Posts tagged ‘Undang-undang’

SYARI’AT ISLAM DAN UPAYA PEMBENTUKAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA

Oleh : M. Sularno *

AL-QUR'AN

Abstract

The following article tries to investigate Islamic Shari’ah and the positive law in Indonesia. Shari’ah denotes the basic law that legislated by Allah and His prophet. All moslem should obey and apply Shari’ah in all aspects of life. Departing from the opening of article 29 verse (1) of amended constitution 1945 and the theory interpretation of Hazairin concerning the article mentioned above that Islamic law constitutes the main reference and the the main sources of law legislation in Indonesia. Hence, to reach the above goal, it needs struggling of Indonesian moslem and the effort to reinterpret the doctrineof shari’ah in accordance with the changing of situation and that of society.

Kata kunci: syari’at, perjuangan, patuh, hukum positif dan undang-undang

I. Pendahuluan

Syari’at merupakan dasar-dasar hukum yang ditetapkan Allah melalui Rasul-Nya yang wajib diikuti oleh orang Islam berdasarkan iman yang berkaitan dengan akhlak, baik dalam hubungannya dengan Allah maupun dengan sesama manusia dan benda, dasar-dasar hukum ini dijelaskan dan atau dirinci lebih lanjut oleh Rasulullah. Oleh karenanya, syari’at terdapat di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis.1

Berdasarkan Pembukaan, Pasal 29 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 dan Perubahannya, serta penafsiran Hazairin atas Pasal 29 ayat (1) UUD 45, hukum Islam merupakan sumber pembentukan hukum nasional di Indonesia. Lebih lanjut menurut penafsirannya pula, di dalam Negara Republik Indonesia tidak dibenarkan terjadinya pemberlakuan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan hukum Islam bagi umat Islam, demikian juga bagi umat-umat agama lain, peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan hukum agama-agama yang berlaku di Indonesia bagi umat masing-masing agama bersangkutan.

Ketetapan MPR RI No.IV/MPR-RI/1999 tentang GBHN, Bab IV, Arah Kebijakan, A. Hukum, butir 2, menetapkan bahwa hukum Islam, Hukum Adat, Hukum Barat adalah sumber pembentukan hukum nasional.

“menata system hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum Adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui legislasi “2

Hukum Islam amat pantas menjadi sumber pembentukan hukum nasional, karena dinilai mampu mendasari dan mengarahkan dinamika masyarakat Indonesia dalam mencapai cita-citanya, hukum Islam mengandung dua dimensi, yakni: pertama, dimensi yang berakar pada nas qat’i, yang bersifat universal, berlaku sepanjang zaman, kedua, dimensi yang berakar pada nas zanni, yang merupakan wilayah ijtihadi dan memberikan kemungkinan epistemologis hukum bahwa setiap wilayah yang dihuni oleh umat Islam dapat menerapkan hukum Islam secara beragam, lantaran faktor sosiologis, situasi dan kondisi yang berbeda-beda.

Upaya membentuk hukum positif dengan bersumberkan hukum Islam, sebenarnya telah berlangsung lama di Indonesia, namun masih bersifat parsial, yaitu: tentang perkawinan, kewarisan, perwakafan, penyelenggaraan haji, dan pengelolaan zakat. Untuk mengupayakan pembentukan hukum positif bersumberkan hukum Islam yang lebih luas dan selaras dengan tuntutan perkembangan zaman diperlukan perjuangan gigih yang berkesinambungan, perencanaan dan pengorganisasian yang baik, serta komitmen yang tinggi dari segenap pihak yang berkompeten.

II. Kondisi Obyektif Hukum Islam Indonesia

Jika diperhatikan sejarah dinamika hukum Islam di Indonesia terdapat beberapa catatan;

Pertama, karakteristik hukum Islam Indonesia dominan diwarnai oleh kepribadian Arab (Arab oriented) dan lebih lekat kepada tradisi mazhab Syafi’i. Hal ini dapat dilihat dari kitab-kitab rujukan yang dipakai oleh para ulama yang kebanyakan menggunakan kitab-kitab fiqih Syafi’iyyah.Kondisi seperti ini terlihat pula pada rumusan Kompilasi Hukum Islam yang dirumuskan oleh para ulama Indonesia yang kental dengan warna Syafi’inya. Selain itu, secara metodologis pun para ulama kebanyakan menggunakan kitab-kitab usul fiqh karangan ulama-ulama mazhab Syafi’i. Sebagaimana dimaklumi bahwa usul fiqh, terutama yang diajarkan di kebanyakan pesantren, sebagian besar pembahasannya baru sampai masalah qiyas, walaupun ada yang lebih luas dari itu.

Kedua, dilihat dari aspek materi substansi (ruang lingkup) hukum Islam yang dikembangkan di Indonesia, tampaknya lebih dititik beratkan pada hukum privat atau hukum keluarga (ahwal al-syakhsiyyah), seperti:  perkawinan, kewarisan, perwakafan, seperti yang tercakup dalam KHI. Lembaga Peradilan Agama pun hingga saat ini hanya berwenang menangani perkara yang berkaitan dengan perdata terbatas (kendati telah ada penambahan kewenangan dalam bidang ekonomi Syari’ah, namun secara praktik belum dapat ditangani PA). Memang ada informasi yang menggembirakan, bahwa walau pun secara formal belum bisa diterapkan, tetapi secara substansial materi yang terdapat dalam rancangan KUHP yang baru banyak mengadopsi materi hukum pidana Islam (jinayat). Hal yang juga menggembirakan, yakni kehadiran bank-bank Syari’ah dan BMT-BMT, serta lembaga-lembaga keuangan Syari’ah di Indonesia dewasa ini yang merupakan fenomena eksistensi hukum Islam dalam bidang mu’amalah.

Ketiga, dilihat dari aspek pemberlakuan, tampaknya ada kecenderungan kuat bahwa hukum Islam diharapkan menjadi bagian dari hukum positif negara, sebagai bentuk akomodasi pemerintah terhadap umat Islam.4 Jika kecenderungan itu dikaitkan dengan masalah efektivitas hukum, tampaknya ada harapan bahwa dengan diangkat menjadi hukum negara, hukum Islam akan memiliki daya ikat yang kuat untuk ditaati oleh masyarakat yang beragama Islam. Logika hukum seperti itu untuk sementara dapat diterima, kendatipun pada kenyataannya tidak selalu terjadi demikian. Ada kekhawatiran bahwa pemerintah akan memanfaatkan kondisi seperti ini untuk ikut serta menentukan formulasi hukum Islam yang mana dan seperti apa yang sebaiknya dimplementasikan di Indonesia.

III. Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia (Sebuah Kajian Metodologis)

Gagasan dan Gerakan untuk memformulasikan hukum Islam khas Indonesia telah dirintis bersamaan dengan pembaharuan pemikiran Islam secara keseluruhan, namun sejauh ini perhatian yang relative menyeluruh dan berdiri sendiri terhadap pembaharuan hukum Islam masih secara parsial.

Pemikiran tentang perlunya pembaharuan hukum Islam secara konsisten dan konsern yang tinggi dilakukan oleh Hasbi ash-Shiddieqy dan Hazairin.Keduanya melakukan pendekatan yang berbeda; jika Hasbi lebih mengacu pada metodologi hukum Islam yang dirintis para ulama terdahulu, Hazairin cenderung menginginkan konstitusionalisasi hukum Islam, ia mengacu pada semangat Piagam Jakarta dengan melakukan interpretasi baru terhadap Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Pembaharuan ini ditindaklanjuti oleh tokoh-tokoh dari kalangan modernis maupun pesantren, seperti: Munawir Sadzali, Ibrahim Husen, Bustanul Arifin, Ali Yafie, Sahal Mahfudh, Abdurrahman Wahid, dan lain sebagainya. Pada awalnya upaya ini kurang mendapat respon, namun setelah melewati perjuangan panjang, akhirnya membuahkan hasil juga.

Secara garis besar, ragam produk pembaharuan pemikiran hukum Islam di Indonesia ada empat macam.6 Pertama, fiqih, yaitu bangunan pengetahuan yang meliputi ibadah dan mu’amalah secara menyeluruh. Fiqih, karena sifatnya yang menyeluruh dan umumnya telah ditulis pada akhir abad II dan awal abad III H, maka dalam beberapa segi telah kehilangan relevansi dalam mengantisipasi persoalan kekinian dan kemodernan. Kedua, fatwa, yaitu produk pemikiran hukum perorangan atau kelembagaan atas dasar permintaan anggota masyarakat terhadap persoalan tertentu. Sebagai fatwa, ia tidak memiliki daya ikat termasuk kepada peminta fatwa, ia bersifat kasuistik, ia juga memiliki dinamika yang relative tinggi dibanding dengan fiqh. Ketiga, produk pengadilan, produk hukum ini bersifat mengikat pihak-pihak yang berperkara. Sebagai hasil ijtihad hakim, ia memiliki nilai yurisprudensi, yakni sebagai acuan hakim atau praktisi hukum dalam menyelesaikan persoalan hukum yang sama. Keempat, peraturan perundang-undangan termasuk Kompilasi Hukum Islam. Sebagai pengejawantahan dari konsep taqnin, ia memiliki keterbatasan, terutama cakupan materinya (perkawinan, kewarisan, perwakafan).

Pembaharuan pemikiran dan formulasi hukum Islam yang ditawarkan para tokoh sebagaimana telah disebut di atas dan tokoh lain seperti: Rachmat Djatnika, Quraish Shihab, Masdar Farid Mas’udi, dan Iain-lain masih perlu dicermati dan disempurnakan.

Tema besar dari wacana pembaharuan pemikiran hukum Islam adalah berangkat dari term ijtihad, suatu istilah yang inhern dengan watak hukum Islam itu sendiri. Sayang, sejarah terlanjur mencatat bahwa gerakan ijtihad pernah mengalami pemasungan yang relatif lama sehingga memunculkan kejumudan dan stagnasi intelektualisme Islam dalam bidang hukum. Dalam kontek pembaharuan pemikiran hukum Islam di Indonesia, gerakan ijtihad menunjukkan adanya metode dan kecenderungan yang beragam. Ibrahim Hosen misalnya, memiliki empat langkah ijtihad, yakni: 1) menggalakkan lembaga ijtihad; 2) mendudukkan fiqih pada proporsi yang semestinya; 3) mengembangkan pendapat bahwa orang awam tidak wajib terikat dengan mazhab manapun; 4) mengembangkan rasa dan sifat tasamuh dalam bermazhab. Sementara pemikiran lainnya, lebih melihat konsepsi metodologi yang dikembangkan oleh ulama-ulama terdahulu, baik kaidah-kaidah kebahasaan, maupun kaidah-kaidah legislasi hukum Islamnya.7

IV. Epistemologi Hukum Islam dan Pembangunan Hukum Nasional

Pembangunan secara sederhana mengandung pengertian upaya melakukan perbaikan dari kondisi yang kurang baik menuju ke arah kondisi yang lebih baik. Dalam pengertian seperti ini pembangunan semakna dengan  pembaharuan. Adapun hukum nasional yaitu hukum atau peraturan perundang-undangan yang didasarkan kepada landasan ideologi dan konstitusional Negara, yakni Pancasila dan UUD 1945 atau hukum yang dibangun di atas cita rasa dan rekayasa bangsa sendiri, yang bersumber dari nilai budaya bangsa yang sudah lama ada dan berkembang sekarang.

Menurut Bustanul Arifin, setelah lebih dari setengah abad Indonesia merdeka, kita belum berhasil memiliki sistem hukum nasional sendiri.8 Tampaknya, apa yang dimaksud dengan sistem hukum nasional itu masih sebatas cita-cita dan entah kapan saatnya dapat diwujudkan, atau barangkali malah menjadi sesuatu yang dekat dengan kemustahilan untuk dapat diwujudkan di negara yang berdasarkan hukum ini. Pandangan ini terkesan pesimistik, kendati cukup rasional. Karena jika yang dimaksud hukum nasional itu haruslah bersumber pada Undang-Undang Dasar 1945 dari Pancasila, maka akan membatasi secara premature sumber-sumber hukum lain yang sekiranya lebih sesuai dengan kebutuhan dan rasa keadilan masyarakat.

Sistem hukum nasional yang representative memang belum kita miliki,namun bukan berarti bangsa kita tidak memiliki idealitas dan tidak berupaya mewujudkannya, pemerintah dan dunia kampus telah mengadakan ragam perjamuan ilmiah yang berskala lokal maupun nasional guna merumuskannya, para pakar hukum pun demikian, misalnya saja Arief Sidharta mengusulkan tatanan hukum nasional seharusnya mengandung ciri:
1. berwawasan kebangsaan dan nusantara;
2. mampu mengakomodasi kesadaran hukum kelompok etnis kedaerahan dan keyakinan keagamaan;
3. sejauh mungkin berbentuk tertulis dan terunifikasi;
4. bersifat rasional yang mencakup rasionalitas efisiensi, rasionalitas kewajaran, rasionalitas kaidah, dan rasionalitas nilai;
5. aturan prosedural yang menjamin transparansi, yang memungkinkan kajian rasional terhadap proses pengambilan putusan oleh pemerintah;
6. responsive terhadap perkembangan aspirasi dan ekspektasi masyarakat.9

Melakukan formalisasi hukum Islam di Indonesia bukanlah persoalan yang mudah, setidaknya dilihat dari dua hal; pertama, kondisi obyektif bangsa Indonesia yang pluralistik harus dipertimbangkan, jangan sampai menimbulkan kontra produktif yang merugikan umat Islam sendiri. Kedua, pembenahan terhadap konsepsi, strategi dan metode perumusan hukum Islam, sehingga hukum Islam yang dihasilkan tidak bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat dan sesuai dengan karakteristik tatanan hukum nasional yang dicita-citakan. Berkaitan dengan persoalan kedua di atas, hukum Islam dalam kontek sebagai hukum nasional adalah hukum berciri sendiri, yakni sebagai hukum Islam lokal sesuai ijtihad dan kondisi setempat yang diputuskan oleh pembuat undang-undang yang sah di Indonesia. Dengan demikian, hukum Islam dalam praktik yang berlaku dapat berbeda di suatu negara dengan negara yang lain. Sungguhpun demikian, hukum Islam di berbagai negara tetap berasal dari sumber yang sama, yaitu syariat Islam sebagai hukum Ilahi.

V. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia

Sepanjang sejarah perjalanan hukum di Indonesia, kehadiran hukum Islam dalam hukum nasional merupakan perjuangan eksistensi. Dalam bentangan sejarah itu pula, hukum Islam selalu memperteguh eksistensinya, baik sebagai hukum positif atau tertulis, maupun tidak tertulis, dalam berbagai lapangan kehidupan hukum dan praktik hukum. Inilah yang disebut dengan teori eksistensi.10 Keberadaan hukum Islam dalam hukum nasional dapat dibedakan dalam empat bentuk; 1) ada dalam arti sebagai bagian integral dari hukum nasional Indonesia; 2) ada dalam arti diakui kemandirian, kekuatan, dan wibawanya oleh hukum nasional dan diberi status sebagai hukum nasional; 3) ada dalam fungsinya sebagai penyaring (filter) bagi materi-materi hukum nasional Indonesia; dan 4) ada dalam arti sebagai bahan utama dan unsur utama bagi pembentukan hukum nasional. Dengan demikian, tampak bahwa hukum Islam merupakan bagian tak terpisahkan dari hukum nasional. la merupakan sub sistem dari sistem hukum nasional. Sebagai sub sistem, hukum Islam diharapkan dapat memberikan kontribusi yang dominan dalam rangka pengembangan dan pembaharuan hukum nasional yang mencerminkan kesadaran hukum masyarakat Indonesia. Hal ini dimungkinkan karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam.

Kedudukan hukum Islam dalam ketatanegaraan Indonesia pasca kemerdekaan, menurut Ismail Sunny, dibagi dalam dua periode, yaitu: pertama, periode penerimaan hukum Islam sebagai sumber persuasif, kedua, periode penerimaan hukum Islam sebagai sumber otoritatif, yakni sumber yang memiliki kekuatan mengikat dan sah dalam hukum tata negara Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya, Pemerintah Indonesia menggulirkan kebijakan politik hukum yang dalam batas-batas tertentu mengakomodir beberapa keinginan umat Islam. Hal ini terlihat dengan diberlakukannya hukum Islam bagi pemeluknya sebagai hukum positif oleh pemerintah melalui pengesahan beberapa peraturan perundang-undangan. Kendatipun jika dicermati, momen yang menguntungkan secara signifikan bagi umat Islam hanya terjadi beberapa kali saja. Sejak Indonesia merdeka, baru pada tahun 1957 ada penegasan tentang kedudukan Peradilan Islam (Agama) atau berlakunya Mahkamah Syar’iyyah. Lama setelah itu baru muncul beberapa perundang-undangan, antara lain: Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Undang-undang Perbankan tahun 1992 yang memasukkan beberapa aktifitas mu’amalah Islam, Undang-undang No. 17 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, Undang-Undang No. 38 tentang Pengelolaan Zakat, Undang-Undang Perwakafan, termasuk yang sedang dalam pembahasan untuk disahkan menjadi undang-undang, yakni Kompilasi Hukum Islam yang meliputi: perkawinan, kewarisan, perwakafan, infak, sadaqah. Di samping itu juga masalah ekonomi syariah. Prospek hukum Islam dalam sistem hukum nasional akan cukup menggembirakan sepanjang pihak-pihak yang terkait dalam pengembangan hukum Islam mampu untuk mengoptimalkan kekuatan dan peluang yang dimiliki hukum Islam, serta mampu mengeliminir kekurangan dan hambatan yang ada dan mencarikan solusinya. Untuk tujuan itu dapat diajukan usulan: Pertama, optimalisasi fungsi ijtihad, dalam arti; mentransformasikan nilai-nilai hukum Islam menjadi rumusan-rumusan hukum yang aplikatif, mampu mengakomodir kebutuhan hukum dan kesadaran hukum masyarakat Indonesia, serta melakukan terobosan untuk integrasi hukum Islam dalam hukum nasional. Kedua, optimalkan fungsi komunikasi, sehingga dapat dieliminir miss perception dan disorientation tentang hukum Islam, baik yang muncul dari kalangan Islam sendiri, maupun dari kalangan non Islam, terlebih para penentu kebijakan di bidang hukum negeri ini.

VI. Penutup

Syari’at (hukum Islam) pantas menjadi sumber pembentukan hukum nasional, karena dinilai mampu mendasari dan mengarahkan dinamika masyarakat Indonesia dalam mencapai cita-citanya, ia mengandung dimensi yang berakar pada nas qat’i yang bersifat universal dan berlaku sepanjang masa, di samping itu mengandung pula dimensi yang berakar pada nas zanni yang merupakan wilayah ijtihad dan adaptif terhadap perkembangan zaman..

Secara garis besar, ragam produk pembaharuan hukum Islam di Indonesia terdapat empat macam, yaitu: fiqih, fatwa, produk pengadilan, serta peraturan perundang-undangan. Adapun tema besar dari wacana pembaharuan pemikiran hukum Islam adalah berangkat dari term ijtihad, yang dalam kontek Indonesia, gerakan ijtihad yang berjalan menunjukkan adanya metode dan kecenderungan yang beragam.

Melakukan formalisasi hukum Islam di Indonesia menemui kendala, diantaranya: kondisi obyektif bangsa Indonesia yang pluralistik, jika tidak dicermati dapat menimbulkan kontra produktif bagi umat Islam sendiri. Kendala lain adalah sulitnya rriemformulasi konsepsi, strategi dan metode hukum Islam yang tidak bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat dan karakteristik hukum nasional.

Kendatipun belum terlalu menggembirakan, upaya untuk mewujudkan hukum Islam menjadi hukum positif di Indonesia telah menunjukkan hasilnya dengan disyahkannya beberapa undang-undang, seperti: UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU Pengelolaan Zakat, UU Perwakafan, UU Perbankan yang akomodatif terhadap aktifitas mu’amalah Islam, dan Iain-lain.

Catatan kaki :

1. Daud Ali, M. 1996. Hukum Islam PIH dan THI di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada), him. 42.

2. Indonesia, Tap MPR RI, Hasil Sidang Umum MPR RI Tahun 1999 beserta Perubahan Pertama atas UUD Negara RI Tahun 1945, (Jakarta: BP Panca Usaha. 1999) hal. 64.

3. Abdul Hadi MUthohhar. 2003. Pengaruh Mazhab Syafi’i di Asia Tenggara, Fiqh dalam Peraturan Perundang-undangan tentang Perkawinan di Indonesia, Brunei, dan Malaysia. (Semarang: Aneka limit).

4. Bahtiar Effendi. 1998. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. (Jakarta: Paramadina). hal.269.

5. BJ. Boland. 1985. Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1970. (Jakarta: Grafiti Pers).hal. 172.

6. Ahmad Rofiq. 2001. Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia. (Yogyakarta: Gama Media). hal. 157-158.

7. Ali Yafie. 1994. Menggagas Fiqh Sosial. (Bandung: Mizan), hal. 112-114

8. Bustanul Arifin. 1996. Pelembagaan Hukum Isliam di Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press). hal.34.

9. Arief Sidharta dalam ImamSyaukani. 2006. Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam di Indonesia. (Jakarta: Rajawali-Press). hal. 247-248.

10. Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo. 2006. Hukum Islam Menjawab Tantangan Zaman yang Terus berkembang. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar). hal. 70-71.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Bustanul, 1996. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Gema Insani Press.

Barkatullah, Abd. Halim dan Prasetyo, Teguh. 2006. Hukum Islam Menjawab Tantangan Zaman yang Terus Berkembang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Boland, BJ.1985. Pergumulan Islam di Indonesia. Jakarta: Grafiti Pers.

Daud Ali, M. 1996. Hukum Islam PIH dan THI di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Effendi, Bahtiar.1998. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina.

Indonesia. 1999. Tap MPR RI; Hasil SU MPR RI th 1999 beserta Perubahan Pertama atas UUD 1945. Jakarta: BP Panca Usaha.

Muthohhar, Abdul Hadi. 2003. Fiqh dalam Peraturan Perundangan-undangan tentang Perkawinan di Indonesia, Brunei, Malaysia. Semarang: Aneka Ilmu.

Rofiq, Ahmad. 2001. Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia. Yogyakarta: Gama Media.

Syaukani, Imam. 2006. Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.

Yafie, Ali. 1994. Menggagas Fiqh Sosial. Bandung: Mizan.

* Penulis adalah dosen tetap pada Prodi Syari’ah Fakultas Ilmu Agama Islam UII.

sumber: Jurnal Al Mawarid (Jurnal Hukum Islam), No. 16 (2006)

SAYA HAKIM, TETAPI SEORANG MUSLIM

Al-Islam wa Audha’unal Qanuniyyah (Islam dan Perundang-undangan) – 4

Oleh: Abdul Kadir Audah


Hakim (Ilustrasi by Inet)

Kiranya saya seorang Hakim yang bukan Islam, sungguh lidah saya tentu akan memuji, menyanjung “Undang-undang”, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Barat. Dan kiranya saya seorang Hakim yang tidak mengerti ajaran-ajaran Islam, tentu saya akan mengekor Undang-undang buatan manusia itu. Tetapi saya adalah seorang Hakim yang Muslim, yang dengan karunia Allah, mengenal dan mengerti seluk-beluk ajaran Islam, apa yang tidak diketahui oleh banyak hakim; dan mengerti pula akan pertentangan Undang-undang ciptaan manusia itu dengan Islam, apa yang tidak dimengerti kecuali oleh sedikit para Hakim.

Hakim muslim yang berdiam diri adalah kufur

Boleh seorang Hakim Muslim itu berdiam diri seperti apa yang diwajibkan oleh Undang-undang, yakni dalam hal-hal yang bertalian dengan urusan-urusan individu, segala apa yang berhubungan dengan pergolakan golongan-golongan. Tetapi dalam hal-hal yang menyentuh Agama Islam dan peraturan-peraturannya dalam praktek masyarakat dan hukum, dan apa yang menyentuh persoalan keadilan sosial dan kehakiman, dan apa yang menyentuh soal akhlak dan moral kemanusiaan yang tinggi (humanisme), dan apa yang bertalian dengan keamanan Negara sekarang dan buat masa depan; adapun soal ini semua, seorang Hakim yang muslim tidak sanggup untuk berdiam diri saja, kecuali bila ia durhaka kepada Islam, atau apabila ia menjatuhkan derajatnya kepada hewan, yang berfikir dan makan seperti hewan itu.

Undang-undang Dasar yang asasi bagi seorang muslim, adalah Syari’at Islam. Maka segala Undang-undang ciptaan manusia yang datang sesuai dengan nas atau sejalan dengan pokok-pokok Syari’at itu yang umum, atau sejalan dengan jiwa peraturannya, maka seorang muslim boleh mengikutinya dengan seizin Allah. Dan sebaliknya segala Undang-undang yang datang bertentangan dengan Syari’at itu, maka ia harus dilawan dan diinjak, karena tidak ada kemulian sama sekali apa yang menyalahi Islam dan sekali-kali tidak boleh taat kepada makhluk dalam hal-hal yang maksiat kepada Allah.

Siapa-siapa orang Islam yang membuat Undang-undang dan ia tahu bahwa perbuatannya itu menyalahi bagi Islam, orang itu adalah fasik. Tetapi bila ia sengaja menghalalkan apa yang dibuatnya, maka ia murtad (keluar) dari Agama Islam dan kafir kepada Allah. Dan tidak syak lagi, bahwa setiap muslim tidak suka bersifat dengan salah satu di antara sifat tersebut, baik dengan yang berhubungan dengan Allah maupun antara sesama manusia.

Seorang muslim tak boleh taat dalam maksiat kepada Allah

Agama Islam mewajibkan atas seorang muslim supaya taat kepada Allah dan Rasul-Nya pertama-tama, dan menaati Pemimpin (pemerintah) kali yang kedua. Maka menaati Pemerintah tidak wajib, dalam apa yang dapat membawa seorang muslim keluar dari menaati Allah. Demikian, karena firman Allah yang berbunyi:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah olehmu akan Allah dan taatilah Rasul dan Pemimpinmu, maka jika kamu berbantah satu sama lain, maka bawalah kepada hukum Allah dan Rasul, yaitu jika kamu percaya kepada Allah dan hari akhirat, demikian itulah yang paling baik dan sebaik-baik jalan.” (Surat An-Nisa’/4,ayat 59)

Inilah nas yang menjadi dasar hukum bagi pembesar-pembesar Negara untuk melakukan hak memerintah dan kewajiban taat itu bukanlah secara mutlak, tetapi adalah dengan memakai syarat. sebab, tidak boleh dan tidak berhak pemerintah untuk memerintahkan kepada seseorang apa yang bertentangan dengan Islam, baik yang diperintah itu pegawai atau bukan. Demikianlah nyatanya keterangan ayat Al-Qur’an yang berbunyi :

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ…

“Maka jika kamu bersengketa tentang sesuatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul!” (Surat An-Nisa’/4,ayat 59)

Dan bunyi sabda Rasulullah saw :

“Tak boleh taat kepada makhluk dalam hal yang mendurhakai Allah”. (Al-Hadis)

Dan juga sabda Nabi saw yang berbunyi :

“Siapa-siapa dari Pemerintah (pemimpin) yang memerintahmu dengan apa yang tidak membawa taat kepada Allah, maka janganlah sekali-kali ia kamu taati (patuhi)”. (Al-Hadis)

Seorang muslim wajib amar-makruf nahi mungkar

Agama Islam mewajibkan kepada seorang muslim untuk melakukan amar Makruf dan nahi Mungkar; yaitu atas dasar firman Allah dalam Al-Qur’an :

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Hendaklah ada di antara kamu suatu bangsa yang mengajak kepada kebaikan dan menyuruh apa yang baik dan melarang segala yang mungkar dan mereka yang berbuat demikianlah orang yang menang”. (Surat Ali Imran/3, ayat 104)

Begitu pula firman-Nya yang berbunyi :

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ…

“Kamu adalah suatu umat yang terbaik yang dilahirkan untuk kepentingan manusia, kamu menyuruh-memerintahkan yang baik dan mencegah yang mungkar…” (Surat Ali Imran/3, ayat 110)

Dan juga firman Allah :

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ…

“Dan orang-orang mukmin laki-laki maupun perempuan sebagian dari mereka adalah menjadi pemimpin bagi yang lain, mereka menyuruh kepada kebaikan dan melarang dari yang mungkar…” (Surat At-Taubah/9, ayat 71)

dan Firman Allah :

الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ

“Orang-rang yang telah Kami tempatkan di atas bumi, mereka mengerjakan shalat dan membayarkan kewajiban zakat dan menyuruh yang baik dan melarang yang mungkar…” (Surat Al-Hajj/22, ayat 41)

dan Firman Allah :

كَانُوا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ

“Mereka adalah suatu kaum yang tidak mau melarang dari kemungkaran yang senantiasa mereka kerjakan, sesungguhnya sikap yang begitu adalah perbuatan yang jahat.” (Surat Al-Maidah/5, ayat 79)

Pun banyak pula hadis-hadis Rasulullah SAW yang menyatakan makna dan tujuan ayat-ayat itu, antara lain sabda beliau yang diriwayatkan dari Abu Bakar r.a., bahwa Nabi SAW bersabda dalam suatu khutbahnya :

“Hai manusia, kamu telah baca ayat ini, dan kamu putar-putar ayat itu di luar maksudnya. Sedangkan Tuhan berkata yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, perteguh keyakinanmu, tidak akan berbahaya kepadamu orang-orang yang sesat itu, apabila kamu telah dapat petunjuk. Dan bahwa saya mendengar Rasulullah SAW bersabda:”Tidaklah suatu bangsa yang berbuat maksiat dan di kalangan mereka itu ada orang yang sanggup untuk menantangnya tetapi ia tidak lakukan, melainkan dikhawatirkan, bahwa Allah akan meratakan bencana kepada mereka semua dari sisi allah.” (Al-Hadis)

Dan Nabi bersabda pula :

“Pilihlah, apakah kamu akan melakukan amar makruf nahi munkar, atau Allah akan menjadikan orang-orang jahat berkuasa di atas kamu, kemudian baru pemimpin-pemimpinmu berdo’a kepada Tuhan, tetapi tidak akan diperkenankan lagi!” (Al-Hadis)

Dan sabda beliau :

“Amal-amal baik dibandingkan pahalanya dengan jihad pada jalan Allah, adalah bagaikan satu tetes hembusan air liur dalam lautan yang luas; dan tidaklah seluruh amal-amal kebaikan dan jihad pada jalan Allah itu, bila dibandingkan dengan amar makruf dan nahi mungkar adalah pula bagaikan setetes air liur dalam lautan yang luas.” (Al-Hadis)

Dan Nabi juga bersabda :

“Syahid yang paling utama dari ummatku, ialah seorang yang tegak berkata kepada kepala Negara (Pemimpin) yang durjana (dzalim); ia suruh kepada makruf dan ia larang kepala Negara itu dari melakukan yang mungkar; kemudian ia dibunuh (langsung atau tak langsung) oleh sang kepala Negara atas perbuatannya itu; maka orang itu adalah mati syahid. Tempatnya dalam surga, bersama-sama Hamzah dan Ja’far.” (Al-Hadis)

Nabi bersabda lagi :

“Sejahat-jahat kaum adalah kaum yang tidak memerintah dengan berlaku adil, dan sejahat-jahat kaum, ialah yang tidak melakukan amar makruf dan nahi mungkar.” (Al-Hadis)

Dan Nabi bersabda pula :

“Siapa di antara kamu yang melihat perbuatan mungkar dikerjakan orang, maka hendaklah ia ubah dengan tangannya sendiri, jika ia tidak sanggup, dengan lisannya, jika tidak sanggup juga, maka dengan hatinya saja. Tetapi yang terakhir ini suatu tanda Iman yang paling lemah.” (Al-Hadis)

Dan yang dimaksud dengan Amar makruf, ialah menggerakkan orang sehingga tertarik untuk melakukan segala apa yang sewajarnya harus dikatakan atau dilakukan yang cocok dengan nas-nas Syari’at Islam.

Dan Nahi mungkar, ialah menggerakkan orang sehingga tertarik untuk meninggalkan segala sesuatu yang sewajarnya mesti ditinggalkan itu sesuai dengan Syari’at Islam.

Dan memang suatu hal yang sudah disepakati, bahwa amar makruf dan nahi mungkar itu, bukanlah merupakan hak pribadi untuk berbuat dan meninggalkannya sesuka hati individu-individu saja, dan bukan pula merupakan anjuran yang semata-mata berpahala siapa yang berbuat dan tidak berdosa siapa yang tinggal diam; tetapi amar makruf dan nahi munkar itu, adalah suatu kewajiban yang harus dipikul oleh masing-masing individu, dan mereka tidak diberi hak untuk tidak melakukannya, dan pula merupakan suatu kemestian yang tidak boleh lari dari padanya.

islam telah mewajibkan amar makruf dan nahi munkar agar masyarakat menjadi baik, dan pribadi-pribadi berbuat hal-hal mulia, serta sedikit perbuatan maksiat dan dosa. Karenanya, Pemerintah wajib menjalankan amar makruf dan nahi munkar, masyarakat dan individu harus demikian pula. sehingga dengan demikian tertanamlah norma-norma kebaikan dan makruf itu di tengah-tengah masyarakat, dan dengan bersama-sama melakukan kebaikan dan taqwa, bersama-sama menghalaukan dosa dan permusuhan, menjadi terhukumlah kebinasaan dan kemungkaran itu.

Itulah peraturan Islam

Demikianlah Islam mewajibkan kepada tiap-tiap muslim untuk mendurhakai pemerintah dan pembesar-pembesar, bila mereka melakukan perintah yang dapat membawa maksiat kepada Allah. Islam mengharamkan kepada setiap muslim untuk berlaku taat kepada Undang-undang atau perintah-perintah yang terang-terangan menyalahi Syrai’at Islam dan keluar dari norma-norma atau batas-batas yang ditentukan oleh Allah dan Rasul-nya.

Demikian pulalah Islam telah mewajibkan kepada semua muslimin, agar melakukan amar makruf dan nahi munkar, menyuruh yang baik dan mencegah apa yang dilarang Allah. Dan Islam mewajibkan kepada setia muslim yang melihat orang yang mengerjakan yang mungkar, bahwa ia harus mengubah dengan tangannya, bila ia tak sanggup berbuat demikian; jika tidak, dengan lidah dan penanya, jika juga tak kuasa, maka dengan hatinya saja. Karena “Tuhan tidak akan memberati manusia, melaikan sekedar kuasanya.” (Surat Al-Baqarah/2, ayat 286)

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا…

Tiap-tiap muslim wajib menunaikan kewajiban

Itualh peraturan (hukum) Islam, dan itulah jalan yang harus dilalui oleh orang-orang mukmin. Kita sekarang telah dikurung zaman, di mana bertabur kemungkaran-kemungkaran dan telah rusak karenanya banyak manusia. Lihatlah banyak orang yang tidak mau berhenti dari melakukan perbuatan mungkar, dan tidak mau menyuruh makruf (baik) yang seharusnya dikerjakan dan diikuti; sedang pembesar-pembesar serta oknum-oknum pribadi telah mendurhakai Allah, mereka menghalalkan apa yang terang dilarang Allah; dan Pemerintah telah mengeluarkan peraturan-peraturan yang membawa kedurhakaan dan murtadnya kaum muslimin dari Agama islam bila ia patuhi saja. Maka dari itu adalah suatu kewajiban bagi setiap Muslimin supaya mereka betul-betul melakukan kewajibannya dalam zaman yang hampa dan sulit ini.

Termasuk kewajiban seorang muslim, apakah ia pegawai atau bukan, Hakim atau tidak, ialah bahwa ia harus menyerang perundang-undangan dan peraturan-peraturan yang menyalahi Islam, bahwa ia harus menyerang pemerintahan dengan pembesar-pembesar yang menyalahi Islam. Dan kaum muslimin seluruh pelosok bumi supaya bekerja sama untuk mengubah perundang-undangan dan ketentuan-ketentuan dasar yang menyalahi Islam dan meleburnya dengan tangan kekuasaan mereka. Jika satu atau sebagian mereka lemah untuk berbuat demikian, maka ia harus mengecam dengan lidahnya dan menyerangnya dengan pena, bersama-sama dengan kawan-kawannya yang kuasa mengubah dengan tangannya itu. jika masih lemah lagi untuk berbuat dengan perbuatan atau perkataan guna meruntuhkan Undang-undang atau Dasar-dasar yang menyalahi Islam, maka seorang muslim harus meruntuhkan Undang-undang itu dalam hatinya, dan ia harus mengutuki Undang-undang tersebut dan mengutuki pula dalam hatinya para pembentuk Undang-undang itu.

Untuk melakukan aksinya itu, maka kaum muslimin harus bantu membantu (solider) satu sama lain, baik jauh maupun dekat, baik kuat maupun yang lemah imannya, untuk bersama-sama mengubah yang mungkar dan merubuhkan berhala-berhala ini (undang-undang).

Wajib pertama, di mana seorang muslim harus bekerja sama untuk melakukannya, adalah mewujudkan amar makruf dan nahi mungkar dan Allah Yang Maha Agung berfirman demikian :

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ…

“Bertolong-tolonglah kamu untuk melakukan kebaikan dan taqwa dan sekali-kali jangan bekerja sama atas dosa dan permusuhan…” (Surat Al-Maidah/5, ayat 2)

Maka dari itu hendaklah bekerja sama Umat Islam untuk melenyapkan kemungkaran-kemungkaran yang keji ini, semoga Allah akan membantu mereka dan mengulurkan pertolongan-Nya; dan Allah akan memberikan kekuatan kepada persatuan; dan Allah tetap membela dan berpihak kepad hamba-Nya, selama hamba itu membantu saudaranya pula.

Dan hendaklah tiap-tiap muslim menunaikan tugas kewajibannya untuk memerangi Undang-undang dan ketentuan-ketentuan Peraturan yang nyata-nyata menyalahi Islam. Dan seorang muslim yang melakukan tugasnya tidaklah akan sia-sia, seperti yang dikatakan oleh mereka yang tidak mengerti, yaitu selama muslim itu tetap teguh atas dasar keterangan agamanya dan yakin akan perintah suci dari Tuhannya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, percayalah kepada dirimu, tidak akan menyusahkanmu bicara-bicara orang yang sesat itu, apabila kamu telah dapat petunjuk dari Allah. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Surat Al-Maidah/5, ayat 105)

——————————————————————————————————————————————
ISLAM dan PERUNDANG-UNDANGAN
Al Islam wa Audha’unal Qanuniyyah
Oleh: Abdul Kadir Audah
Alih bahasa: K.H Firdaus A.N.
Diterbitkan pertama kali oleh Departemen Agama RI, Jakarta, 1959
Penerbit PT. Bulan Bintang, Cetakan 6, 20 Agustus 1984
Jalan Kramat Kwitang I/8, Jakarta 10420, Indonesia

Bacaan sebelumnya: PERMAAFAN KEPADA UNDANG-UNDANG
Bacaan selanjutnya: FUNGSI UNDANG-UNDANG