1970. (Jakarta: Grafiti Pers).hal. 172.

6. Ahmad Rofiq. 2001. Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia. (Yogyakarta: Gama Media). hal. 157-158.

7. Ali Yafie. 1994. Menggagas Fiqh Sosial. (Bandung: Mizan), hal. 112-114

8. Bustanul Arifin. 1996. Pelembagaan Hukum Isliam di Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press). hal.34.

9. Arief Sidharta dalam ImamSyaukani. 2006. Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam di Indonesia. (Jakarta: Rajawali-Press). hal. 247-248.

10. Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo. 2006. Hukum Islam Menjawab Tantangan Zaman yang Terus berkembang. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar). hal. 70-71.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Bustanul, 1996. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Gema Insani Press.

Barkatullah, Abd. Halim dan Prasetyo, Teguh. 2006. Hukum Islam Menjawab Tantangan Zaman yang Terus Berkembang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Boland, BJ.1985. Pergumulan Islam di Indonesia. Jakarta: Grafiti Pers.

Daud Ali, M. 1996. Hukum Islam PIH dan THI di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Effendi, Bahtiar.1998. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina.

Indonesia. 1999. Tap MPR RI; Hasil SU MPR RI th 1999 beserta Perubahan Pertama atas UUD 1945. Jakarta: BP Panca Usaha.

Muthohhar, Abdul Hadi. 2003. Fiqh dalam Peraturan Perundangan-undangan tentang Perkawinan di Indonesia, Brunei, Malaysia. Semarang: Aneka Ilmu.

Rofiq, Ahmad. 2001. Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia. Yogyakarta: Gama Media.

Syaukani, Imam. 2006. Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.

Yafie, Ali. 1994. Menggagas Fiqh Sosial. Bandung: Mizan.

* Penulis adalah dosen tetap pada Prodi Syari’ah Fakultas Ilmu Agama Islam UII.

sumber: Jurnal Al Mawarid (Jurnal Hukum Islam), No. 16 (2006)

Tsaqafah Islamiyah: Menyikapi Perbedaan dalam Menentukan Awal dan Akhir Ramadhan

Oleh: Ahmad Hanafi

Karakteristik Ibadah Jama’iyyah

Dalam syari’at Islam, kolektifitas (keberjamaahan) dalam pelaksanaan sebagian ibadahnya mempunyai kedudukan yang sangat urgen dan strategis. Hal ini berangkat dari sebuah mainstream bahwa Islam adalah agama yang menjunjung tinggi prinsip wahdah al-ummah (persatuan ummat) sebagai salah satu risalah (visi) penting dalam kedudukannya sebagai rahmatan lil’alamin.

Maka salah satu sarana untuk mewujudkan visi tersebut disyariatkanlah beberapa jenis ibadah Jama’iyyah yang selain fungsi utamanya adalah pembuktian penghambaan seorang hamba kepada Allah Azza Wa Jalla, di lain sisi ia juga memuat nilai-nilai keberjamaahan yang sangat kental.

Dari sisi jumlah individu pelaksana sebuah ibadah yang disyari’atkan, maka ibadah tersebut dibagi menjadi dua bagian besar:

Pertama: Ibadah Fardiyah (individual). yaitu ibadah yang disyariatkan untuk dilakukan secara individual (perseorangan) tanpa melibatkan orang lain (jama’ah), contohnya: Amalan hati berupa niat, keikhlasan, rasa takut kepada Allah, begitu juga sebagian amalan anggota badan seperti membaca al-Quran, melaksanakan thawaf di Ka’bah, sa’i antara Shofa dan Marwa dan juga seperti sholat sunnah rawatib dan yang lainnya.

Kedua: Ibadah Jama’iyyah (Kolektif). Yaitu ibadah yang disyariatkan untuk dilaksanakan oleh kaum muslimin secara berjama’ah dan bersama-sama, seperti: Sholat Jum’at, sholat dua hari raya, Wukuf di Arafah bagi Jama’ah haji, Jihad fi sabilillah dan yang lainnya.

Dalam aplikasinya ibadah jama’iyyah mempunyai beberapa batasan yang perlu diperhatikan, di antaranya:

Pertama; penetapan bahwa ibadah tersebut boleh dilakukan secara berjama’ah adalah tawqifiyah (belandaskan wahyu). Artinya dalam hal ini seorang Muslim tidak dibenarkan menetapkan bentuk sebuah ibadah menjadi ibadah jama’iyyah kecuali hal tersebut didukung oleh dalil-dalil syari’at yang jelas.

Sebagai contoh sederhana: Sholat sunnah rawatib -baik sebelum atau sesudah sholat fardhu- tidak boleh dilaksanakan dalam bentuk berjama’ah. Begitu pula sebaliknya, ibadah yang telah disyari’atkan pelaksanaannya secara berjama’ah maka tidak boleh dilakukan secara individual kecuali ada dalil syar’i yang membolehkannya. Hal ini berangkat dari kaidah umum dalam persoalan ibadah “al-Ashlu fi al-‘Ibaadat al-Tahriim”. Hukum asal penetapan sebuah ibadah adalah haram sampai ada dalil yang membolehkannya.

Kedua; Ketaatan kepada Imam (Pemimpin) dalam Ibadah Jama’iyyah. Dalam konteks sholat berjama’ah misalnya, ada imam dan ada makmum. Maka sang makmum tidak boleh melakukan tindakan yang menyalahi posisinya sebagai makmum yang menjadikan imam sebagai patokan dalam pelaksanaan ibadah sholat. Rasulullah –Shallallahu’alaihi wasallam- bersabda:

إنما جعل الإمام ليؤتمّ به، فلا تختلفوا عليه

Artinya: “Seseorang dijadikan imam (dalam sholat) untuk diikuti, maka janganlah kalian menyelisihinya.” (HR. Bukhari No. 722 & Muslim No.414).

Tidak boleh seorang anggota jama’ah Jum’at melaksanakan sholat Jum’at terlebih dahulu sebelum khatib selesai berkhutbah. Sebagaimana dilarang mendirikan jama’ah baru dalam sebuah masjid sebelum jama’ah yang sebelumnya selesai melaksanakan sholat berjamaahnya. Apalagi dalam jihad fi Sabilillah maka seorang pasukan kaum Muslimin tidak boleh menyelisihi strategi dan instruksi panglima perang yang ditunjuk. Dalam hal ini Perang Uhud (Thn ke- 5 H) dapat dijadikan pelajaran penting betapa ketaatan kepada pemimpin menjadi syarat utama sebuah kemenangan.

Ketiga; Dalam ibadah Jama’iyyah yang memungkinkan terjadinya perbedaan ijtihad maka keputusan akhir dikembalikan kepada imamah syar’i (kepemimpinan) atau otoritas yang ditunjuk dan disepakati dalam hal ini Waliy al-Amr kaum Muslimin, selama yang mereka putuskan tidak melanggar ketentuan dan kaidah-kaidah syariat.

Waliy al Amr dan Solusi Keberjamahan

Dalam skala jamaah yang jumlahnya kecil, meskipun seorang makmum memandang bahwa qunut dalam sholat shubuh tidak disyariatkan dan imam meyakini bahwa qunut tersebut sesuatu yang disyariatkan, sang makmum tidak boleh mendahului imam sujud atau bahkan membatalkan sholatnya karena perbedaan ijtihad.

Dalam skala yang lebih besar, wukuf di Arafah -yang merupakan puncak pelaksanaan ibadah haji- dapat dijadikan sebagai contoh. Jika seorang jamaah haji meyakini berdasarkan ijtihadnya bahwa hari Arafah jatuh sehari sebelum atau sesudah hari yang ditetapkan oleh otoritas yang berwewenang, maka ia tidak dibolehkan untuk melaksanakan wukuf sendirian di Arafah berdasarkan keyakinannya dan menyelisihi apa yang ditetapkan oleh otoritas yang berwewenang (dalam hal ini pemerintah Arab Saudi), karena wukuf merupakan ibadah yang mengedepankan kebersamaan dan persatuan jama’ah haji dalam pelaksanaannya.

Dalam sejarah, sahabat Ibnu Mas’ud –Radhiyallahu’anhu- patut dijadikan teladan dalam masalah ini. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (1/307) bahwasanya Amirul Mukminin Utsman Ibn Affan -Radhiyallahu’anhu- melaksanakan sholat di Mina sebanyak 4 rakaat (tidak diqashar), maka sahabat Abdullah Ibn Mas’ud pun menginkari hal tersebut seraya berkata: “Aku (telah) ikut melaksanakan sholat di belakang Nabi –Shallallahu’alahi Wasallam-, di belakang Abu Bakar, di belakang Umar dan di awal masa pemerintahan Utsman sebanyak 2 rakaat (diqashar), kemudian setelah itu Utsman melaksanakannya secara sempurna (tidak diqashar).” Kemudian Ibnu Mas’ud mengerjakan 4 rakaat (di belakang Utsman). Lantas beliau ditegur: “Engkau mencela Utsman tetapi engkau (mengikutinya) melaksanakan 4 rakaat.” Beliau berkata: “Berselisih itu Jelek”. Keyakinan Ibnu Mas’ud bahwa sholat di Mina disyariatkan untuk diqashar, tidak menghalangi beliau untuk tetap bermakmum di belakang Amirul Mukminin Utsman ibn Affan yang melaksanakannya secara sempurna, meskipun beliau tetap menginkari hal itu, tetapi karena itu adalah ibadah jama’iyyah maka keberjamaahan lebih harus didahulukan dari keyakinan pribadi.

Puasa Ramadhan adalah salah satu bentuk ibadah jama’iyyah dalam syari’at Islam. Ia bersentuhan secara erat dengan makna keberjamaahan baik dari sisi waktu pelaksanaannya, tatacaranya, bahkan dalam beberapa sisi yang lain makna kebersamaan, persatuan, empati dan semangat berbagi kepada sesama sangat menonjol dalam amaliyah Ramadhan, seperti: sholat tarawih, sedekah dan zakat fitrah. Hal ini menunjukkah bahwa salah satu di antara maqshad (tujuan) dan hikmah disyariatkannya ibadah puasa Ramadhan adalah terwujudnya syiar kebersamaan (baca keberjama’ahan) yang solid di antara komponen ummat Islam.

Dalam konteks keberjama’ahan ummat Islam Indonesia –sebagai negara dengan penduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia- amatlah sangat disayangkan dan disesalkan jika dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan sering kali diwarnai oleh perbedaan antara beberapa komponen ummat (baca: ormas Islam), tanpa ada usaha yang serius dalam mencari solusi konkrit mengatasi perbedaan tersebut. Hal ini tentunya bertolak belakang dengan visi keberjamaahan dan kebersamaan dalam ibadah puasa Ramadhan itu sendiri.

Padahal jika ditelusuri lebih seksama, perbedaan tersebut dapat di atasi jika tiga karakteristik ibadah Jama’iyyah di atas dapat diaplikasikan dengan penuh kedewasaan tanpa mengedepankan sikap fanatik dan egoisme masing-masing ormas yang berbeda. Tentunya dalam hal ini, peran Kementerian Agama dan MUI -sebagai pemegang mandat Waliy al-Amr seharusnya dapat lebih tegas dalam menyikapi perbedaan ini. Hal ini tentunya sejalan dengan tuntunan Nabi –Shallallahu’alaihi Wasallam- yang bersabda:

الصوم يوم تصومون، والفطر يوم تفطرون، والأضحى يوم تضحون

Artinya: “Puasa (Ramadhan) adalah di saat kalian semuanya berpuasa, dan (hari ‘Ied) fitri (berbuka dan tidak berpusa) adalah di saat kalian semua ber’iedul fitri, dan hari berkurban (‘Ied al-Adha) adalah di saat kalian semua berkurban.” (HR. Abu Dawud No. 2324, al-Tirmidzy No. 697 & Ibn Majah No. 1660. Dan hadits ini disahihkan oleh syekh al-Albaniy dalam kitab Shahih Sunan Abi Dawud 2/50 & Shahih Sunan al-Tirmidzy 1/375).

Imam al-Tirmidzy berkata: “Makna (hadits) ini adalah bahwasanya (pelaksanaan) puasa dan idul fitri dilakukan bersama jamaah dan mayoritas manusia (kaum muslimin). (Sunan al-Tirmidzy, No. 697).

Imam al-Khattabiy berkata: “Makna hadits adalah bahwasanya kesalahan dalam masalah ijtihad adalah perkara yang ditolerir dari ummat ini, jika sekiranya satu kaum berijtihad lantas menggenapkan puasa mereka sebanyak (30 hari) lantaran mereka tidak melihat hilal kecuali setelah tanggal 30 (Ramadhan), kemudian terbukti bahwa (Ramadhan) hanya berjumlah 29 hari. Maka puasa dan ‘Ied Fitri mereka tetap sah, dan tidak ada dosa dan celaan buat mereka. Begitu juga dalam ibadah haji jika sekiranya mereka salah dalam (menetapkan) hari Arafah maka mereka tidak perlu mengulangi haji mereka, dan begitu juga dengan kurban mereka hukumnya tetap sah, dan sesungguhnya ini merupakan salah satu bentuk kasih sayang dan kelembutan Allah terhadap hamba-Nya.” (Dinukil oleh Ibn al-Atsir dari al-Khattabiy dalam kitab Jami’ al-Ushul 6/378).

Apalagi jika setiap ormas Islam yang berbeda pendapat itu memahami makna salah satu kaidah fikih “Hukm al-Haakim Yarfa’ al-Khilaf” yang bermakna Keputusan yang ditetapkan oleh hakim/pemerintah menyudahi perbedaan yang didasarkan oleh perbedaan ijtihad. Wallahu Ta’ala A’lam Wa Ahkam.*/Dir’iyyah, 19 Sya’ban 1433 H.

Mahasiswa S3 Jurusan Tsaqafah Islamiyah di King Saud University Riyadh

http://hidayatullah.com

Perbedaan Ijtihad , Ittiba’, dan Taqlid

Untuk melengkapi perbendaharaan, perlu dikemukakan fatwa Ulama Persis, Ahmad Hassan yang bangkit sejak 1920 atas gugahan da’i Pakih Hasyim (murid Kiyai Haji Rasul Minangkabau) di Surabaya yang menyebarkan pembaharuan lewat Al-Irsyad. Berikut ini Fatwa A Hassan mengenai Taqlid ketika ditanya orang sebagai berikut:

Soal: Bolehkah kita percaya kepada ‘ulama dan bolehkah kita taqlid kepada mereka?

Jawab: Dua pertanyaan itu, maksudnya sama saja, yaitu dalam urusan agama, bolehkah kita berpegang kepada ‘ulama dengan tidak ada keterangan dari Allah dan Rasul-Nya?

Buat menggampangkan soal-jawab di dalam hal yang tersebut itu, perlu kita tahu dahulu arti ijtihad , ittiba’, dan taqlid. Begitu juga perkataan Mujtahid, Muttabi’, dan Muqallid.

Ijtihad

Ijtihad itu, artinya yang asal, ialah bersungguh sungguh. Dan artinya yang dipakai ulama, ialah bersungguh-sungguh memeriksa dan memahami dalam-dalam akan keterangan dari Al-Qur’an dan Al-Hadits, hingga buat pertanyaan yang sulit-sulit dan buat kejadian-kejadian yang luar biasa itu, bisa mereka dapatkan hukumnya dari Al-Qur’an dan Al-Hadits atas jalan faham dengan susah payah atau jalan qiyas. Orang bekerja semacam yang tersebut itu, dinamakan Mujtahid. Orang yang jadi Mujtahid itu, tentulah perlu mengetahui bahasa ‘Arab sekedar cukup buat mengerti keterangan-keterangan itu dengan jelas, sebagaimana ia mengerti bahasanya sendiri, kalau ia bukan orang ‘Arab. Ijtihad itu perlu sangat di dalam hal keduniaan, yaitu umpamanya ada satu kejadian yang baru, sedang di Al-Qur’an atau di Al-Hadits tidak tersebut terang hukumnya tentang hal itu, maka di waktu itu, perlu hakim, atau ketua Islam, berijtihad dan diqiyaskan hal itu dengan hukum-hukum Islam yang sudah ada tersebut terang di Al-Qur’an atau Al-Hadits, dengan beberapa sebab, yaitu seperti zakat dari barang-barang makanan dari hasil bumiu mpamanya. Di dalam Islam ada tersebut, wajib kita keluarkan zakat dari gandum, dan zakat itu buat orang miskin, dan urusan umum dan lainnya. Tetapi sekarang di sini tidak ada gandum hanya ada padi, sedang orang-orang miskin dan keperluan umum tetap ada. Maka di sini baru boleh diqiyaskan, karena ada keperluan dan ada jalan dan sebab buat diqiyaskan.

Di negeri Arab dikeluarkan zakat dari makanan negeri yang umum, yaitu gandum,lantas diberikan kepada orang miskin, maka di sini juga diambil zakat dari makanan negeri yang umum, yaitu beras atau sagu atau lainnya, lantas diberikan kepada orang miskin. Maka qiyas itu berlaku atas padi atau beras atau sagu tadi, ialah karena barang-barang itu jadi makanan umum di sini, sebagaimana gandum jadi makanan umum di sana.Orang yang Mujtahid, memang dipuji oleh agama, bahkan boleh dibilang diwajibkan ijtihad atas orang yang bisa.

Ittiba’

Ittiba’ artinya yang asal, ialah menurut. Dan arti yang dipakai oleh ulama, yaitu menurut apa-apa perintah, larangan dan perbuatan Rasul, dan perbuatan sahabat-sahabatnya, maupun ia dapat perintah, larangan, dan perbuatan itu dari membaca sendiri ataupun ia dapat karena bertanya kepada ulama, bukan bertanya fikiran ulama. Orang yang menurut seperti yang tersebut itu dinamakan
Muttabi’ . Muttabi’ itu tidak perlu tahu bahasa Arab karena keperluannya hanya untuk mengerti sesuatu hukum yang biasa buat beramal, bukan untuk memeriksa dalam-dalam buat qiyas mengqiyas, memberi fatwa dan sebagainya. Kewajiban umat Islam di dalam hal berpegang kepada agama itu, hanya atas dua jalan, yaitu berijtihad atau ber-ittiba’, tidak lain. Di antara sahabat-sahabat Nabi tidak berapa banyak Mujtahid, tetapi selain dari Mujtahid itu, semuanya muttabi’, tidak ada seorang pun sahabat Nabi yang muqollid, karena kalau mereka tidak tahu sesuatu hukum, lantas mereka bertanya kepada Nabi sendiri atau kepada sahabat-sahabt Nabi, bagaimana perintah Nabi di perkara itu. Orang yang iitiba’ itu kalau berjumpa dua keterangan yang berlawanan, maka pada masa itu, wajib ia periksa betul-betul mana yang kuat.Umpamanya ada orang yang berkata, bahwa ada hadist mengatakan, membaca Al-Fatihah di belakang imam itu wajib dan ada lain orang alim pula berkata, bahwa ada hadits mengatakan tidak boleh membaca Al-Fatihah di belakang Imam, maka pada masa itu, si muttabi’ wajib memeriksa mana yang lebih kuat keterangannya, karena di antara dua hadits itu, tentu ada yang lemah. Jangan ia berkata: Saya tak bisa periksa, karena saya bukan orang alim.Kalau mau, semua bisa! Ingatlah, kalau ada tersiar khabar tentang terbit uang palsu, maka pada masa itu, masing-masing yang mempunyai uang memeriksa dengan sungguh-sungguh hingga bisa ia kenal antara yang palsu dengan yang tidak palsu.

Mengapakah tidak ia berkata: Saya tak tahu memeriksa uang palsu, karena saya bukan orang bank? Mengapakah di perkara akherat saja orang-orang suka berkata: Saya tak bisa?

Taqlid

Taqlid artinya yang asal, ialah meniru; dan artinya yang digunakan oleh ahli agama, yaitu menurut perkataan atau perbuatan seseorang di dalam hal agama. Dengan tidak mengetahui keterangan dari Al-Qur’an atau Al-Hadits di tentang itu. Orang yang menurut orang lain seperti yang tersebut itu, dinamakan Muqollid. Taqlid itu dilarang oleh agama. Firman Allah:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

Artinya:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”
(QS Bani Israil/17: 36).

Dan Firman Allah:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Artinya:
“…maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”
(QS An-Nahl/16: 43).

Bertanya kepada ahli Al-Qur’an itu, tentulah dari hal Al-Qur’an, bukan dari hal fikirannya. Bukan Allah saja melarang orang-orang bertaqlid, tetapi imam-imam yang mereka taqliedi itu sendiri melarang keras orang-orang bertaqlied kepada mereka.Imam Hanafi melarang orang bertaqlid kepadanya. Begitu juga sahabatnya yang bernama Abu Yusuf. Begitu juga imam-imam Maliki, Syafi’ie, dan teristimewa pula Imam Hanbali, ia berkata, “ Janganlah kamu taqlid kepadaku, dan jangan kepada Malik, dan jangan kepada Syafi’ie, tetapi ambillah agama kamu dari mana mereka itu ambil. ”Heran, kita memikirkan orang-orang kita sekarang! Mereka mengaku bertaqlid kepada imam-imam, padahal Allah, Rasul-Nya, dan imam-imam yang mereka taqliedi sendiri melarang mereka bertaqlid. Kalau kita tidak mau turut Allah dan Rasul, dan tidak mau turut perkataan imam-imamyang setuju dengan perkataan Allah dan Rasul, patutkah kita bergelar orang Islam? Orang-orang kita di sini, mengaku menurut Imam Syafi’ie maka cobalah mereka dan guru-guru mereka yang alim unjukkan satu perkataan Imam Syafi’ie tentang membenarkan orang bertaqlied. Tukang-tukang taqlied yang sudah kehabisan alasan, sering berkata bahwa kami tidak bisa faham Al-Qur’an dan Al-Hadits lantaran payahnya,oleh sebab itu, kami turut-turut imam saja. Perkataan itu dusta belaka. Sebenarnya Al-Qur’an dan Al-Hadits tidak lebih payah daripada kitab Imam-imam, bahkan Al-Qur’an dan Hadits bisa difaham dengan lebih gampang, karena ada banyak penerangan- penerangannya yang dibikin oleh orang-orang dahulu. Dengan sedikit keterangan itu saja, bisalah difaham, bahwa orang Islam yang bisa ijtihad itu wajib ijtihad, kalau perlu; dan yang lain-lain daripada itu wajib ittiba’. Adapun taqlid itu tidak halal sama sekali.

Sumber: A. Hassan, Soal –Jawab Berbagai Masalah Agama, 1, Persatuan Islam, Bangil, 1985,halaman 433-437

SYARI’AT ISLAM YANG ABADI : Menjawab Tantangan Masa Kini

Oleh : Ahmad Zaki Yamani, MCJ.LL.M

DAFTAR ISI

LITERATUR

KATA PENGANTAR

MUKADDIMAH
BEBASNYA SYARI’AT ISLAM DALAM PERTARUNGAN IDEOLOGI ANTARA KAPITALISME DAN KOMUNISME
1. Peranan Agama dalam Sejarah Umat manusia
2. Malapetaka menimpa Agama
3. Gejala-gejala kembalinya Agama untuk memainkan peranannya
4. Gerakan-gerakan pembaharuan dalam Islam

BAB PERTAMA : KEMAMPUAN SYARI’AT BUAT MENGALAMI PERTUMBUHAN, PERKEMBANGAN DAN PEMBAHARUAN

Pasal Pertama :
1. Sumber-sumber pertumbuhan dan perkembangan Syari’at
2. Pengertian Syari’at : Maknanya yang luas dan yang terbatas
3. Perkembangan Syari’at dan Sumber-sumbernya
4. Pengaruh Lingkungan
5. Qiyas, Istihsan dan Mashalih Mursalah

Pasal Kedua :
Kepentingan umum sebagai pangkal pertumbuhan dan perkembangan Syari’at.Pengertian Maslahat atau Kepentingan umum menurut Fuqaha
1. Kepentingan umum sebagai dasar buat memperlunak sebahagian hukum atau membekukannya
2. Pendapat Fuqaha mengenai soal merobah hukum-hukum Syari’at berdasarkan kepentingan umum

Pasal Ketiga :
Penyebab-penyebab lain bagi perobahan dan perkembangan hukum
1. Pengaruh Adat dalam merobah hukum
2. Pengaruh ‘Illat dan hikmah dalam merobah hukum
3. Arti sifat keagamaan bagi hukum-hukum Syari’at
4. Tuduhan terbelakang sebabnya ialah karena menutup pintu Ijtihad

BAB KEDUA : IDE SOSIALISME DALAM TASYRY’ ISLAM

Pasal Pertama :
Keseimbangan antara hak-hak Jama’ah (Masyarakat) dan hak-hak Perorangan (Pribadi)
1. Pertentangan antara hak perorangan dengan hak-hak jama’ah menjadi penyebab pertentangan aliran-aliran dunia
2. Ide Sosialisme ciri terpenting dari Undang-undang Islami
3. Kewajiban-kewajiban Sosial menjadi Dasar idealisme ini
4. Dalam masyarakat adil, pengajaran itu merupakan keharusan
5. Ciri-ciri khas Sosialisme Islam

Pasal Kedua :
Hak milik dan perimbangan antara hak-hak perorangan dan masyarakat
1. Milik Perorangan sebab utama pertentangan Kapitalisme dengan Komunisme
2. Gambaran milik perorangan dalam Islam
3. Milik Perorangan terhadap harta merupakan tugas sosial
4. Batas-batas hak perorangan
5. Penerangan Teori Ta’assuf dalam menggunakan hak
6. Sovyet Rusia meminjam dari Duguit sebahagian dari apa yang direguknya dari Syari’at Islam
7. Penerapan Sosialisme tentang hak milik dalam keadaan-keadaan darurat
8. Meluaskan pengertian-pengertian keadaan-keadaan darurat
9. Milik perorangan dalam Islam lebih luas dari milik bersama
10. Gambaran milik bersama dalam Islam berbeda dengan pengertiannya dalam Komunisme
11. Teori Duguit

Pasal Ketiga :
Penerangan lain dari ide Sosialisme
1. Ide Sosialisme dalam Ibadat
2. Ide Sosialisme dalam ‘Amar ma’ruf nahi munkar

BAB KETIGA : KESEIMBANGAN ANTARA HAK-HAK SIASAT DAN HAK-HAK PENGHIDUPAN

Pasal Pertama :
Jaminan kemerdekaan dalam Islam
1. Pandangan Islan yang Seimbang terhadap hak penghidupan dan politik individu
2. Persamaan dan kewajiban
3. Jaminan Kemerdekaan-kemerdekaan pribadi
4. Kebebasan Diri
5. Kebebasan Memiliki
6. Kebebasan Tempat tinggal
7. Kebebasan Bekerja dan berusaha
8. Kebebasan Pendapat
9. Kebebasan Aqidah
10. Kebebasan Pendidikan dan pengajaran

Pasal Kedua :
Jaminan Sosial
1. Jaminan Hak-hak materi dan penghidupan dalam Islam
2. Sebab-sebab berhak mendapat Jaminan Sosial
3. Pelaksaaan Jaminan Sosial
4. Sumber-sumber biaya Jaminan Sosial

PENUTUP

================================================================================
SYARI’AT ISLAM YANG ABADI
Menjawab Tantangan Masa Kini
Oleh: Ahmad Zaki Yamani, MCJ. LL.M
Alih bahasa: Mahyuddin Syaf
Penerbit PT. ALMA’ARIF, Cetakan ke II : 1980
Jalan Tamblong No. 48-50,Telp: 50708 – 57177 – 58332 Bandung, INDONESIA